Suaramuslim.net – Rakyat Indonesia kembali mengalami cobaan yang luar biasa dalam menghadapi ujian sikap dan perilaku elite politik, khususnya the ruling class (kelompok yang sedang berkuasa).
Setelah menghadapi drama perjuangan gigih dalam mengupayakan lolosnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), maka kini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sedang membalik situasi.
Kalau saat ini masyarakat Indonesia sedang mencium gelagat bangkitnya paham PKI, dengan RUU HIP itu, maka saat ini PDIP sedang berjuang melepaskan dirinya dan berjuang mengeluarkan paham PKI dari partainya.
Rakyat Indonesia demikian peka terhadap bangkitnya PKI, dan PDI-P merasa sebagai sasaran tuduhan di balik bangkitnya ideologi terlarang ini. Uniknya, PDI-P saat ini sedang membalikkan situasi bahwa dirinya justru sebagai garda terdepan dalam membersihkan anasir paham Komunis yang merusak Pancasila sebagai ideologi negara.
Memaknai pergantian Rieke Diah Pitaloka
Publik kembali dihangatkan oleh pencopotan Rieke Diah Pitaloka dari jabatan sebagai wakil ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Melalui surat tertanggal 7 Juli 2020, Rieke resmi diganti oleh Komjen Pol (Purn) Muhammad Nurdin.
Ketua Fraksi PDIP, Utut Adianto menegaskan bahwa pergantian Diah Pitaloka merupakan rotasi biasa, semata menghadapi tugas-tugas berat di masa mendatang. Tugas Baleg dalam waktu dekat harus diemban oleh kader yang dipandang lebih mampu dalam menghadapinya.
Pengganti Rieke dianggap mampu memikul tugas berat itu, sehingga momentum saat ini dianggap sebagai saat yang tepat untuk melakukan rotasi.
Tentu saja masyarakat terus mempertanyakan bahwa pergantian Rieke ini tidak lepas dari desakan dan sorotan masyarakat terhadap PDI-P yang dipandang sebagai pengusung RUU HIP.
Sebagaimana diketahui dalam RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPR Nomor XXV 1966, padahal di dalam TAP MPR ini jelas-jelas melarang PKI hidup di Indonesia. Dengan tidak memasukkan TAP MPR ini ada indikasi RUU HIP ini berpotensi besar menghidupkan paham terlarang ini.
Desakan yang besar untuk menganulir RUU HIP ini jelas merusak nama PDI-P. Oleh karena itu, partai penguasa ini membalikkan badan, dan ingin menempatkan dirinya sebagai partai yang bersih dari paham Komunisme.
Beberapa saat kemudian, melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan bahwa partainya tidak memberi ruang bagi komunisme. Dia menegaskan bahwa partainya bukan hanya sedang membersihkan diri dari paham liberalisme, tetapi juga sedang berupaya berkomitmen menjaga Indonesia dari paham sekuler, atau fasis.
Dikatakan bahwa PDI-P sedang menghadapi upaya kelompok ekstrem kiri dan ekstrem kanan yang mencoba mengganti Pancasila, dengan menuding kelompok 212 dan FPI sebagai contohnya.
Dengan kata lain, pergantian Rieke dan pernyataan Hasto merupakan sebuah upaya sistematis untuk membuat opini dan isu baru.
Dikatakan membuat opini baru karena dengan mencopot Rieke di masyarakat akan terbentuk pandangan bahwa RUU HIP bukanlah gagasan PDI-P tetapi ulah dari Rieke. Sementara PDI-P tidak terkait sama sekali dengan gagasan RUU HIP yang di dalamnya ingin membangkitkan paham Komunis.
Sementara apa yang ditegaskan oleh Hasto, dengan mengatakan PDI-P ingin membersihkan paham Komunis, merupakan sebuah cara untuk menyatakan bahwa PDI-P sebagai partai yang masih layak menjaga ideologi negara. Dengan pernyataan itu diharapkan publik tetap percaya bahwa PDI-P merupakan partai yang bisa menyelamatkan Pancasila dari rongrongan ideologi ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
PDIP dan rumah bagi paham kiri
Dinamika politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan pertarungan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam.
Dalam perjalanannya, kelompok nasionalis seringkali memenangkan pertarungan. Kelompok nasionalis, dalam hal ini direpresentasikan oleh kelompok abangan, selalu menghadapkan Islam sebagai ideologi yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan Pancasila yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh Islam pun dinilai sedang mengalami ancaman. Dan ancaman itu datang dari kelompok Islam sendiri.
Kelompok Islam yang mereka narasikan adalah kelompok Islam kanan, kelompok ini ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang berbeda dengan Pancasila.
Padahal apa yang mereka narasikan itu tidak lebih dari upaya untuk membenturkan Islam dengan Pancasila. Pancasila tidak lain sebagai rumusan ideologi negara yang bersumber dari Islam. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila utama yang menjiwai empat sila lainnya. Tanpa ada sila pertama, maka empat sila berikutnya tidak ada artinya. Dengan kata lain, tidak ada sila Ketuhanan, maka sila kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan tidak ada ruhnya.
Inilah yang berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh PDI-P sebagaimana dipidatokan oleh ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri bahwa agama (Ketuhanan) tidak lain sebagai bagian terkecil dari kebudayaan. Inilah makna ketuhanan yang berkebudayaan yang menempatkan Tuhan sebagai bagian terkecil, bukan penentu atau ruh dalam kehidupan bernegara.
Oleh karena itu, ketika PDI-P menyatakan dirinya paling nasionalis dan begitu siap menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi kanan dan kiri, maka publik mulai melihat sejarah penggagas lahirnya RUU HIP. PDI-P lah yang getol sejak awal memperjuangkan RUU HIP dengan tidak mencantumkan TAP MPR yang melarang berdirinya PKI.
Begitu rakyat Indonesia mulai mencium gelagat bangkitnya PKI, maka PDI-P tiba-tiba menyatakan dirinya bersih dan akan membersihkan diri dari paham Komunis. Lebih dari itu, PDI-P menegaskan siap menjaga NKRI dan siap memerangi kelompok Islam yang mereka stempel sebagai kekuatan eksrem kanan yang ingin mendirikan negara Islam dan meruntuhkan Pancasila.