Suaramuslim.net – Pada pertemuan sebelumnya sudah disampaikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai kata kunci.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qasas: 77).
Ayat tersebut mengandung 4 hal pokok dalam mempertahankan kemuliaan kita untuk menjadi manusia yang sempurna. Yakni: utamakan kepentingan akhirat tetapi jangan melupakan kebutuhan dunia yang didasari dengan selalu berbuat ihsan (baik) dan jangan membuat kerusakan.
Eksistensi dunia dan sikap muslim terhadapnya
Dunia ini sedikit dan fana, sedangkan akhirat penuh dengan kenikmatan dan kekal abadi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai dengan (berat) sayap nyamuk, maka Allah tidak akan memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.”
Dunia ini tidak ada harganya meskipun hanya seberat sayap nyamuk. Tapi anehnya manusia sibuk dan tamak kepada dunia, mereka lupa kepada kehidupan akhirat yang penuh dengan kenikmatan. Bahkan manusia lebih mengutamakan kehidupan dunia. (Lihat Al-A’la:16-17).
Rasulullah bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِيْ اثْنَتَيْنِ ؛ فِيْ حُبِّ الدُّنْيَا وَطُوْلِ الْأَمَلِ
“Senantiasa hati orang yang sudah tua, tetap muda (tetap tamak) kepada dua hal; cinta dunia dan panjang angan-angan.”
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah bersabda:
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ ؛ الْحِرْصُ وَالْأَمَلُ
“Setiap anak Adam itu akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal; ambisi dan angan-angannya.”
Begitu banyak manusia yang dilalaikan dengan dunia beserta mimpi-mimpinya. Indahnya dunia telah menghalangi mereka dari jalan petunjuk dan ketakwaan. Sementara itu, setan terus memperpanjang khayalan-khayalan mereka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang akan muncul disebabkan banyaknya angan-angan adalah malas untuk mengerjakan ketaatan, menunda-nunda taubat, berambisi terhadap dunia, lupa akhirat, dan mengerasnya hati. Sebab, kelembutan dan kejernihan hati terbentuk hanyalah dengan mengingat kematian, alam kubur, dosa dan pahala, serta dahsyatnya hari Kiamat.” (Ali ‘Imran: 185, Al An’am: 32 dan Asy-Syura: 20).
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِـيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُـتَـعَلِّـمٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali zikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.”
Namun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa harta adalah perkara yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Terkadang harta itu diberkahi Allah sehingga mengantarkan muslim tersebut semakin bertakwa kepada Allah. Dan sebaliknya, sering pula harta membawa seorang muslim untuk semakin jauh dari Rabb-Nya. Oleh karenanya perlu kita ketahui bagaimana sikap yang benar terhadap harta?
Harta kekayaan bukan tolak ukur pujian atau ujian
Allah berfirman:
وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُون
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya: 35).
Ibnu Abbas berpendapat, makna ayat ini adalah Kami akan menguji kalian dengan kesengsaraan dan kesejahteraan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, haram dan halal, ketaatan dan kemaksiatan, serta hidayah dan kesesatan.
Pujian (kemuliaan) atau ujian (celaan,kehinaan) dari harta itu kembali kepada pemiliknya itu sendiri, bagaimana cara menyikapinya. Para Nabi dan para Rasul pun ada yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman dan Nabi Daud dan adapula yang miskin seperti Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Jika sekiranya harta itu dipuji zatnya, maka tentu Allah akan menjadikan para Nabi sebagai orang yang kaya. Dan jika itu tercela pada zatnya, maka pasti Allah akan menjadikan seluruh Nabi miskin.
Umar bin Khattab dalam sebuah pernyataannya yang indah menyampaikan: “Kekayaan dan kemiskinan adalah dua tunggangan (yang pasti akan ditunggangi salah satunya), dan aku tidak peduli yang mana aku tunggangi. Kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya.”
Anggapan bahwa ujian itu hanyalah berupa kemiskinan dan kekayaan bukanlah ujian adalah pemahaman yang keliru. Karena pada hakikatnya kebaikan dan keburukan merupakan cobaan. (Lihat Al-Fajr: 15-16).
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirul Quranil Karim menjelaskan ayat tersebut bahwa
Allah mengingkari anggapan manusia yang menganggap dirinya telah dimuliakan ketika diberi rezeki yang lapang, padahal itu sebagai ujian dan bisa menjadi bencana. (Al Mukminun: 55-56). Demikian juga di sisi lain, ketika manusia diuji dengan disempitkan rezeki, mereka menganggap bahwa itu penghinaan.
Perkara tersebut bukanlah seperti yang mereka sangka, bukan seperti anggapan golongan pertama bukan pula seperti golongan yang kedua, sesungguhnya Allah memberi harta bagi yang Dia cintai maupun yang tidak Dia cintai, dan menyempitkan rezeki orang yang Dia cintai maupun orang yang tidak Dia cintai. Sesungguhnya inti dari persoalan di atas adalah pada ketaatan pada Allah dalam kedua kondisi tersebut, jika ia kaya maka hendaknya bersyukur, jika ia fakir hendaknya ia bersabar.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang paling afdhal (utama) di antara kekayaan dan kemisksinan adalah yang paling bertakwa (Lihat Al-Hujurat: 13). Namun realitanya, kesabaran seseorang menghadapi kemiskinan itu lebih mudah daripada kesabaran seseorang menghadapi kekayaan. (Lihat Al Fajr: 20 dan Al-‘Adiyat: 8).
Cinta terhadap harta adalah sifat manusiawi, karena memang harta itu manis, sehingga terkadang seseorang rela bekerja 24 jam sehari hanya untuk meraih harta. Dan apabila seseorang telah merasakan manisnya harta, maka dia akan semakin terdorong untuk terus mencarinya.
Nabi telah mengingatkan bahwa fitnahnya umat ini adalah harta. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي المَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah dan fitnah ummatku adalah harta.” (At-Tirmizi).
Dalam hadis yang lain Nabi bersabda:
فَوَاللَّهِ لاَ الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba memperebutkannya, sehingga akhirnya harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (Al-Bukhari).
Banyak pertikaian dan permusuhan yang terjadi antara saudara, kerabat, bahkan seorang anak dan orang tuanya, yang disebabkan masalah harta. Bahkan betapa banyak orang yang akhirnya menjadi penyembah harta. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadisnya:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Binasalah hamba dinar, dirham, hamba pakaian, jika diberi maka ia rida jika tidak diberi maka ia mencela.” (Al-Bukhari).
Rasulullah ingin mengatkan bahwa ada orang-orang yang benar-benar menyembah harta, sehingga seluruh tindak tanduknya itu karena harta, kecintaan dan permusuhan dibangun di atas harta, bahkan mungkin yang haram rela dia lakukan demi meraih harta. Dan orang yang seperti itu memang ada. Tatkala seseorang telah mendapatkan harta, terkadang bahkan seringnya mereka menjadi angkuh. (Lihat Al-‘Alaq: 6-7).
Jadikan harta sebagai sarana bukan tujuan
Dari Zaid bin Tsabit, ia mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”
Meskipun kita membutuhkan harta dunia, namun jangan sampai terpedaya olehnya. Ambisi dunia tak ada habisnya sampai menuju ke alam baqa. (At-Takatsur:1-2).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْـقَضِـى
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) kerugian yang tidak pernah berhenti.”
Seorang Muslim tujuan hidupnya adalah akhirat dan dunia sebagai ladang menuju akhirat. Seorang Muslim wajib ingat bahwa dia diciptakan untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, dia wajib meluangkan waktu untuk beribadah kepada Allah, dan hendaknya seorang Muslim setiap jam dan harinya penuh dengan ibadah kepada Allah.
Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah berfirman: ‘Wahai anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.’
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ (وفي رواية: من ذهب) لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit (dalam riwayat yang lain: dua bukit bukit emas), niscaya ia akan mencari untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu puas kecuali jika telah dipenuhi dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (Muttafaqun alaih).
Oleh karena itu, tatkala seseorang tergiur untuk merasakan manisnya dunia, dia harus sadar bahwa manisnya dunia tidak ada bandingannya dengan manisnya akhirat.
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (At-Tirmizi).
Dari sini, tatkala kita mencari harta, jangan letakkan harta itu di hati kita, akan tetapi kita letakkan harta di tangan kita yang bisa kita gunakan untuk bertakwa kepada Allah. Ingatlah bahwa harta itu bukan tujuan, melainkan harta itu hanyalah sarana.
Hati-hatilah terhadap fitnah dunia, sebagaimana Imam Asy-Syafi’I mengatakan:
إِنَّ لِلَّهِ عِباداً فُطَناتَرَكوا الدُنيا وَخافوا الفِتَنا
نَظَروا فيها فَلَمّا عَلِمواأَنَّها لَيسَت لِحَيٍّ وَطَنا
جَعَلوها لُجَّةً وَاِتَّخَذواصالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا
“Sesungguhnya ada di antara hamba-hamba Allah yang cerdas, mereka mencari dunia dan khawatir terhadap fitnah. Mereka melihat kepada dunia, maka mereka sadari bahwa dunia itu bukan tempat hidup selama-lamanya, maka mereka menjadikan dunia seperti lautan, dan menjadikan amal saleh di dunia sebagai perahu.”
Dunia adalah sarana yang bisa mengantarkan seseorang menuju akhirat, dan bukan sebagai tujuan. Meskipun Allah tidak akan menampakkan satu kenikmatan akhirat pun di muka bumi ini, karena hal tersebut masuk dalam ranah keimanan. (As-Sajdah: 17).
(Bersambung)