Suaramuslim.net – Kita sering mendengar bahwa hidup ini penuh ujian, dan Allah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa “Laa yukallifullohu nafsan illaa wus’ahaa”, yang artinya, Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan ujian yang melebihi kemampuannya. Namun, kenyataan di lapangan seringkali bertolak belakang dengan janji tersebut.
Bagaimana bisa ada orang yang begitu menderita, bahkan sampai merasa tak ada harapan lagi dan memutuskan untuk bunuh diri?
Ada yang bertanya, “Kalau memang Allah tidak memberikan ujian lebih dari kapasitas kita, mengapa banyak orang yang hidupnya begitu penuh tekanan hingga tak mampu lagi bertahan?”
Tentu saja pertanyaan seperti ini tak berarti menyalahkan firman Allah tersebut. Tetapi lebih pada menginginkan adanya penjelasan yang masuk akal, yang ilmiah, yang logis.
Memahami ujian hidup dalam perspektif agama dan ilmiah
Dalam Islam, ujian itu datang dalam berbagai bentuk. Ada yang datang dalam bentuk kehilangan, sakit, masalah keuangan, hingga masalah hubungan antar manusia. Setiap ujian adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, belajar sabar, dan berusaha lebih keras.
Tapi satu hal yang pasti: Allah tahu batas kemampuan setiap hamba-Nya. Jadi, apa yang membuat seseorang begitu terpuruk? Apakah ujian itu memang terlalu berat untuk mereka?
Memang terkadang, ada yang tidak mampu melihat ujian sebagai bagian dari proses pertumbuhan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa merasa bahwa dunia sedang melawan mereka. Mereka merasa terperangkap dalam kesulitan tanpa jalan keluar. Mereka mungkin merasa “kemampuan” mereka sudah habis.
Padahal, Allah sudah menjamin bahwa setiap ujian ada batasnya. Namun, apakah kita benar-benar tahu kapasitas kita? Apakah kita sudah berusaha melihat ujian itu sebagai cara untuk tumbuh, atau justru melihatnya sebagai batu besar yang menahan langkah kita?
Di sini lah pentingnya kita mengenal konsep resiliensi, konsep tentang kemampuan untuk bangkit kembali setelah terjatuh. Michael Rutter, seorang ahli psikologi, menjelaskan bahwa kekuatan mental seseorang untuk bertahan dari ujian sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup mereka sebelumnya, serta dukungan yang mereka terima dari lingkungan sekitar (Rutter, 2012).
Orang yang memiliki dukungan sosial yang kuat, baik keluarga maupun teman, akan lebih mampu untuk menghadapi kesulitan hidup. Dibandingkan dengan mereka yang merasa terisolasi, merasa sendiri, dan tidak mendapatkan dukungan. Orang jenis kedua ini bisa jadi terjebak dalam perasaan putus asa yang mendalam.
Ini adalah alasan mengapa ada orang yang bisa bertahan meski menghadapi ujian berat, sementara ada yang merasa hidupnya sudah tidak layak untuk diteruskan dengan adanya ujian yang menimpanya. Tanpa dukungan atau pemahaman yang tepat tentang kapasitas diri, seseorang bisa merasa seperti beban hidupnya jauh melebihi kemampuan mereka.
Apa yang membuat stres jadi berbahaya?
Kita tak bisa lepas dari kenyataan bahwa stres adalah bagian dari hidup. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Hans Selye, stres itu ada dua jenis, yaitu: distress (stres negatif) dan eustress (stres positif) (Selye, 1974).
Eustress adalah stres yang membuat kita tumbuh dan berkembang, mendorong kita untuk keluar dari zona bahaya menuju zona nyaman dan bisa mengatasi tantangan. Namun, jika stres tersebut menjadi terlalu berat dan tak terkelola, ia akan berubah menjadi distress, yang bisa merusak mental dan fisik seseorang.
Bayangkan seseorang yang merasa terjebak dalam beban berat tanpa tahu bagaimana cara menghadapinya. Rasa cemas yang terus-menerus, perasaan tertekan yang tak kunjung reda, dan ketidakmampuan untuk keluar dari situasi yang menekan. Semua itu sebenarnya merupakan gangguan mental serius. Muncullah depresi.
Depresi adalah gangguan yang sering kali muncul ketika seseorang merasa tidak ada lagi jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi. Tanpa pemahaman yang cukup, tanpa bantuan yang memadai, perasaan putus asa bisa semakin dalam.
Kehidupan dengan pola pikir negatif
Di sisi lain, cara kita berpikir tentang hidup kita juga sangat berpengaruh. Dalam teori kognitif-behavioral, dikatakan bahwa pikiran kita memengaruhi bagaimana kita merespons setiap situasi. Jika kita terus-menerus berpikir bahwa kita tidak akan bisa menghadapinya, maka kita akan merasa tak berdaya. Sebaliknya, jika kita memandang tantangan sebagai kesempatan untuk berkembang, maka kita akan lebih mudah untuk bertahan.
Namun, kenyataan seringkali tidak semudah itu. Pola pikir yang negatif, yang sering kita pelihara tanpa disadari, bisa menjadi perangkap. Kita sering merasa bahwa ujian hidup terlalu berat, terlalu sulit, dan tak mungkin kita atasi. Padahal, seperti yang diajarkan dalam Islam, Allah tidak memberikan ujian lebih dari apa yang bisa kita hadapi.
Membangun kekuatan dari dalam dan dukungan dari luar
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita agar tetap kuat di tengah ujian hidup?
Salah satu kuncinya adalah dengan membangun ketahanan mental (resiliensi). Ini bisa dimulai dengan memperbaiki pola pikir kita, untuk melihat ujian hidup sebagai kesempatan, bukan beban yang menekan.
Lebih dari itu, dukungan sosial sangat penting. Terkadang, seseorang hanya butuh didengarkan atau diberi sedikit motivasi untuk bisa bangkit kembali. Ini adalah bagian dari usaha bersama dalam mengatasi ujian. Dan yang tak kalah penting, tawakal kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga.
Tawakal bukan berarti kita pasrah tanpa usaha, tetapi berusaha semaksimal mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan keyakinan bahwa Dia akan memberikan yang terbaik.
Menghadapi ujian dengan hati yang lapang
Menghadapi ujian hidup memang tak mudah. Terkadang, kita merasa seolah-olah beban yang kita tanggung sudah tak tertahankan lagi. Namun, kita harus ingat bahwa setiap ujian itu ada batasnya.
Allah tidak pernah memberikan ujian yang melebihi kapasitas kita. Mungkin kita hanya belum menemukan cara yang tepat untuk menghadapinya, atau mungkin kita belum mengembangkan kekuatan yang ada dalam diri kita.
Dengan pemahaman yang tepat, dukungan yang baik, dan usaha maksimal untuk terus berkembang, kita bisa menghadapi setiap ujian dengan lapang dada. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6).
Setiap kesulitan pasti akan diikuti dengan kemudahan, asalkan kita terus berusaha dan bertawakal kepada-Nya.
Jadi untuk menjawab pertanyaan sebagaimana kalimat dalam judul di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tak ada salah sedikitpun firman Allah yang berbunyi “Laa yukallifullohu nafsan illaa wus’ahaa”.
Fokus masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya adalah pada diri pribadi orang yang yang bersangkutan. Yaitu kita yang diberi ujian atau cobaan oleh Allah. Apakah kita berada pada zona positif, zona husnuzon dan tawakkal kepada Allah, atau kita masuk perangkap zona negatif yang diciptakan oleh setan dan iblis, yang menyalahkan dan bahkan melawan Allah.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur