Lanjutan dari Kriminalisasi Kebijakan Pejabat Pemerintahan Daerah, Benarkah? – Bagian 1
Dalam UUAP terdapat sepuluh AUPB terkait dengan dasar dikeluarkan diskresi pejabat meliputi: asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak menyelahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepetingan umum, dan asas pelayanan publik.
Selain itu, dikeluarkan kebijakan atau diskresi harus berdasarkan “alasan-alasan objektif”, yaitu diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional. Dikeluarkan diskresi, juga tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan adalah kondisi di mana pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, korporasi, golongan atau partainya dalam penggunaan wewenangnya. Sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukan oleh pejabat.
Satu syarat penting lain dikeluarkan diskresi adalah dilakukan dengan itikat baik, yaitu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat didasarkan atas motif kejujuran. Terkait dengan motif dikeluarkannya keputusan, Hans G. Nilson dalam bukunya: Future Corruption Control in Europe (1998) memberikan catatan bahwa penggunaan wewenang pejabat yang semula merupakan tindakan hukum administrasi, dapat bergeser menjadi perbuatan pidana atau tindak pidana korupsi, apabila di dalamnya ada motif atau mengandung unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum (wedderrechtelijk atau illegality) dan kesalahan yang disengaja (gross negligence). Motif dan praktik yang buruk tersebut dalam lapangan hukum administrasi, biasa disebut maladministrasi.
Pada titik inilah terdapat wilayah abu-abu (grey area) dari sebuah kebijakan yang lahir kewenangan diskresi. Di satu sisi, diskresi merupakan domain hukum administrasi, berupa perwujudan kewenangan bebas pejabat, yang apabila terdapat penyalahgunaan kewenangan menjadi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya.
Sedangkan di sisi yang yang lain, penggunaan kewenangan bebas pejabat yang dikotori dengan motif-motif jahat (mens rea), seperti kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum (wedderrechtelijk atau illegality) dan kesalahan yang disengaja (gross negligence), menjadi ranah hukum pidana, di mana pengadilan tipikor berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili.
Dengan demikian, dalam pandangan penulis, kriminalisasi kebijakan secara normatif tidak boleh dilakukan sepanjang kebijakan (diskresi) tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan memenuhi persayaratan yang ditentukan pasal 24 UUAP tersebut di atas.
Namun, sebaliknya jika dikeluarkan kebijakan tersebut didasarkan pada motif tidak jujur seperti mengandung unsur kecurangan (fraud), adanya benturan kepentingan (conflict of interest), adanya perbuatan melawan hukum (wedderrechtelijk atau illegality) dan adanya kesalahan yang disengaja (gross negligence). Maka kebijakan tersebut dapat diuji dan masuk dalam konteks hukum pidana atau tindak pidana korupsi.
Adanya wilayah abu-abu (grey area) tersebut, menimbulkan persoalan hukum tersendiri dalam penegakan hukumnya. Di tangan aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, dan KPK) yang memiliki moral reading yang baik, tentu akan menjadi positif sebagai fungsi kontrol terhadap pejabat dalam penyelenggaran pemerintahan seperti yang dikehendaki dari Perintah Presiden Jokowi Widodo.
Sebaliknya, di tangan aparatur penegak hukum yang “cerdas tapi culas”, maka wilayah abu-abu tersebut dapat dijadikan pintu untuk melakukan kriminalisasi kebijakan dalam rangka memuluskan preferensi-preferensi subyektif para penyidik dan memenuhi pesanan-pesanan politik tertentu.
Perlindungan Hukum Pejabat Pemerintahan (Daerah)
Pada dasarnya pada setiap pejabat melekat atau inheren dengan perlindungan hukum. Hal ini tercermin dari prinsip “presumptio iustae causa atau vermoden van rechtmatige” atau lebih dikenal dengan prinsip praduga absah. Di mana setiap keputusan dan/atau tindakan pejabat harus dianggap sah sepanjang tidak ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) yang menyatakan sebaliknya.
Salah satu tujuan diundangkan UUAP adalah memberikan perlindungan hukum, baik kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan. Ironisnya, dalam UUAP terkait perlindungan hukum pejabat hanya menyebut tiga jenis perlindungan hukum, yaitu (a) memperoleh perlindungan hukum dan (b) jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya serta (c) memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya. Tanpa secara jelas dan tegas (expressis verbis) memerinci maksud dari frase memperoleh “perlindungan hukum”, “jaminan keamanan” dan “bantuan hukum” dalam pelaksanaan tugasnya.
Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan, pemajuan, dan penegakan perlindungan hukum pejabat, menurut hemat penulis perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari Undang Undang No, 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang di dalamnya secara khusus diatur tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum pejabat dan mekanisme pemenuhan serta penegakannya meliputi : (a) jaminan tidak adanya kriminalisasi terhadap pejabat yang mengeluarkan kebijakan (policy) untuk kepentingan umum; (b) jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugasnya; (c) pemberian bantuan hukum bagi pejabat yang tersangkut kasus pidana di semua tingkat pemeriksaan; dan (d) penentuan skala prioritas, jika penyalahgunaan wewenang pejabat di satu satu sisi diperiksa oleh PTUN, tetapi pada saat bersamaan diperiksa oleh Pengadilan Tipikor atau sebaliknya.
Apabila bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap pejabat tersebut tidak segera diatur mekanisme pemenuhan dan penegakan dalam suatu peraturan perundang-undangan secara expressis verbis, maka kita akan berhadapan dengan adagium hukum yang berbunyi : “justice delayed, justice denied”. Suatu keadilan yang ditunda-tunda, sama dengan keadilan diabaikan. Sementera kita tahu bahwa tujuan utama dibentuknya hukum seperti dipesankan oleh Aristoteles, ”honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere”, yaitu prinsip hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”.