Suaramuslim.net – Anak-anak belajar dari apa yang dilihatnya atas sekitarnya. Setiap stimulus perilaku yang ditangkap oleh inderanya melalui tindakan yang dilihat dan dialami dalam keseharian akan membentuk cara pandang, pola pikir dan pola sikap mereka.
Apabila seorang istri bersedia tunduk patuh berbakti dengan tulus pada suami, dan seorang suami menyayangi istri dengan penuh tulus dan hal itu diketahui dan ditunjukkan dalam perlaku keseharian di hadapan anak-anak mereka, maka semua itu akan menjadi informasi penting yang masuk dalam pikiran anak.
Karena tindakan adalah hasil dari berbagai rangkaian stimulus tindakan yang diterima melalu indera dan masuk dalam memori ingatan yang kemudian memberikan informasi tentang bagaimana harusnya bertindak.
Ketundukan seorang istri pada suami adalah dengan tidak menyelisihi suami dalam perintah kebaikan yang kemudian akan memasukkannya dalam kategori seorang istri yang terbaik menurut Rasululah. Sebagaimana sabda nabi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ
“(Suatu ketika) ditanyakan kepada beliau; “Wahai Rasulullah, wanita yang bagaimana yang paling baik?” Maka beliau menjawab: “Wanita yang menyenangkan hati jika dilihat, taat jika diperintah dan tidak menyelisihi pada sesuatu yang ia benci terjadi pada dirinya (istri) dan harta suaminya.” (Ahmad).
Salah satu bentuk menyelisihi suami adalah membantah apapun yang diperintah suami atas suatu kebaikan.
Istri yang demikian dalam masyarakat kita dimasukkan dalam kategori istri yang bersifat tut wuri handayani, dituturi malah ngandani (diberi tahu malah balik memberi tahu ngeyel: jawa-suka membantah).
Tentu sikap ini akan mengurangi dan melemahkan kasih sayang suami atas dirinya. Karena sikap kasih sayang suami adalah berbanding lurus dengan sikap ketundukan dan ketaatan istri.
Ketaatan istri dan kasih sayang suami akan mampu menjadi lingkungan yang baik bagi terciptanya perilaku sikap positif bagi seorang anak yang pada akhirnya mampu menjadi anak yang saleh yang tunduk patuh dan selalu mendoakan orang tuanya.
Karena pada dasar awalnya setiap anak itu terlahir dalam keadaan fitrah (cenderung pada kebaikan) dan kemudian karena faktor keluarga serta lingkunganlah yang mengubah dirinya, apakah menjadi baik atau tidak baik. Hal ini ditegaskan nabi dalam sabdanya:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Musyrik.” (Muslim).
Keluarga menjadi faktor utama perubahan fitrah kebaikan yang ada dalam diri anak, untuk itu pola asuh dan contoh teladan kebaikan yang ditampilkan dalam keluarga khususnya hubungan dan interaksi antara suami dan istri (berupa ketaatan dan kasih sayang) menjadi modal dasar bagi anak untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi saleh yang menyayangi dan hormat pada kedua orang tuanya.
Perhatikan bagaimana ketaatan dan kepatuhan luar biasa yang ditampilkan Hajar istri nabiyullah Ibrahim, ibunda Ismail, saat ditinggalkan sendirian dan ditempatkan di samping Baitullah dekat pohon besar di atas zam zam yang ketika itu belum ada seorang pun tinggal di Makkah dan tidak ada air. Hanya disediakan satu kantong kurma dan satu tong air sementara nabi Ibrahim pulang ke Syam.
Hajar menyampaikan pertanyaan pada Nabi Ibrahim: “Hai Ibrahim, pergi ke mana engkau dan mengapa engkau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan apa-apanya ini?”
Pertanyaan ini diulanginya beberapa kali, namun nabi Ibrahim tetap tidak menoleh.
Lalu Hajar bertanya lagi: “Apakah Allah memerintahkanmu untuk melakukan perbuatan ini?”
Ibrahim menjawab: “Ya.” Hajar berkata: “Kalau demikian halnya, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (dalam riwayat lain: Aku pasrah kepada Allah).
Ketawakalan dan kepatuhan Hajar ini membentuk seorang putra yang saleh dan patuh pula pada Allah, sehingga melahirkan keturunan terbaik sepanjang sejarah umat manusia, yang dari Ismail inilah, nabi kita Muhammad saw bertemu nasabnya.
Demikian ketaatan dan kepatuhan membuahkan kesalehan generasi. Tentunya setiap kita berharap agar anak cucu keturunan kita menjadi generasi yang saleh dan salehah yang selalu berbakti dan mendoakan kedua orang tuanya maka di sinilah peran orang tua memberikan keteladanan bagi mereka.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net