Oleh : Amin Sudarsono (Sekretaris Forum Zakat)
SABIQUN NAHAR namanya. Perempuan sekira 30 tahun. Dia menggendong bayi dengan ukuran tubuh sangat kecil, beratnya tidak lebih dari dua kilogram. Kurus kering, kelopak mata cekung dan kulit keriput. Remuk redam hati saya. Bayi Rohingya yang kurang gizi. Asupan tak ada, air susu ibunya tidak lagi keluar, susu formula apalagi, tak pernah disentuhnya. Tiba-tiba saya terbayang anak ketiga saya, dengan usia yang sama tapi kulitnya halus dan badan gemuk.
Di samping Nahar berdiri gadis kecil, tujuh tahun usianya. Anak pertamanya. Dia menggendong bayi kecil juga. Ternyata itu bayi kembar. Namanya Alina dan Alisa. Balita perempuan. Lahir kembar dari rahim Sabiqun Nahar.
“Dimana suamimu?” Saya bertanya melalui penerjemah.
“Hilang diculik tentara di Rakhine.” Jawabnya datar.
Tidak ada tangis, tidak ada raut sedih. Hanya datar. Janda dengan tiga anak kecil. Trenyuh hati saya.
Dia datang bersama lelaki tua berjenggot putih. Yang itu adalah kakak dari suaminya yang hilang tanpa jejak. Dia berjalan tujuh hari dari Rakhine, menyeberang perbatasan, mengarungi Sungai Naf, sampai di Teknaf lalu dijemput truk tentara Bangladesh lalu diantar ke camp Taingkhali, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Siang yang terik itu, Nahar datang ke posko pengobatan Indonesia. Dokter Iqbal memeriksa, menempelkan stetoskop ke dada bayi Alina. Hanya tulang menonjol. Bayangkan. Bayi mungil dengan tulang dan kulit tipis. Bekerjap-kerjap mata cekung, tangan menggapai selendang lusuh milik ibunya. Tak ada tangis juga. Hanya mulut kecil membuka.
Saya tidak tega. Tidak kuat berlama-lama. Bergeser saya ke sebelahnya. Ada anak kecil tanpa baju, menangis. Jarinya sobek, berdarah dalam. Entah main apa dia barusan. Didekati perawat menjerit ketakutan. Ibunya menenangkan. Setelah diam, telunjuk yang sobek itu ditambal kain kasa dan plester. Tangis tak juga berhenti.