Suaramuslim.net – Sekalipun 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional bisa diperdebatkan di tengah Pandemi global yang meluluhlantakkan kehidupan ini, namun membaca narasi resmi pemerintah selama lima tahun terakhir ini, tampak jelas ada upaya secara sistematik semakin meminggirkan peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Narasi islamofobia yang yang disemburkan ini tidak saja keliru, tapi juga ahistoris serta sengaja menyesatkan. Saat banyak ulama dipenjarakan dengan tuduhan melawan Pancasila, upaya mensahkan RUU Haluan Ideologi Pancasila oleh DPR RI di tengah PSBB saat ini juga menunjukkan secara terang-terangan betapa anasir neokomunis sedang melakukan upaya pencabutan Pancasila dari Pembukaan UUD1945 yang menjadi pijakan bagi negara proklamasi yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Umat Islam adalah pemegang saham utama Republik yang perancangannya disiapkan oleh para tokoh ulama muslim lurus negarawan seperti H. Agoes Salim, KH.Wachid Hasjim maupun Ki Bagoes Hadikoesoemo bersama para pendiri bangsa lainnya.
Sejak Dekrit Presiden RI 1959, tokoh-tokoh negarawan muslim telah mencoba menyembuhkan diri dari luka perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tapi dengan kenyataan lima tahun terakhir yang makin menjadikan Islam sebagai kerikil dalam sepatu NKRI, penafsiran resmi Pancasila dengan semangat neokomunis, umat Islam perlu segera bangkit melakukan perlawanan keras atas upaya-upaya pembelokan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk sekedar menjadi satelit kepentingan asing; bukan negara proklamasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tidak, umat Islam tidak akan pernah membiarkan itu terjadi.
Sejak reformasi 22 tahun silam, umat Islam mengalami fragmentasi dan disorientasi yang makin parah di tengah kehidupan yang makin liberal kapitalistik. Pragmatisme politik mewabah menghinggapi hampir semua politisi. Organisasi massa Islam pun semakin asyik mengurusi aset-asetnya yang makin too big to lose sehingga juga makin apolitis.
Kampus juga makin dihinggapi virus profesionalisasi sehingga makin terobsesi dengan standard internasional, tapi makin tidak nyambung dengan persoalan bangsa. Sementara itu, mahasiswa dan pemuda ditenggelamkan dalam dunia virtual dengan mimpi revolusi industri 4.0.
Hampir semua mimpi tentang masyarakat 4.0 itu kini ambyar berantakan: ancaman depresi ekonomi global, pengangguran merebak, dan demokrasi yang mati di kegelapan politik transaksional tanpa etika. Kerusakan masif yang dibawa pandemi ini, membuka kesempatan bagi umat Islam untuk secara aktif mendefinisikan Normal Baru saat umat Islam memiliki peran ekonomi politik yang bermakna bagi perwujudan cita-cita negara proklamasi.
Dengan bonus demografi, kebijakan PSBB yang gebyah uyah dan amburadul berpotensi menjadikan bonus itu sebagai bom demografi. Untuk itu pemuda muslim dan muslimah perlu bangkit bersatu padu melakukan perlawanan atas upaya-upaya terselubung dan kasat mata untuk pelumpuhan umat dan menjauhkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari cita-cita para ulama lurus pendiri bangsa.
Karena perubahan selalu menuntut keberanian untuk belajar, maka belajarlah dari kesalahan penelantaran keluarga sebagai institusi penyemaian budaya merdeka. Langkah terpendek itu dapat dimulai dengan segera membangun keluarga sebagai satuan pendidikan dan bisnis berskala kecil, dan menjadikan masjid-masjid terdekat sebagai pusat-pusat kecerdasan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Jangan jadikan PSBB ini menjadi Pendunguan Sistemik Berskala Besar. Bangkitlah menjadi pemuda pemudi muslim dan muslimah yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif.