Suaramuslim.net – Islam mengajarkan kepada kita untuk memiliki prinsip hidup dan berpegang teguh padanya. Sebaliknya, orang kafir memandang bahwa agama sebagai simbol keterbelakangan masyarakat.
Dua pandangan yang asimetris ini menggambarkan adanya pertarungan dan upaya saling menyisihkan, antara penganut agama dan pembenci agama, sehingga senantiasa terjadi konflik berkepanjangan.
Al-Qur’an menggambarkan stigma orang kafir yang menganggap dirinya orang yang maju, terdidik, dan berperadaban, sementara orang beriman dipandang sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, bodoh, dan primitif.
Kekafiran dan pendustaan Al-Qur’an
Al-Qur’an menggambarkan pandangan sinis orang kafir yang menganggap dirinya sebagai masyarakat yang berperadaban, pintar, dan maju. Pada saat yang sama, mereka menganggap orang beriman sebagai masyarakat yang bodoh dan terbelakang.
Masyarakat yang beragama dipandang bodoh dan terbelakang karena berpegang teguh pada berita yang tidak jelas nalar dan asal usulnya. Allah mengabadikan pandangan miring orang kafir itu sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٞ قَدِيمٞ
“Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (Al-Ahqaf: 11).
Justifikasi Al-Qur’an ini bisa dipakai sebagai bukti bahwa ada sekelompok masyarakat yang menolak eksistensi agama.
Dalam konteks Indonesia, saat ini paham yang menolak agama ini sedang bekerja secara sistematis. Namun umat Islam sangat cerdas dan berhasil mengendus upaya menghilangkan ruh dan spirit agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Komunis yang jelas-jelas terlarang di Indonesia, namun paham ini berjalan dan bekerja senyap di tengah pandemi ini. Mereka berjuang ekstra keras hingga melahirkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan tidak memasukkan TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang larangan PKI ini.
Dalam perspektif Islam, cara kerja sistematis dan berkesinambungan untuk menyingkirkan peran agama dan ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sangat jelas. Apabila paham terlarang ini terus menggelinding tanpa direspons dengan cepat, maka bukan tidak mungkin negeri mayoritas beragama ini bisa menggeser nilai-nilai agama.
Indikator adanya penyingkiran agama bisa dilihat dari beberapa kasus yang telah terjadi di masyarakat, di antaranya, mengangkat orang yang terbukti menista agama untuk menjadi pejabat penting di Pertamina. Orang yang moderat terhadap praktik zina telah menduduki kursi di BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), dan orang yang berpandangan permisif terhadap berita pornografi duduk pada posisi penting di TVRI.
Tiga orang ini dipandang memicu konflik dan kegaduhan di masyarakat karena dipandang kontraproduktif pada nilai-nilai agama ini.
Tak percaya akhirat sebagai akar persoalan
Al-Qur’an menjelaskan bahwa permusuhan terhadap agama disebabkan tidak percaya adanya akhirat. Mereka yakin tidak adanya hari pertanggungjawaban atas segala perilaku yang mereka lakukan. Bahkan mereka tidak pernah menganggap kesalahan mereka disebabkan karena penyimpangan terhadap nilai-nilai agama.
Fenomena alam yang muncul, sebagai hukuman atas pernyimpangan perilaku mereka, dianggap sebagai hal yang biasa. Mereka pun memandang bahwa tanda-tanda azab pun sebagai kebaikan. Hal ini sebagaimana merujuk pada firman Allah sebagai berikut:
فَلَمَّا رَأَوۡهُ عَارِضٗا مُّسۡتَقۡبِلَ أَوۡدِيَتِهِمۡ قَالُواْ هَٰذَا عَارِضٞ مُّمۡطِرُنَاۚ بَلۡ هُوَ مَا ٱسۡتَعۡجَلۡتُم بِهِۦۖ رِيحٞ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٞ
“Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (Bukan!) Tetapi itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. (Al-Ahqaf: 24).
Fenomena fitnah dan musibah, seperti gempa, banjir, kemiskinan, penyakit, atau wabah pandemi bisa jadi karena penyimpangan terhadap nilai-nilai agama. Namun bagi mereka yang menolak eksistensi agama dan nilai-nilainya tidak mau mengaitkannya dengan perilaku mereka yang menyimpang.
Al-Qur-an memerintahkan kita berpegang teguh pada agama ini sebagaimana yang dicontohkan oleh para Rasul Ulul Azmi. Mereka ini sengaja diabadikan Al-Qur’an karena kekokohan dan kesabaran mereka dalam memegang teguh agama ini. Perjuangan mereka yang demikian gigih menghadapi perlawanan aktif dan subversif dari orang-orang ateis, terhadap risalah kenabian, diabadikan Allah sebagai firman-Nya:
فَٱصۡبِرۡ كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسۡتَعۡجِل لَّهُمۡۚ كَأَنَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَ مَا يُوعَدُونَ لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا سَاعَةٗ مِّن نَّهَارِۭۚ بَلَٰغٞۚ فَهَلۡ يُهۡلَكُ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah).” (Al-Ahqaf: 35).
Perlawanan kelompok ateis terhadap eksistensi agama tidak akan terhenti selama masih menolak hari kebangkitan. Pelanggaran terhadap aturan yang disepakati bersama dilakukan secara terbuka. Perbuatan curang, pengelabuan, eksploitasi dan penindasan, serta politik adu domba di tengah masyarakat tidak terhenti meskipun umat Islam mengkritiknya secara terbuka.
Hanya kematian yang akan menghentikan perlawanan mereka terhadap agama ini. Inilah hakikat keterbelakangan yang sesungguhnya saat mereka tak sadar melakukan berbagai pelanggaran sosial dan dosa kolektif. Mereka baru menyadari kebenaran agama ini ketika meregang nyawa.