Suaramuslim.net – Sejak pandemi corona berlangsung negeri ini dilanda berbagai ketidakpastian. Kebijakan negara yang kurang tepat sasaran, dan setengah-setengah dalam merespons dampak Covid-19 menjadi salah satu faktor dominan.
Ekonomi negara yang sudah payah, karena terlilit utang, menjadikan penguasa negeri ini gamang dalam menapak jejak mengatasi dampak pandemi ini. Masyarakat sendiri harus mengatasi problemnya sendiri, karena negara terkesan meminta rakyat mengatasi problemnya sendiri.
Situasi negara yang sedang dalam puncak kepayahan ini, seharusnya menjadi momentum bagi elite untuk menunjukkan sikap kenegarawanannya. Lahirnya kebijakan yang terbaik untuk rakyatnya guna keluar dari dari problem kolektif ini, bukan justru memberikan peluang munculnya para pengambil kebijakan yang memanfaatkan situasi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.
Kebijakan anomali
Mendatangkan TKA (tenaga Kerja Asing) Cina yang terus menjadi sorotan. Betapa tidak, adanya larangan mudik bahkan rakyat diminta tidak mudik dan berdiam diri di rumah tetapi tenaga asing justru tetap diberikan peluang untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Bahkan seorang kepala daerah yang berani secara terbuka melawan kebijakan pemerintah dengan mengajak warganya untuk menolak kedatangan TKA Cina itu.
Munculnya imbauan dan larangan terhadap masjid dan musala untuk tidak dibuka untuk salat jamaah, namun di sisi lain, tidak terjadi pada aktivitas publik seperti pasar atau mall. Di tengah gencarnya melarang orang aktivitas di tempat ibadah, namun terjadi pembiaran terhadap aktivitas di tempat-tempat yang berpotensi mengerumunnya masyarakat umum.
Lepasnya narapidana di tengah kesulitan ekonomi, sementara masyarakat diminta tetap berada di rumah, dan berativitas di dalam. Masyarakat sudah mengkhawatirkan adanya dampak buruk dilepaskannya narapidana, namun dengan pertimbangan apa sehingga para narapidana bisa lepas. Tidak meleset kekhawatiran masyarakat itu, tindak kejahatan terjadi, dan bahkan mengalami kenaikan sebagaimana yang ramai di media sosial.
Data Bantuan Sosial (Bansos) juga tidak sesuai dengan realitas. Banyak warga miskin yang tidak terdata, sehingga belum bisa menerima bansos, sementara tidak sedikit masuk kategori mampu justru terdata dan memperoleh bansos itu.
Alih-alih memiliki data yang lengkap, justru banyak data yang hilang dan tak valid. Sehingga ada guyonan, saat masa kampanye, orang gila pun terdata dengan lengkap, sementara saat ini datanya tak sinkron semua. Ini jelas sebuah ironi.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, partai politik seharusnya menyibukkan dengan merawat dan dekat konstituennya masing-masing. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk ikut membantu negara dalam menekan angka depresi sosial dan rentan terlantar.
Penghentian para pengelola transportasi, seperti bis, travel, serta hotel. Juga larangan membuka usaha di ruang publik, sementara tidak ada kompensasi yang memadai bagi karyawan atau buruh yang bekerja di sana. Mereka memiliki anak, istri, dan keluarga yang akan mengalami tekanan dan depresi karena tidak ada pendapatan, tanpa harus bisa bekerja apa.
Hilangnya spirit pengorbanan
Kabar terbaru bahwa masyarakat diperbolehkan mudik atau pulang kampung, namun dengan syarat-syarat melakukan isolasi mandiri ketika sampai kampung mereka. Negara seolah bingung dan lepas tangan serta tak mau mengatur secara teknis. Sebelumnya presiden menyampaikan tidak boleh pulang kampung karena dikhawatirkan akan terjadi penularan virus di kampung halamannya.
Ketidakpastian berakhirnya virus corona ini semakin menjadi problem besar. Karena negara sejak awal tidak berani mengambil langkah tegas dan berani mengisolasi warganya, dengan berbagai konsekuensi tentunya. Yang terjadi justru membiarkan rakyat mencari solusi problem yang sedang dihadapi. Rakyat dilarang keluar rumah dengan alasan PSBB, namun mereka tidak diberikan kompensasi yang selayaknya.
Berbagai kebijakan yang anomali ini membuat rakyat semakin tidak menentu dalam membaca arah elite negeri ini. Alih-alih membawa perubahan yang lebih baik, yang terjadi justru muncul kebijakan yang semakin memberatkan rakyat.
Belum lagi munculnya kasus Anak Buah Kapal (ABK) China Long Xing 629, yang bekerja di kapal Cina. Mereka bekerja tak selayaknya manusia, tidur hanya tiga jam. Mereka bekerja memburu sirip hiu, bekerja sepanjang hari, tanpa memperoleh perlakuan yang manusiawi.
Waktu makan cukup 15 menit karena harus bekerja terus menerus. Bahkan kalau terjadi kematian, mayat mereka dilarung di laut. Mereka bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas, termasuk dalam mengatur jam kerja. Soal makan pun juga dianaktirikan, ABK non Indonesia diberi makanan lebih bergizi daripada warga Indonesia ini.
Yang agak tragis adalah ketika harga minyak dunia turun, tapi Pertamina tetap tidak menurunkan harga. Di berbagai negara mengambil kebijakan menurunkan harga bahan bakar minyak, seiring dengan turunnya harga minyak, namun Indonesia tidak mengambil kebijakan mengurangi beban rakyatnya.
Dari berbagai kebijakan di atas, muncul pertanyaan-pertanyaan apakah memang momentum wabah Covid ini memang dibuat untuk melahirkan kebijakan yang menjadikan negeri ini carut marut. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang tidak saling menopang untuk menekan angka wabah Covid 19 ini. Kebijakan pemimpin negeri ini yang tak konsisten dan suka berubah-ubah sehingga melahirkan berbagai realitas yang anomali.
Suatu saat nanti, para sejarawan akan mencatat apakah realitas ini merupakan upaya maksimal elite politik untuk menunjukkan jiwa kenegarawanannya, atau justru memanfaatkan situasi untuk melahirkan kebijakan guna menciptakan situasi yang anomali.
Surabaya, 13 Mei 2020