Suaramuslim.net – Dalam rumah tangga, prahara atau kerikil-kerikil yang harus dilewati dalam menjalin hubungan pasti akan hadir.
Namun, tidak jarang saat ini banyak public figure dan tokoh masyarakat menganggap perceraian bukanlah hal yang tabu. Selain itu, banyak konten di media sosial yang menunjukkan “kemudahan” dalam mengakhiri hubungan suami istri.
Penulis buku Hearty Service, Agni S. Mayangsari memaparkan dalam program Mozaik Radio Suara Muslim Surabaya bahwa ketidakberhasilan hubungan terutama pada milenial disebabkan oleh kurangnya ilmu dan cara membina rumah tangga.
“Di luar sisi curhatan milenial, sudut pandang secara garis besar yang mereka lakukan memiliki kecenderungan melakukan karakter atau kebiasaan FOMO (fear out missing out), kebiasaan effortless, dan like hunters,” ujarnya pada Sabtu (12/6/21).
Seseorang kelahiran 90-an mulai jenuh ketika melihat foto atau story instagram prewedding temannya.
“Generasi yang sudah umur menikah sudah jenuh dan malas melihat IG Story prewedding. Mereka yang tidak segera menikah akan terkena fomo, karena takut tidak bisa menikah, takut tidak bisa mendapatkan ‘prestasi,’’ jelas Mayang.
Adanya rasa bersaing dan berkompetisi menjadikan pemikiran milenial yang ‘pokoknya cepat menikah, cocok atau tidak urusan belakang’.
Namun ketika usia belum cukup, mental belum matang, dan tidak tahu ilmu dalam menjalankan hubungan pernikahan akan mudah terserang oleh masalah utama: godaan iblis bermahkota.
“Setan dianggap prestasi apabila mampu memisahkan suami dari istrinya,” ujar Mayang.
Fenomena perceraian ini juga diperparah dengan banyaknya konten provokatif yang menyiarkan tentang lumrahnya perceraian public figure serta tokoh-tokoh masyarakat di media sosial.
Perceraian itu diperbolehkan, namun ada ilmu yang harus diketahui. Ketika suami tidak bisa menafkahi, istri yang memilih berusaha membantu akan dilipatgandakan pahalanya daripada istri-itri yang memilih bercerai.
“Sesungguhnya, FOMO memiliki sisi positif. Misal ketika karakter fomo tersebut dijadikan motivasi ketika melihat orang lain melakukan hal baik dan lainnya,” jelasnya.
Tren selanjutnya ialah milenial yang dikenal menyukai hal-hal effortless atau kurang mau berusaha. Selalu ingin hal instan, buru-buru, dan tanpa mengeluarkan tenaga.
Ketika effortless diaplikasikan dalam pernikahan, ketika salah satu tidak bisa berkorban untuk pasangan, yang terjadi adalah saling menuntut atau salah satu menjadi penguasa dan pihak lain menjadi pelayan.
Effortless yang dimaksud seperti pihak istri yang tidak mau melayani suami serta suami yang tidak mau menghargai istri.
Hal identik ketiga, kata Mayang, ketika para milenial memburu ‘jempol’ dari orang lain atau dengan kata lain: mengejar eksistensi.
“Disukai di media sosial menjadi lebih penting daripada hal lainnya, termasuk keutuhan rumah tangga,” pungkasnya.