Suaramuslim.net – Jauh sebelumnya media Barat sudah sering memberitakan tentang kekurangan Erdogan sebagai pemimpin Turki, baik ketika masih sebagai Perdana Menteri maupun ketika sudah menjabat sebagai Presiden Turki.
Pada hari sedang menunggu hasil pemilihan umum 2018 pun, termasuk beberapa media Indonesia, masih membahas kekurangan Erdogan.
Mereka memprediksi bahwa Erdogan akan kesulitan dalam menghadapi oposisi, setidaknya akan sulit memenangkan satu putaran. Malah ada media di Indonesia hanya menyajikan situasi negatif yang terjadi di lapangan ketika pemilu sedang berlangsung (Hasbi Amiruddin: Erdogan, tokoh pemimpin Islam di negara Sekuler, 2021, hal. 2).
Sindrom Islamophobia
Kutipan buku di atas bisa menjadi alat untuk memotret sekaligus menganalisis ketidakobyektifan Barat dalam dua hal.
Pertama, upaya menutup cela pemimpin muslim yang berintegritas untuk tampil sebagai pemimpin. Kedua, upaya memainkan media untuk membentuk opini buruk terhadap pemimpin muslim yang memiliki visi kenegaraan dan kebangsaan.
Dua hal ini berakar pada adanya kebencian Barat terhadap para pemimpin negara-negara muslim. Dalam konteks ini, Barat memandang bahwa Erdogan dipandang merepresentasikan komunitas Islam, dan dipandang membahayakan ideologi lain di luar Islam.
Cara pandang yang miring dan curiga terhadap Islam sangat kental. Mereka tidak melihat prestasi Erdogan yang berhasil mengubah kota Istanbul yang sebelumnya dikenal sebagai kota yang sakit, menjadi kota yang indah, asri, dan teratur.
Kondisi ini meningkatkan kedatangan wisatawan sehingga meningkatkan frekuensi pedagang. Berbagai kebijakannya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan di era kepemimpinan Erdogan bukan hanya berhasil menyejahterakan rakyatnya, tetapi mampu membayar utang-utang pemerintah sebelumnya.
Kegemilangan dan prestasi Erdogan dipandang sebagai datangnya kemakmuran bagi Turki, namun oleh kelompok sekuler justru dipandang sebagai ancaman.
Erdogan merupakan sosok pemimpin yang bersih, tidak korupsi, adil, dan sangat memperhatikan rakyatnya. Namun upaya menutupi kebaikan dilakukan tiada henti.
Ketidakjujuran Barat semakin nampak ketika Erdogan memenangkan pemilihan presiden untuk yang kedua kalinya. Pers Barat tidak menyajikan sisi negatif, tetapi juga tidak memberitakan keberhasilan Erdogan yang telah terpilih sebagai presiden.
Ketika rakyat Turki mengekspresikan kegembiraan atas kemenangan Erdogan, Newsweek misalnya hanya menampilkan foto seorang laki-laki sedang mengangkat tangan seperti sedang pidato dengan nada keras, atau seperti mengucapkan suatu pekikan, tanpa teks keterangan pada foto tersebut. Dan satu foto lagi terlihat dua orang perempuan yang sedang berpelukan tanpa jelas ekspresinya apakah sedang sedih atau sedang gembira, dan demikian ini juga tanpa teks komentar pada foto.
Hal ini menunjukkan sikap Barat yang tidak netral terhadap lahirnya pemimpin muslim yang taat agama, namun tidak menunjukkan sikap anti Barat.
Pandangan kelompok sekuler di Turki tidak berbeda dengan apa yang diopinikan Barat. Mereka ini tidak menginginkan Erdogan nyaman dalam memimpin Turki.
Prestasi Erdogan yang gemilang ini membungkam suara mereka karena rakyatnya gembira dan nyaman dengan sosok Erdogan. Bisa dipahami kaum sekuler Turki tidak simpati pada lahirnya sosok pemimpin Islam yang dipandang menggoyang ideologi sekuler warisan Kemal Attaturk.
Senyapnya Politisi Muslim
Apa yang terjadi di Turki tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Upaya untuk menutup celah lahirnya pemimpin muslim yang berintegritas, sehingga tidak tampil dan kalau bisa terpuruk atau tenggelam.
Peran media mainstream juga tidak kalah getolnya dalam menstigma pemimpin muslim dengan memberitakan hal-hal yang buruk di satu sisi. Di sisi lain, menutup deretan prestasi dengan cara tidak mengekspose kerja-kerja yang mendatangkan award dari dalam dan luar negeri.
Sebagai contoh, apa yang dilakukan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak pernah sepi dari cemoohan dan gugatan. Kinerja terus dipersoalkan dan dicari celah negatifnya, sementara penghargaan yang diperoleh Anies dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri, tidak pernah terekspose secara berimbang.
Upaya-upaya sistematis dan terencana untuk menjatuhkan Anies tidak pernah berhenti, mulai dipandang sebagai perpanjangan tangan dari kelompok pendukung khilafah yang mengancam Pancasila hingga sebagai gubernur yang gagal dalam bekerjasama dengan presiden.
Dalam konteks politik, sosok Anies ini tidak memperoleh dorongan atau sokongan dari elite politik, khususnya dari partai berbasis Islam, baik secara sembunyi maupun terbuka.
Alih-alih mendukung langkah politik Anies, elite partai Islam justru sibuk membelah dirinya menjadi subordinasi dari rezim. Sementara rezim ini sangat terlihat tidak simpati pada sosok Anies.
Implikasinya, elite politik partai Islam terlihat tidak ada support positif terhadap lahirnya pemimpin berintegritas seperti Anies ini. Setidaknya ada upaya riil dari elite politik muslim sehingga pembullyan terhadap sosok Anies bisa terhenti.
Apa yang menimpa Erdogan sebagai pemimpin muslim di negara Turki tidak berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Anies Baswedan di Indonesia. Para pelaku tidak lain adalah kelompok sekuler yang menganggap Islam sebagai ancaman ideologi negara.
Kalau Erdogan dipandang sebagai ancaman sekularisme di Turki, sementara Anies Baswedan dipandang sebagai ancaman ideologi Pancasila.
Keduanya dipandang sebagai representasi kelompok muslim dan layak menjadi pemimpin, karena integritas dan loyalitasnya pada negara.
Keduanya dibenci dan selalu diupayakan untuk disingkirkan karena beragama Islam dan taat menjalankan nilai-nilai Islam.
Surabaya, 19 Juni 2021