Suaramuslim.net – Menjelang 17 Agustus, di banyak desa, perumahan, dan perkampungan kota, suasana malam terasa berbeda. Lampu-lampu jalan menyala lebih terang, ibu-ibu menyiapkan tumpeng dan aneka jajanan pasar, bapak-bapak menata kursi di balai RT, balai RW, atau halaman rumah, sementara anak-anak berlarian membawa bendera kecil.
Malam itu disebut tirakatan; tradisi turun-temurun untuk mengenang jasa para pejuang dan mendoakan keselamatan negeri. Penentuan tempat dan format acara biasanya hasil kesepakatan musyawarah warga, sehingga semua pihak merasa memiliki dan terlibat.
Bagi warga Nahdliyyin, tirakatan bukan sekadar berkumpul atau makan bersama. Ada dzikir, tahlil, dan doa kebangsaan yang dipimpin kiai kampung. Shalawat mengalun, memadukan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan dengan permohonan agar bangsa ini dijauhkan dari perpecahan. Kadang, tirakatan juga diisi penyerahan hadiah bagi pemenang lomba 17-an, menambah keceriaan dan mempererat persaudaraan antarwarga.
K.H. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, “Hubbul wathan minal iman”, cinta tanah air adalah bagian dari iman. Tirakatan adalah cara sederhana namun mendalam untuk merawat iman sekaligus nasionalisme.
Tirakatan dalam perspektif maqashid syariah
Dengan lensa maqashid syariah, tirakatan memuat lima tujuan pokok syariat yang relevan untuk kehidupan berbangsa.
1. Hifz al-din (menjaga agama). Doa dan tahlil di malam tirakatan menghidupkan nilai agama di ruang publik. Ini menunjukkan agama menyatu dengan kehidupan bernegara, bukan terpisah.
2. Hifz al-nafs (menjaga jiwa). Tirakatan menghadirkan rasa aman, saling menghormati, dan semangat damai. Forum kebersamaan ini mampu meredam gesekan sosial.
3. Hifz al-‘aql (menjaga akal). Sesi sambutan atau tausiyah memuat sejarah kemerdekaan, hikmah perjuangan, dan pesan moral yang menjaga akal tetap jernih.
4. Hifz al-nasl (menjaga keturunan). Anak-anak yang hadir belajar gotong royong, menghormati orang tua, dan mencintai tanah air. Sebuah pendidikan karakter nyata.
5. Hifz al-mal (menjaga harta). Tirakatan mengajarkan efisiensi: iuran warga dipakai untuk kegiatan yang memberi manfaat sosial, bukan sekadar pesta hura-hura.
Tirakatan sebagai manajemen kerukunan
Tirakatan adalah model manajemen kerukunan berbasis kearifan lokal. Warga dengan latar belakang berbeda duduk bersama, tanpa melihat perbedaan pilihan politik, status ekonomi, atau latar budaya. Semua setara di hadapan tumpeng, aneka snack, kopi panas dan hidangan teh hangat.
K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan,” serta “Cinta tanah air sebagai bagian dari iman.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa tirakatan adalah wujud nyata menghubungkan hati warga dan memperkuat persaudaraan, bukan sekadar menyatukan tempat duduk.
Dalam tradisi ini, warga belajar koordinasi (siapa yang masak, siapa yang menata tempat), komunikasi (musyawarah RT/RW), dan kolaborasi (gotong royong mempersiapkan acara). Hadirnya penyerahan hadiah lomba 17-an menambah kesempatan untuk membangun kegembiraan dan keakraban antarwarga. Ini adalah social cohesion, yang jika dikelola baik, menjadi benteng dari ancaman perpecahan.
Tirakatan juga menjadi ruang rekonsiliasi sosial. Tidak jarang tetangga yang sebelumnya berselisih kembali akrab setelah duduk bersebelahan di acara ini. Keakraban yang dibangun terkadang menyelesaikan konflik kecil tanpa perlu mediasi formal.
Spirit kebangsaan ala Nahdliyyin
Gus Dur pernah mengatakan, “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Pesan ini hidup dalam tirakatan: semua warga diajak berbuat baik bersama tanpa sekat identitas.
Tradisi ini membuktikan bahwa nilai-nilai agama bisa berdampingan harmonis dengan semangat kebangsaan. Di tengah arus modernisasi dan pergeseran budaya, tirakatan tetap menjadi ruang menjaga ruh persaudaraan.
Penutup
Berkumpul di malam tirakatan sejatinya adalah menjalankan dua ibadah sekaligus: ibadah kepada Allah melalui doa dan dzikir, serta ibadah sosial melalui mempererat silaturahmi. Inilah maqashid syariah yang hidup dalam tradisi, bukan hanya dalam teks.
Semoga tirakatan terus lestari, menjadi jembatan antara masa lalu yang penuh perjuangan dan masa depan yang kita harapkan penuh kerukunan, kemajuan, dan keberkahan.
Heri Cahyo Bagus Setiawan
Penasehat Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) Sidoarjo