Suaramuslim.net – Demokrasi di Indonesia sering digambarkan sebagai pesta rakyat, namun realitasnya lebih tepat disebut pesta elite yang ditonton rakyat lapar.
Di setiap pemilu, rakyat berbondong-bondong ke TPS dengan sandal jepit, membawa KTP lusuh, dan mencoblos dengan harapan sederhana: ada perbaikan hidup, ada penguasa baru yang peduli pada perut mereka.
Namun begitu tinta di jari kering, yang kenyang justru para oligarki, keluarga pejabat, dan pengusaha rente yang sejak awal sudah memegang kendali.
Rakyat tetap di posisi lama: buruh murah, tukang ojek yang mengejar setoran, pedagang kecil yang sewaktu-waktu bisa digusur demi proyek mercusuar.
Di balik layar, panggung politik diatur dengan uang dan kuasa. Kampanye miliaran, iklan di televisi, hingga pasukan buzzer di media sosial tidak lahir dari keringat rakyat jelata, melainkan dari kantong konglomerat yang sudah menyiapkan investasi kekuasaan sejak lama.
Demokrasi kita ibarat restoran mahal: rakyat hanya bisa membaca menu, sementara yang makan kenyang tetap kelompok yang sama.
Kedaulatan rakyat hanya tinggal jargon; faktanya, keputusan besar negara selalu berputar di lingkaran modal dan dinasti. Pilihan rakyat pun sebenarnya dibatasi oleh kartel politik.
Dari ratusan juta warga negara, wajah yang muncul di kertas suara selalu familiar: anak presiden, mantan jenderal, pengusaha tambang, atau badut pencitraan yang lihai memainkan drama di YouTube.
Seakan negeri ini kekurangan orang jujur dan cerdas, padahal sesungguhnya rakyat tidak pernah diberi kesempatan untuk tampil.
Pemilu pada akhirnya melahirkan bukan wakil rakyat, melainkan wakil jaringan bisnis keluarga. Lebih ironis lagi, rakyat diberi ilusi kebebasan.
Mereka disuruh percaya bahwa dengan mencoblos sekali dalam lima tahun, kedaulatan sudah berada di tangan mereka.
Padahal sehari setelah pemilu, harga beras tetap melambung, BBM naik, lapangan kerja tidak kunjung terbuka, dan tanah rakyat terus dialihfungsikan atas nama investasi.
Hak suara ternyata tidak sanggup menahan kerakusan penguasa. Namun propaganda negara selalu berhasil menenangkan kegelisahan: “Syukuri, kita ini demokrasi, bukan diktator.”
Padahal, demokrasi model ini justru menjadi kamuflase halus dari diktator ekonomi yang lebih rakus dibanding penguasa otoriter.
Inilah kenyataan getir: demokrasi Indonesia bukan soal rakyat yang berkuasa, melainkan budak yang ikut meramaikan sirkus politik.
Bedanya dengan era feodal, kini para budak diberi panggung sesaat dan dipuji sebagai “pemilih cerdas” setiap lima tahun sekali.
Setelah itu, mereka kembali menjadi sapi perah, digiring oleh janji-janji yang tak pernah ditepati.
Demokrasi yang hanya memberi ruang pada elite dan membatasi rakyat sebatas penonton akan melahirkan kejenuhan.
Suatu hari, rakyat bisa saja berhenti memilih tuan, menolak peran sebagai budak, dan menuntut demokrasi yang benar-benar berpihak pada mereka.
Karena sejatinya, demokrasi bukan sekadar soal hak mencoblos, melainkan soal siapa yang sungguh berdaulat atas negeri ini: rakyat yang bekerja keras setiap hari, atau tuan-tuan pemilik modal yang terus memanen keuntungan dari suara mereka.
Cak Bonang
Arek Kampung Suroboyo
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.