Suaramuslim.net – Manusia adalah Hayawanun Natiq, hewan yang berpikir, berakal. Maka selama terbuka kesempatan untuk berpikir, tetap ada kemungkinan berbeda paham dalam kejujuran (honest differences of opinion) sebagai hasil dari berpikir dan berijtihad, bukanlah suatu hal yang ditakuti. Semata-mata perbedaan pendapat yang demikian sifatnya, bukanlah sumber tafarruq (perpecahan). Itu merupakan pendorong untuk mengasah otak dan meninggikan mutu berpikir, mutu kecerdasan umat.
Tafarruq timbul apabila perbedaan pendapat ditunggangi oleh hawa nafsu pada pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama tidak tahu ke mana “tempat pulang,” yaitu tempat memulangkan persoalan, bila tidak diperoleh persetujuan. Padahal Allah swt berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Maka apabila kamu berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.” (An-Nisa: 59).
Di kalangan mereka yang hilang arah itu, bila ada perbedaan pendapat, yang terjadi bukanlah musyawarah, bukan pertukaran hujjah dengan cara terbaik untuk mencari kebenaran. Yang timbul ialah pertengkaran, saling tanabuz bi al-alqab, saling ejek, untuk mencari kemenangan “pengaruh” pribadi atau golongan. Dan yang menyebabkan tafarruq bukanlah semata-mata perbedaan paham dan pendapat.
Persatuan yang dipaksakan tidak akan kekal
Sekarang kita melihat gejala-gejala tafarruq itu dalam tubuh umat Islam Indonesia. Kita semua menginginkan kesatuan umat Islam Indonesia. Timbul persoalan bagaimana cara mencapainya?
Sebagai satu jalan yang dianggap pendek dan cepat ialah “pembubaran semua partai-partai Islam dan mendirikan satu partai Islam yang meliputi seluruh umat Islam Indonesia.”
Bisakah ini? Selama unsur-unsur yang menjadi sumber tafarruq itu belum hilang maka pembubaran yang ada secara sukarela sekarang ini juga, adalah ibarat mengidam-idamkan kuda bertanduk.
Suatu pembubaran dan peleburan yang dipaksakan dari atas (didekritkan) akan dirasakan sebagai perkosaan atas hak berkumpul dan berserikat.
Kesatuan yang dipaksakan secara demikian tidak akan berumur panjang. Akan timbul dalam “kesatuan” yang dipaksakan itu ketegangan-ketegangan terus-menerus, yang akhirnya membawa perpecahan pula.
Suatu paksaan keadaan dari luar semata-semata, berupa suatu bahaya besar yang mengancam, memang bisa mempersatukan golongan-golongan Islam, dalam satu partai, seperti yang kita lihat dalam tahun 1945. Akan tetapi apabila bahaya dari luar itu sudah tidak dirasakan lagi, sekali pun masih ada, maka bibit-bibit tafarruq mulai bekerja lagi dalam segala akibatnya. Sejarahnya selama 20 tahun sampai sekarang menunjukkan perkembangan yang menyedihkan ini. Ini adalah realitas.
Sumber: Mempersatukan Ummat – M. Natsir