Suaramuslim.net – Ada sebuah ungkapan yang indah terkait ridha Allah ini;
رضا الناس غاية لا تدرك ورضا الله غاية لا تترك ، فاترك ما لا يدرك ، وأدرك ما لا يترك
Ridha manusia adalah cita yang tak bisa diraih, sedangkan ridha Allah adalah sesuatu yang tak sepatutnya ditinggal.
Oleh karena itu, tinggalkanlah apa yang tidak mampu diraih, dan raihlah apa yang tak sepatutnya ditinggal.
Menggapai ridha manusia tidak akan pernah selesai. Adapun ridha Allah itu yang harus kita raih. Coba kita renungi ayat 20-22 dari Surat At-Taubah berikut ini.
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ أَعۡظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٢٠ يُبَشِّرُهُمۡ رَبُّهُم بِرَحۡمَةٖ مِّنۡهُ وَرِضۡوَٰنٖ وَجَنَّٰتٖ لَّهُمۡ فِيهَا نَعِيمٞ مُّقِيمٌ ٢١ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٢
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
So… Ridha Allah itu puncak segala nikmat bahkan di surga pun puncak kenikmatan itu adalah Ridha-Nya. Perhatikan sebuah riwayat di bawah ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, ‘Wahai penduduk surga.’ Mereka menjawab, ‘Baik, kami penuhi panggilan-Mu, dan seluruh kebaikan berada di tangan-Mu Ya Allah.
Allah meneruskan, ‘Apakah kalian telah ridha (terhadap nikmat surga)?’ Mereka menjawab: ‘Bagaimanakah kami tidak puas wahai Rabb, sedang telah Engkau beri kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada satu pun dari makhluk-Mu.’
Allah kembali berfirman, ‘Maukah Aku beri kalian suatu yang lebih baik dari itu semua?’ Mereka bertanya, ‘Ya Rabb, apalagi yang lebih utama daripada ini semua?’
Allah menjawab, “Sekarang Aku halalkan untuk kalian keridhaan-Ku, sehingga Aku tidak marah terhadap kalian selama-lamanya.” (Riwayat Al-Bukhari).
Adapun ridha Allah kepada penghuni surga adalah terbukanya hijab (penutup) ahli surga untuk dapat melihat Allah.
وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ ٢٣
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).
Dan perhatikan Firman-Nya yang lain.
لِّلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ ٱلۡحُسۡنَىٰ وَزِيَادَةٞۖ وَلَا يَرۡهَقُ وُجُوهَهُمۡ قَتَرٞ وَلَا ذِلَّةٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 26).
Kata ‘ziyadah’ (tambahan), menurut Rasullah adalah kenikmatan melihat wajah Allah. Dalam hadis yang sahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan, Rasulullah bersabda, yang artinya;
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?’
Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala. Kemudian Rasulullah membaca ayat 22 dari surah Yunus. (Riwayat Muslim).
Perhatikan juga Firman-Nya;
كَلَّآ إِنَّهُمۡ عَن رَّبِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ لَّمَحۡجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).
Ibnu Katsir menukil pernyataan Imam Asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).”
Kenikmatan melihat Allah di surga-Nya bagi ahli surga adalah wujud ridha Allah kepada mereka.
Itulah kenapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu berdoa dengan doa yang luar biasa untuk juga bisa diamalkan.
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّة
“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia) tanpa ada mara bahaya dan fitnah yang menyesatkan.” (Riwayat An-Nasai: 1305, Al-Bazzar: 1393, Ibnu Hibban: 1971).
Lantas, bagaimana kalau ridha Allah itu bisa dihadirkan sejak di dunia? Bagaimana caranya?
- Menjadi the best human (khairul bariyyah) dengan beriman dan beramal saleh secara istiqamah
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah 7-8).
Bukankah Allah mencintai (ridha, senang banget) dengan hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh secara dawam atau istiqamah?
Dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, ”Amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (Riwayat Muslim).
Begitu ridhanya Allah dengan orang yang istiqamah sehingga apabila sudah istiqamah namun terhalang oleh kondisi tertentu sehingga tidak sempat beramal, maka hamba tersebut masih tertulis dalam amalan yang sama dengan yang selama ini dilakukan.
“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (Riwayat Al-Bukhari).
Bahkan ketika suatu saat terjadi futur (jenuh), maka selama jenuhnya itu tidak melanggar syariat (misalnya santai-santai) maka tetap akan dibimbing Allah, karena mulianya ia beristiqamah dalam beramal.
“Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (Riwayat Ath-Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, periwayatnya shahih).
- Berhijrah dalam arti bersemangat untuk terus meninggalkan hal yang dilarang Allah
Yang namanya iman itu naik turun, maka teruslah berhijrah. Begitulah sabda Nabi, “Orang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah Ta’ala.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban).
Dalam berhijrah ini tantangan dan godaannya berat, yang terberat adalah dari teman sekitar. Coba perhatikan nasihat Ibnu Mas’ud ini;
“Yakin (kepada Allah) adalah dengan tidak mengharapkan keridhaan manusia dengan membuat Allah murka.”
So… Jangan mengutamakan keridhaan manusia dengan membuat Allah murka, teruslah berhijrah.
- Berjihad
Makna jihad di sini adalah berupaya keras untuk mengorbankan harta dan jiwanya, yaitu perasaan akan keinginan untuk mendapatkan sesuatu dikorbankan dengan memberikan keinginan itu kepada yang lain.
Lihat kasus Abu Thalhah dengan tamu Nabi berikut.
Suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Sungguh aku sedang kelaparan.’ Maka Rasulullah bertanya kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya. Namun sang istri menjawab, ‘Demi Allah yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air.’
Kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain. Akan tetapi semua istri beliau menjawab dengan jawaban yang serupa. Lalu Rasulullah bersabda di hadapan para sahabat.
‘Siapa yang bersedia menjamu tamu ini? Semoga Allah merahmatinya.’
Maka berdirilah sahabat dari kalangan Anshar bernama Abu Thalhah seraya menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Lalu dia mengajak tamu tersebut berkunjung ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, ‘Apakah hari ini kita memiliki makanan?’ Istrinya menjawab, ‘Tidak ada melainkan makanan untuk anak-anak.’
Abu Thalhah berkata, ‘Berikanlah minum kepada anak-anak dan tidurkanlah mereka. Apabila nanti tamu saya masuk, maka hidangkanlah makanan anak-anak tadi untuknya dan matikanlah lampu. Lalu saya akan berpura-pura ikut makan bersamanya.’
Ummu Sulaim pun melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya. Sehingga tamu tersebut pulang dengan perut kenyang sementara Abu Thalhah sekeluarga tidur dengan perut kelaparan.
Keesokan harinya, keduanya datang menemui Rasulullah lalu beliau bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah.’
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, ‘Sungguh Allah takjub dengan apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.’
Di akhir hadis, disebutkan bahwa Allah menurunkan surat Al-Hasyr ayat 9 memuji peristiwa ini. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Fadhailu Ashhabin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (IV/226) dan Tafsir Surat Al-Hasyr dan diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Al-Asyribah No. 2054).
Dan juga lihatlah pengorbanan Sayyidah Al-Kubro Khadijah radhiyallahu anha untuk mendukung perjuangan dakwah Nabi Muhammad, membuat Allah senang dan ridha kepadanya hingga menitipkan salam kepadanya lewat malaikat Jibril alaihis salam. Bahkan sudah disiapkan istana yang hening sebagai pengganti rumahnya yang ramai untuk dakwahnya Nabi Muhammad.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata:
“Pada suatu ketika Jibril pernah datang kepada Rasulullah sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Ia datang kepada engkau dengan membawa wadah berisi lauk pauk, atau makanan atau minuman.’
‘Apabila ia datang kepada engkau, maka sampaikanlah salam dari Allah dan dariku kepadanya. Selain itu, beritahukan pula kepadanya bahwa rumahnya di surga terbuat dari emas dan perak, yang di sana tidak ada kebisingan dan kepayahan di dalamnya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
So… Raihlah ridha Allah sekalipun sebagian manusia marah kepada kita dan itu bisa dimulai dengan meraih ridha Allah di dunia ini.
Wallahu A’lam
M. Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
9 Desember 2021/5 Jumadil Awwal 1443