Suaramuslim.net – Sejak 1998, kami menetapkan satu prinsip yang tak tergoyahkan. Tidak ada jajanan bebas di sekolah. Tidak ada kantin, warung, atau toko yang menjajakan makanan sembarangan. Sebagai gantinya, kami menghadirkan jajan dan makanan yang disiapkan langsung oleh Layanan Gizi Sekolah (LGS). Setiap pukul 09.00, anak-anak mengambil makanan yang bukan hanya bergizi, tetapi juga penuh keberkahan.
Prinsip keteguhan kami, karena kami menyaksikan sendiri bahaya yang mengintai dari balik warna-warni jajanan anak sekolah: boraks, formalin, pewarna tekstil. Murah, menggoda, tapi beracun.
Kami tidak ingin generasi Indonesia tumbuh dengan tubuh yang diracuni sejak dini. Maka dapur sekolah kami dirancang sederhana, seperti dapur rumah. Dari sanalah lahir makanan yang sehat, aman, dan bernilai.
Layanan gizi sekolah bukan sekadar pengganti jajanan. Ia adalah jawaban konkret atas keresahan para orang tua dan guru terhadap ancaman kesehatan anak-anak. Kami ingin murid-murid tidak berbudaya jajan, tetapi berbudaya infaq, jariyah, sedekah, dan kepedulian sosial. Kami ingin mereka hemat, sehat, dan berakhlak.
Jajanan di luar sekolah memang murah dan menarik. Tapi siapa yang tahu kandungannya? Pewarna sintetis, pengawet, pemanis buatan; semua itu mengancam tubuh anak yang masih bertumbuh. Maka kami memilih untuk tidak menyediakan jajanan sembarangan.
Sejak 2015, atas permintaan orang tua, kami membuka koperasi sekolah. Tapi jajanan yang dijual bukan sembarang jajanan. Ia dibuat oleh para guru, didiversifikasi oleh LGS, dan lolos uji ahli gizi. Pola ini bentuk kehati-hatian kami.
Pemerintah Prabowo melalui Kabinet Merah Putih meluncurkan program MBG, Makan Bergizi Gratis. Menurut kami, seharusnya namanya MBB: Makan Bergizi Berkah. Karena makanan bukan hanya soal nutrisi, tapi juga soal keberkahan.
Makan bergizi berkah merupakan langkah preventif. Makanan yang disajikan harus bergizi, aman, higienis, dan diberi doa oleh para juru masak. Bahkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebaiknya membuat SOP agar para relawan SPPG memasukkan doa dalam bahan makanan.
MBG bukan sekadar bagi nasi di sekolah. Ia harus hadir dibarengi konsultasi gizi anak. Anak-anak harus belajar mengenali mana makanan yang menyehatkan dan mana yang membahayakan. MBG harus menjadi gerakan edukasi, bukan sekadar distribusi.
Setelah ada MBG, apakah anak-anak berhenti membeli jajanan warna-warni di pinggir jalan? Apakah mereka tidak lagi nongkrong di warung dan kafe? Apakah mereka mulai memilih makanan yang halal dan thayyib? Di sinilah kita harus selalu bertanya sebagai upaya mewujudkan keberhasilan MBG.
Tujuan utama program makan yang berlaku di sekolah sejak 1998 merupakan upaya tersistem untuk mengurangi uang jajan. Bersama para orang tua murid program ini untuk kemaslahatan generasi Indonesia. Sehingga para murid tidak kehilangan konsentrasi belajar karena nafsu jajan. Maka pertanyaannya: setelah ada MBG, apakah uang jajan anak tetap besar? Ataukah mereka sudah tidak meminta uang jajan lagi?
Sejak 1998, layanan gizi di sekolah kami bukan hanya soal makan. Ia adalah pendidikan karakter. Murid bertanggung jawab atas wadah dan peralatan makan. Mereka bergiliran mengambil makanan, membagi ke teman sekelas, dan memimpin doa. Mereka belajar tentang makanan halal dan thayyib, tentang empati, khidmat, dan setia kawan.
MBG baru dinyatakan berhasil jika:
1. Para orang tua tidak terbebani uang saku
2. Para murid menjadi sehat
3. Para murid tidak nongkrong di kafe-kafe
4. Para murid memilih makanan yang halal dan thayyib
5. Para murid tumbuh menjadi generasi Indonesia yang kuat, sehat, dan berakhlak
6. Para orang tua merasa aman dan damai saat menerima asupan MBG
Program MBG berarti setop uang jajan. Setop para murid budaya jajan. Membutuhkan perjuangan memberi edukasi. Sesering mungkin ahli gizi di dapur SPPG membersamai para murid. Mereka membutuhkan sentuhan kasih sayang.
Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam