Suaramuslim.net – Sejak tahun 2000, dapur Pesantren Al Azhaar Kedungwaru Tulungagung Jawa Timur telah mengelola dapur dengan teliti dan berprinsip. Yaitu tidak ada MSG, tidak ada pengawet, tidak ada pewarna, tidak ada pemanis buatan. Yang paling penting: tidak ada makanan ultra processed food (UPF). Itu bukan sekadar kebijakan teknis. Itu adalah prinsip moral. Prinsip perlindungan terhadap generasi yang sedang tumbuh.
Namun kini, dua dekade kemudian, saat program Makan Bergizi Gratis (MBG) digulirkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN), saya terkejut. Di dapur-dapur SPPG, makanan UPF mulai tersaji. Padahal MBG adalah program mulia. Program yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan dari idealisme dapur pesantren: memberi makan yang aman, bergizi, dan bermartabat.
Apakah akan dibiarkan asupan makanan MBG disusupi makanan ultra-proses?
Mengapa ini bisa terjadi?
Ada beberapa sebab yang saya temukan di beberapa SPPG:
1. Generasi UPF di dapur SPPG
Banyak Kasatpel dan ahli gizi yang tumbuh dalam budaya UPF. Mereka tidak memandang makanan ultra-proses sebagai ancaman. Bahkan menganggapnya biasa. Padahal, bagi anak-anak, dampaknya bisa jangka panjang: obesitas, gangguan metabolik, bahkan penurunan fungsi kognitif.
2. Sarjana Covid-19
Banyak ahli gizi lulusan 2023–2024, masa kuliah saat pandemi. Praktikum minim. Interaksi lapangan terbatas. Maka wajar jika kualitasnya sering dibandingkan dengan lulusan sebelum Covid-19. Mereka butuh pendampingan, bukan hanya pelatihan teknis, tapi juga pembentukan karakter gizi yang berani dan berprinsip.
3. Tekanan mitra dan kasatpel
Ahli gizi di SPPG sering berada di bawah tekanan. Mitra ingin praktis. Kasatpel ingin cepat. Maka makanan UPF jadi solusi instan. Padahal, solusi instan sering kali adalah pengkhianatan terhadap masa depan anak-anak.
4. Rekrutmen tanpa standar
Rekrutmen ahli gizi diserahkan ke mitra. Kualitas sering dikalahkan oleh unsur KKN. Ahli gizi baru lulus, minim pengalaman, langsung diterima. Maka dapur MBG pun kehilangan ruhnya. Bukan lagi dapur perjuangan, tapi dapur pengisi perut.
Dapur pesantren telah berkhidmat
Hadi Sadar Atmaja, ahli gizi di dapur Pesantren Al Azhaar, selalu menekankan satu hal: keamanan pangan adalah fondasi gizi anak. Dari rantai bahan baku, produksi, distribusi, hingga konsumsi, semua harus aman. Hasilnya nyata: sejak tahun 2000 hingga 2024, tidak pernah ada kasus keracunan. Karena dapur ini bukan hanya dapur, tapi benteng moral.
Saran saya pondok pesantren yang saat mengelola dapur SPPG agar terus meningkatkan keamanan pangan. Jangan ada kasus dari dapur SPPG yang berada di pondok pesantren menyajikan asupan makanan tidak sehat. Apalagi kemudian ada kasus keracunan. Saya berharap pondok pesantren samakin berhati-hati.
Alasan yang sering diberikan
Ketika saya bertanya, mengapa makanan UPF disajikan di MBG, jawabannya beragam:
– “Relawan SPPG terbatas waktu dan tenaga.”
– “Anak-anak belum suka sayur.”
– “Makanan sehat lebih mahal.”
– “UPF lebih praktis dan tampilannya menarik.”
Semua alasan itu bisa dimengerti. Tapi tidak bisa dibenarkan. Karena MBG bukan sekadar program makan. Ia adalah program pembentukan karakter gizi. Dan karakter tidak bisa dibentuk dengan kompromi.
Amanah yang belum terlaksana
Saya teringat pesan Letjend Syafrie Syamsudin saat bersilaturrahim ke gubuk kami bersama para jenderal lainnya: “Kalau MBG berjalan, tolong diproduksi susu lokal untuk dapur MBG.”
Saya sudah undang petani susu, Bapak Mukri. Susu segar sudah dikemas baik, harga hanya Rp2.500. Tapi Kasatpel SPPG belum berani menerima. Alasannya: belum ada izin BPOM.
Maka yang terjadi anak-anak MBG minum susu rasa. Gula rasa susu. Dari UPF. Padahal yang dibutuhkan adalah susu segar. Susu lokal. Susu yang punya ruh petani dan semangat kemandirian.
Saatnya BGN bertindak
Pertanyaannya kini, akankah BGN menegaskan kebijakan agar dapur SPPG tidak menyajikan makanan UPF? Akankah ada keberanian untuk mengambil susu lokal, bukan produk ultra-proses?
Karena MBG bukan sekadar program. Ia adalah amanah. Amanah untuk melindungi generasi. Amanah untuk membentuk karakter bangsa. Amanah tidak bisa dijalankan dengan kompromi.
Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam