“Sini nak !”, kata ibu saya sambil menepuk kursi disebelahnya.
Ibu menyuruh saya duduk disitu. Ini adalah kenangan saya tentang jasa ibu saya ketika saya berusia 12 tahun, lebih dari setengah abad yang lalu. Beliau memulai percakapan begitu saya duduk dengan mengajukan pertanyaan: “Mau nggak mama ajarin bagaimana caranya masak cepat?” ujarnya sambil membenarkan rambut saya yang jatuh ke kening saya. “Untuk apa belajar masak cepat,ma?” Tanya saya heran. Saya benar benar tidak mengerti kenapa hal itu perlu. “Kita harus bisa cepat cepat didapur, supaya kita nggak tenggelam disitu.Jadi kita bisa melakukan banyak hal lain kalau masak sudah selesai dan makanan sudah siap buat keluarga kita !” jelas ibu saya. Sebagai anak berusia 12 tahun saya tidak sepenuhnya mengerti dan saya terus bertanya dan ibu saya menjelaskan dengan alasan alasan dan cerita-cerita yang semuanya masuk akal saya.
Salah satunya ibu saya menceritakan kisah seorang tante, keluarga dekat kami yang kalau didapur lelet. Dari pagi gak kelar-kelar dan sampe anaknya sudah merengek lapar dan bahkan pernah suaminya sudah duduk di meja makan, dia belum selesai juga. Ibu saya langsung mengajukan pertanyaan pada saya;”Mau begitu?”. Saya jawab dengan gelengengan kepala.
“Kalau nanti Elly sudah bantuin mama, terus elly boleh ngapain? Tantang saya. “Tergantung , kita selesainya jam berapa, tukas ibu saya. “Kalau Elly bisa bantuin mama sehingga kita kelarnya cepat dan belum waktunya jam tidur, Elly boleh main dulu sama temennya”, kata ibu saya meyakinkan.
“Yeey asyeeek!” seru saya, dan langsung mengajak ibu saya untuk mulai. Saya sudah membayangkan maen sama sahabat saya Djuju yang tinggal hanya berapa rumah dari rumah kami. Ibu saya mengeluarkan belanjaan dan menceritakan kita akan memasak apa. Yang paling susah dari masakan orang Aceh adalah ’menggiling bumbu’. Kalau Anda sekarang ini masak, selain banyak bumbu jadi dalam sachet, dari sayur bening sampai gule atau rendang, anda juga bisa beli bumbu segar jadi dipasar dengan hanya menyebutkan nama masakannya ‘ sambal goreng, gule ikan dll’. Selain itu ada food processor, blender, happy call dan beratus peralatan dapur canggih lainnya yang mempercepat pekerjaan. Setengah abad yang lalu, semua harus dikerjakan manual, terutama menghaluskan bumbu Pake batu gilingan empat persegi – seukuran laptop, yang ulekannya dua kali ukuran lontong!
Mulailah ibu saya menceritakan urut-urutan pekerjaan yang akan dilakukan supaya kita bisa ‘cepat didapur’. Beliau menumpuk bahan makanan: Ikan akan di gule santan, tahu akan di balado, sayur akan dimasak bening. Beliau menjelaskan mana yang bisa dilakukan cepat dan mana yang lama prosesnya. ”Mulai dari yang gampang”, ujar ibu saya. Lalu saya disuruh berfikir mana yang paling gampang. Saya menjawab: “Menggoreng tahu!”. ”Betul” kata ibu saya, “Pinter anak mama!”.
Lalu beliau menjelaskan, bahwa sementara kita melakukan hal yang susah seperti membersihkan ikan dan menggiling bumbu, hal yang mudah dilakukan dulu. Sambil tahu dipotong, kompor dihidupkan penggorengan di taruh minyak, tahu digoreng. Sayur dipotong panci berisi air, irisan bawang dan cabe ditaruh di mata kompor yang lain, dstnya. Sementara tahu dan sayur itu dimasak, ikan dibersihkan diberi garam dan asam barulah bumbu digiling dan ikan dimasak!.
Reward Langsung – Evaluasi Belakangan
Kami selesai masak hampir jam 10, setelah kami selesai membersihkan dapur , ibu saya langsung bilang: ’Elly boleh bersih bersih dan main kerumah Djuju!” Uuuh bahagianya hatiku, hadiahnya lansung!. Sebelum pergi ibuku bilang: ”2jam ya”. Dan betul persis dua jam, mbok Pon sudah berada didepan rumah Djuju menjemput saya untuk pulang.
Setelah beberapa kali latihan ‘masak cepat’ berlangsung, suatu sore ibu saya mengajak saya ngobrol dan kami membicarakan soal masak cepat tersebut. Kalau istilah sekarang mengevaluasinya. Ibu saya menanyakan pendapat saya, apa yang saya sukai dan tidak sukai. Lalu beliau menjelaskan dengan menambahkan kisah atau cerita baik dari pengalaman beliau sendiri ataupun saudara saudara dekat kami yang saya kenal untuk memantapkan sikap saya.
Lemparkan Anak Kemasa Depan Secara Emosional!
Setelah saya dewasa, barulah saya sadar mengapa saya suka masak dan bisa melakukannya dengan cepat adalah karena ibu saya mendidik saya bukan saja dengan menyenangkan, tapi juga dengan ‘reason’ – alasan yang masuk akal dan beliau menyempurnakannya dengan ‘mimpi!’, yaitu memberi saya semangat dengan energi yang luar biasa. Ini yang dikatakan ibu saya, menggenapkan upayanya membuat saya suka dan bisa cepat didapur. “Mama mendoakan agar Elly nanti insha Allah akan jadi istri pejabat, dan kita nak harus bisa dibawa “ketengah!”. Saya tidak paham apa yang beliau maksudkan. Ibu saya menjelaskannya dengan contoh. Banyak orang beristrikan perempuan cantik, tapi kalau ada pertemuan dikantor suaminya, urusan dirumahnya tidak beres, tak pandai mematut diri dan tidak bisa bergaul jadi bagaimana suaminya akan membawanya “ketengah pergaulan?’’tanya ibu saya. Saya belum bisa membayangkan, setengah tidak mengerti, tapi yang saya faham ibu saya sedang melatih saya dan mendoakan saya sukses dimasa depan. Itu saja yang saya yakini. Apa yang sekarang sedang saya jalani, saya mengerti itu perlu, saya dapat hadiah dan penghargaan kalau saya bisa dan ibu saya mendoakan saya terus . Selesai.
Ketika Doa Jadi Kenyataan
Puluhan tahun kemudian saya terlempar hidup diluar negeri. Pekerjaan yang saya dapat hanyalah jadi teacher assistant di sekolah TK anak saya yang kedua. Saya sebenarnya melamar jadi guru, tapi saya ‘over qualified’ tapi gak pegang sertifikat kursus guru TK lulusan Amerika . Jadilah saya guru bantu tapi suka dan bahagia. Saya bisa belajar banyak. Tapi penghasilan saya sangat kecil dibandingkan kebutuhan kami dan juga bila saya ingin meraih mimpi saya. Pendek cerita, jalan nasib sudah digariskan Allah. Seorang teman yang suaminya juga sekolah dikirim oleh LIPI, mengajak saya untuk buka restoran. Ternyata pelik sekali persyaratannya. Berakhirlah kami jadi jualan nasi untuk mahasiswa dengan penawaran: ”Masakan Indonesia yang lezat dan anda terima di kamar anda!”. Kami berdua memasak di rumah masing masing dan kemudian menggabungkannya dan mengantarnya ke alamat pelanggan yang mencapai 60 orang terdiri dari 18 bangsa. Diujung cerita karena satu dan lain hal sahabat saya ini mengundurkan diri. Jadilah saya mengerjakannya sendiri. Target saya jelas, saya ingin membawa kedua anak kami:”Melihat Ka’bah!” . Setiap apa yang saya lakukan: memotong sayur, memasak lauk, mencuci piring saya terus berdoa: ’Sampaikanlah kami ya Allah kerumahMu!”.
Allah selalu mendengar doa hambaNya, dan tak pernah tidur untuk menyaksikan kesungguhan saya dan keluarga berdagang nasi dan tidur hanya empat jam selama hampir setahun.
Ketika saya duduk dikereta api cepat lintas berbagai negeri di Eropa, sholat di masjid Al Azhar Kairo , menunggui anak saya dan ayahnya masuk pyramid, dan beribadah sekitar Ka’bah dan berbagai tempat yang sudah diuraikan oleh anak saya dalam tulisannya : “Berjalan-jalanlah!” di grup ini. Saya tak henti2nya menangis.
Mungkin apa yang kami capai ini hal biasa untuk orang lain, tapi tidak untuk kami orang biasa, bukan orang kaya!. Lagi pula kami dapatkan ini benar benar dengan jual tenaga!. Diatas segalanya semua ini bisa dan mampu saya lakukan, tak bisa dilepaskan dari kebiasaan yang ditanamkan ibu saya sejak saya berusia 12 tahun, di dapur kami yang kecil dan dengan kompor 12 dan 24 sumbu! Doa-doa beliau yang tiada putus dan upaya beliau: ”Melemparkan saya secara emosional ke masa depan yang tak pernah nampak oleh beliau bentuknya!”
Kini saya mendapatkannya, menjalaninya. Lewat saya, ibu saya memahat pengalaman yang luar biasa dalam jiwa cucu-cucunya untuk masa depan yang mereka juga belum melihat bentuknya.
Ya Allah ya Rabbi, Engkau ampunilah dosa ibu dan ayah kami, sayangi lapangkan kubur ibu dan ayah kami, anugrahilah kedua beliau rumah dan keluarga yang lebih baik dari yang beliau miliki diatas bumi, dan ya Allah aku bersaksi bahwa aku adalah bukti amal baik keduanya!
Bekasi, 8 oktober 2017
Elly Risman