Kedokteran itu adalah thibbun nabawi

Wasiat Menghibahkan Kornea Mata

Suaramuslim.net – Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 57 yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah penyembuh segala penyakit.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Dari ayat itu jelas bahwa telah datang dari Allah, syifa’ (penyembuhan). Dan yang datang itu adalah Al-Qur’an. Lihat surat Al Isra ayat 82.

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Berbicara penyembuhan maka ada motivasi menarik dari Al-Qur’an terkait menghadapi penyakit pada fisik manusia, dan motivasi ini tidak diungkap di kitab agama lainnya. Inilah mukjizat Al-Qur’an.

Motivasi bagaimana Al-Qur’an mengatasi penyakit tersirat di tiga tempat dalam Al-Qur’an yang ketiganya terkait bagaimana menjaga kesehatan, mengeluarkan zat berbahaya dari tubuh dan menjaga tubuh dari unsur-unsur yang berbahaya.

Ketiga formula Al-Qur’an itu tersirat sebagai berikut.

  1. Al-Baqarah ayat 184 tentang menjaga kesehatan

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.”

Perhatikan ayat di atas, dengan alasan sakit dan perjalanan Allah membolehkan tidak puasa demi menjaga kesehatannya dan stamina agar tidak menjadi lemah. Hal yang sama pernah ditunjukkan Nabi Muhammad bagaimana menjaga kesehatan dan stamina lebih dikedepankan.

Perhatikan hadis terkait perang yang terjadi di bulan Ramadan, riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu anhu, kata beliau:

Kami bersafar menuju Mekkah (untuk penaklukkan kota Mekkah) bersama rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam kondisi berpuasa. Kami pun menginap di suatu tempat. Lalu rasulullah bersabda: Sungguh, kalian telah dekat dari musuh. (Berbukalah) karena itu bisa membuat fisik kalian lebih kuat.

Kata Abu Said, yang demikian itu adalah rukhsah (keringanan) dari beliau. Sehingga ada yang tetap berpuasa, dan ada pula yang berbuka. Kemudian kami menetap di persinggahan berikutnya. Beliau pun berkata: Sungguh, pagi ini kalian akan menghadapi musuh (perang), maka berbukalah, kerena itu bisa membuat fisik kalian lebih kuat.

Kata Abu Said: ini adalah sebuah azimah/keharusan. Sehingga kami pun berbuka. (Muslim, No. 1120).

Perhatikan kalimat terakhir di hadis tersebut, bahwa tidak berpuasa di saat perang membuat fisik aqwa (lebih kuat). Bahkan ketika ada yang masih berpuasa pun Nabi Muhammad mengatakan itu sebuah kemaksiatan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu:

Rasulullah berangkat menuju Mekkah saat penaklukkan kota Mekkah, di bulan Ramadan. Ketika itu beliau dan orang-orang sedang berpuasa. Tatkala sampai di daerah qura’ al ghamim, beliau minta agar diberi segelas air. Maka beliau mengangkat gelas itu, agar orang-orang melihatnya. Lalu beliau pun minum. Maka dilaporkan kepada beliau, bahwa masih ada yang meneruskan puasanya. Beliau lantas berkata: mereka telah bermaksiat, mereka telah bermaksiat. (Muslim, No. 1140).

  1. Al-Baqarah ayat 196, terkait mengeluarkan zat yang berbahaya dari tubuh

“Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah yaitu; berpuasa, atau sedekah atau berkurban.”

Di ayat tersebut Allah membolehkan bagi orang yang sakit atau kepalanya ada penyakit untuk bercukur lebih dahulu saat berihram. Hal itu dilakukan untuk mengusir zat yang berbahaya di balik kulit kepala. Proses ini bisa dianalogikan dengan pengeluaran zat-zat tertentu yang berbahaya dari tubuh manusia.

  1. An-Nisa ayat 43 tentang menjaga tubuh dari unsur-unsur yang berbahaya

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik.”

Orang yang sakit dibolehkan mengganti air dengan debu untuk bersuci, demi menjaga tubuhnya dari unsur yang berbahaya. Itu merupakan indikasi terhadap sikap pemeliharaan tubuh dari unsur dalam maupun luar yang berbahaya.

Itulah Nabi Muhammad juga mewanti-wanti kepada kita untuk tidak berdekatan dengan seorang yang mengidap penyakit menular, karena dikhawatirkan ada virus yang masuk ke tubuh.

Misal hadis, janganlah memandang terlalu lama kepada orang yang terkena lepra. (Ahmad dan Al-Baihaqi).

Dan juga hadis, janganlah orang sakit makan dengan orang sehat.

Dan juga tidak bersalaman dengan yang sakit menular, diriwayatkan dengan sahih, hadis Jabir bin Abdullah bahwa di antara utusan Tsaqif ada seorang lelaki yang terkena penyakit lepra. Maka Nabi Muhammad segera mengutus seseorang menemuinya untuk memberi perintah, pulanglah, kami sudah membaiatmu. (Muslim).

So… Motivasi di atas mendorong kita selalu menjaga kesehatan karena sehat adalah nikmat yang luar biasa, namun terkadang banyak yang tertipu. Nabi Muhammad pernah bersabda:

Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang. (Al-Bukhari No. 6412 dari Ibnu Abbas).

Di antara bentuk ketertipuannya adalah di waktu sehat tidak dapat beribadah kepada Allah dan juga di waktu sehat tidak menjaga tetap selalu hidup dengan pola yang sehat, tidak berolah raga dan pola makan yang bebas. Karena dengan sehat seolah boleh berbuat apa saja, sekalipun itu akan berefek negatif di masa mendatang dalam kesehatannya. Misal, makan makanan yang ber-MSG, berlemak dan lainnya secara berlebihan.

Namun jika akhirnya jatuh sakit, maka Islam telah memberikan alternatif penyembuhannya. Karena semua penyakit pasti ada obatnya, ini teori umum dan mendasar; dan hal ini diungkap oleh Nabi Muhammad:

Dari Jabir dari Rasulullah, beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘azza wajalla.” (Muslim).

Dan hadis lainnya;

Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda: “Allah tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga.” (Al-Bukhari).

Para ulama telah menafsirkan bahwa makna “menurunkan obatnya” dengan arti akan terciptanya obat-obatan oleh manusia. Baik itu obat yang alami maupun hasil kreasi manusia.

So… Karena itu sejak zaman kuno termasuk di zaman Nabi Muhammad hingga sekarang sudah dikenal berbagai obat-obatan dan tata cara peracikan.

Macam obat-obatan dan cara meramu pengobatan untuk penyembuhan tubuh yang sakit itulah yang dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah الطب (At-Thibb). Dan disebut dengan At Thibbun Nabawy (pengobatan berdasarkan sunnah Nabi) adalah semua proses pengobatan yang bahan dan tata caranya sesuai dengan syariat.

Itulah ulama mendefinisikan Ath Thibbun Nabawy dengan definisi yang umum.

“Thibbun nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.”

Maksudnya definisi itu adalah semua hal tata cara pengobatan yang sudah dipelajari ahlinya dan juga melalui penelitian yang mendalam selama tidak bertentangan dengan nash atau bahkan ada dalam nash secara spesifik di Al-Qur’an dan maupun hadis seperti madu, habbatussauda dan sebagainya, maka itulah thibbun nabawi.

Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullahu berkata,

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik. Karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.” (Fathul Baari 10/169-170).

Itulah Nabi Muhammad yang pernah menyerahkan proses penyembuhan sahabat kepada seorang dokter yang ahli.

“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena ia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kalidah) mengambil tujuh buah kurma ajwa, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (Abu Dawud).

Kedokteran adalah thibbun nabawi

So… Thibbun nabawi tidak hanya identik dengan habbah sauda, madu dan herbal lainnya, namun juga sangat terkait bagaimana ramuan itu diracik dengan takaran dosis yang benar. Karena itu praktisi herbal yang ahli di bidangnya dan juga praktisi kedokteran semuanya disebut sebagai thibbun nabawi, jika;

  1. Dalam praktiknya mendahului dengan doa yang diajarkan Nabi Muhammad atau minimal sebelum memeriksa memulai dengan basmalah.
  2. Bahan obat-obatannya adalah halal dan tata caranya pun tidak bertentangan dengan syariat.
  3. Keyakinan akan kesembuhan datangnya dari Allah.

Dan sudah tentu inspirator utama dari dunia pengobatan adalah Nabi Muhammad yang kemudian terus menginspirasi dunia kedokteran baik yang medis maupun yang tradisional.

Sehingga pengobatan terus berkembang sampai pada abad 9 M ada seorang dokter Muslim pertama yang menulis buku adalah Ali at-Tabari. Dia adalah dokter Suriah yang masuk Islam pada tahun 855 M dan merupakan dokter pribadi Khalifah al-Mutawakkil. Dia menulis buku kedokteran pertama dalam bahasa Arab, yaitu Firdaus al-Hikmah. Buku ini berisi ilmu kedokteran dalam kerangka pikir Yunani dan India.

Ada lagi seorang pakar kedokteran seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes), seorang dokter dan ahli kimia serta filsafat, telah menulis dua ratus judul buku mengenai kedokteran. Di antaranya adalah al-Mansuri (diterjemahkan menjadi Liber Almansoris pada abad ke-15) terdiri atas 10 jilid dan al-Judari wa al-Hasbah (Penyakit Cacar dan Campak).

Tokoh kedokteran Muslim lainnya adalah Abul Qasim az-Zahrawi al-Qurtubi (936-1013) yang dikenal di Eropa sebagai Abulcasis. Dia adalah ahli bedah dan dokter gigi Muslim berkebangsaan Spanyol pada masa pemerintahan Abdurrahman III (890-961).

Juga ada Ibnu Rusydi yang di Barat dikenal sebagai Averoes pada abad 12, beliau dikenal sebagai pakar jaringan tubuh manusia (Histologi), beliau punya buku Al Kulliyyat Fi At Thibb (Kuliah ilmu kedokteran umum).

Dan yang populer adalah Ibnu Sina yang juga seorang filsuf besar. Dia digelari Medicorum Principal alias Raja Diraja Dokter oleh tradisi kedokteran Eropa klasik. Ibnu Sina menulis banyak buku tentang kedokteran, seperti al-Qanun fi at-Tibb (Prinsip-prinsip kedokteran).

Hingga sekarang ilmu kedokteran baik yang medis maupun yang tradisional terus berkembang. Semua itu adalah thibbun nabawi yang tidak perlu dipertentangkan. Yang semuanya harus berdasarkan ilmu ilmiah dan melalui penelitian yang panjang.

Dan tidak dibenarkan melakukan pengobatan tanpa berdasar kepada keahlian tentang itu. Nabi Muhammad mengecam seseorang yang sok tahu ilmu kedokteran padahal tidak pernah belajar.

Nabi Muhammad mengingatkan kita semua;

“Barangsiapa yang berlagak melakukan pengobatan padahal ia tidak mengetahui ilmu pengobatan, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban.” (Abu Dawud).

So… Stay healthy dengan zikir dan usaha maksimal.

Wallahu A’lam.

M. Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya pada Kajian Fajar Motivasi Al-Qur’an
8 Oktober 2020 – 19 Safar 1442 H

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.