Menakar ulang tafsir fundamental dan kosmopolit yang dinisbatkan pada agama Islam di Indonesia

Menakar ulang tafsir fundamental dan kosmopolit yang dinisbatkan pada agama Islam di Indonesia

Tadabbur Surat Ali Imran Ayat 185 Inilah Sukses Sejati
Ilustrasi kebahagiaan dalam Islam. (Ils: Dribbble/Desemy Kristanto)

Suaramuslim.net – Sering kita dengar ungkapan para mubalig bahwa agama Islam adalah “rahmat bagi seluruh alam.”

Kalimat ini begitu memikat karena menggambarkan kesejukan yang dapat dinikmati setiap makhluk, yakni kesejukan yang universal, kesejukan yang boleh dinikmati semua orang, baik berkulit putih maupun berwarna, bermata biru maupun bermata coklat, baik petani maupun pejabat, semuanya tanpa terkecuali.

Risalah yang pertama kali berkembang di kota Mekkah sebagai penutup dari syariat seluruh Nabi ini menjadi salah satu dari beberapa agama lain yang kini menjadi agama favorit di dunia.

Dikutip dari Suara.com pemeluk Agama Islam berjumlah kurang lebih 1,8 miliar jiwa yang tersebar di seluruh dunia. Adapun persebaran utamanya terletak di area Timur Tengah daerah seperti  Afghanistan, Algeria, Iran, Irak, Libya Maroko, hingga Turki dan Yaman, sementara Indonesia menjadi negara yang memiliki pemeluk Agama Islam terbanyak.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, yang ditampilkan di katadata.co.id. Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama Islam. Artinya mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

Sebanyak 20,4 juta jiwa (7,49%) penduduk Indonesia yang memeluk agama Kristen. Kemudian, terdapat, 8,42 juta jiwa (3,09%) penduduk Indonesa yang beragama Katolik.

Penduduk Indonesia yang beragama Hindu sebanyak 4,67 juta atau 1,71%. Penduduk Indonesia yang beragama Buddha sebanyak 2,04 juta jiwa atau 0,75%.

Selanjutnya, sebanyak 73,02 ribu jiwa (0,03%) penduduk Indonesia yang beragama Konghucu. Ada pula 102,51 ribu jiwa (0,04%) penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan.

Provinsi dengan penduduk muslim terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, yakni sebanyak 46,3 juta jiwa atau 97,29% dari total populasi. Kemudian, Jawa Timur dengan penduduk yang beragama Islam 39,85 juta jiwa atau 97,21% dari total populasi. Berikutnya, Jawa Tengah dengan penduduk muslim mencapai 36,21 juta jiwa atau 97,26% dari total populasi.

Terdapat 30 provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam atau lebih dari 50% penduduknya adalah muslim. Hanya di 4 provinsi, Islam menjadi agama minoritas atau di bawah 50%.

Data tersebut jelas merepresentasikan bahwa agama Islam memiliki “Nilai Universal” yang mudah diterima pada berbagai macam kalangan, tidak mungkin sebuah nilai diterima oleh sebuah komunitas Ketika nilai tersebut destruktif.

Berarti nilai universal Islam relatif lebih mudah dan relevan diterjemahkan dalam budaya lokal, mengingat banyaknya suku dan budaya yang ada di Indonesia.

Fundamentalisme Islam dan Islam Kosmopolit

Bak pepatah lama, “tiada gading yang tak retak”  Universalitas Nilai Islam yang mudah diterjemahkan dalam alur pikir masyarakat adat (lokal) menciptakan corak Islam yang bermacam-macam sesuai tafsir budaya daerah.

Hal ini tentu menimbulkan perbedaan pendapat dalam memahami Agama Islam.

Adapun tafsir yang populer diperbincangkan di kalangan intelektual Islam Indonesia adalah Fundamentalisme Islam dan Islam Kosmopolit yang seolah menjadi kutub yang selalu berlawanan.

Menurut M. Syafi’i Anwar dalam tulisannya Kritik Cak Nur atas Nalar Fundamentalisme Islam setidaknya terdapat lima karakteristik yang dapat ditangkap untuk memahami fundamentalisme Islam.

Pertama, berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigid (kaku) dan literalis (bersandar pada literasi). Kecenderungan yang bersandar pada kedua pemahaman itu, menurut kaum fundamentalis, sangat perlu untuk menjaga kemurnian doktrin-doktrin Islam secara utuh (kaffah).

Kedua, kaum fundamentalis memberikan perhatian terhadap suatu orientasi yang mempunyai kecenderungan untuk menopang bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagine Islamic polity); seperti terwujudnya negara Islam, kejayaan partai Islam, kemasyarakatan dan budaya Islam sebagai bagian dari eksperimentasi suatu sistem ketatanegaraan Islam.

Ketiga, kaum fundamentalis akan menekankan penggunaan terminologi politik yang menurut anggapan mereka “Islami”, kemudian doktrin keagamaan seperti tauhid, diterjemahkan bukan hanya sekadar rumusan teologis, melainkan juga sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif.

Keempat, kaum fundamentalis meyakini sebuah paradigma bahwa Islam tidak hanya sekadar agama, melainkan pula sebuah sistem hukum yang lengkap dan sistem yang sempurna, yang mampu mengatasi semua permasalahan kehidupan manusia.

Kelima, kaum fundamentalis umumnya tidak mempunyai apresiasi, bahkan antipati terhadap pluralisme. Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara literal dan legal-eksklusif akan menyebabkan mereka menarik garis demarkasi yang tegas antara Muslim dan non-Muslim, bahkan kepada Muslim sekalipun, jika dianggap tidak sesuai dengan tafsir subyektif tentang kebenaran yang mereka yakini.

Beralih dari Fundamentalis menuju Islam Kosmopolit yang diungkapkan Nurcholish Madjid dalam tulisannya Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam, mengurai pemikiran sekitar tema-tema kosmopolitanisme dalam Islam.

Setidaknya, terdapat tiga nilai utama dari kosmopolitanisme Islam.

Pertama, semangat keterbukaan masyarakat Islam yang dapat ditampilkan dalam tiga varian: (1) dapat dilihat dari semangat mencari ilmu pengetahuan atau kebebasan ilmiah;  (2) pada masa keemasan Islam, peradaban lain selain Islam diberikan ruang dan dapat mencapai puncak peradabannya di bawah payung besar kekuasaan Islam, ini bukti keterbukaan Islam; (3) sikap keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, ditandai dengan para intelektual Muslim yang belajar dari siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Akibat keterbukaan inilah, ilmu pengetahuan dapat keluar dari kungkungan lokalitas.

Nilai kosmopolitanisme yang kedua adalah semangat egalitarianisme.

Masyarakat Muslim mengembangkan suatu paham persamaan (egalitarianisme) sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai dari konsep ajaran Islam tentang fitrah atau kesucian yang merupakan esensi semua manusia.

Egalitarianisme Cak Nur dikaitkan dengan kesadaran hukum, yaitu sebuah kesadaran bahwa tidak seorang pun dibenarkan berada di atas hukum, contohnya Piagam Madinah.

Nilai kosmopolitanisme yang ketiga, yaitu semangat toleransi yang membicarakan tentang toleransi Islam terhadap kaum lain. Umat Islam hendaknya mengedepankan kebenaran fakta bahwa Islam adalah kelanjutan dari tradisi keagamaan sebelumnya yang belum terkontaminasi yang juga datang dari Allah.

Baik Fundamentalis maupun Kosmopolit keduanya adalah tafsir manusia dalam memahami nilai universal dari Agama Islam.

Seorang muslim bebas memilih tafsir mana yang sesuai dengan dirinya namun yang terpenting adalah output dari cara pikir tersebut yakni seberapa besar impact yang dapat dirasakan oleh umat atas pemikiran tersebut. Anggap saja keduanya adalah upaya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Agung Santoso
Pengamat perilaku netizen di Lembaga The Republic Institut
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment