Suaramuslim.net – Mengawali 2018 ini hal penting yang perlu kita ingatkan pada Presiden Jokowi dan jajaran kabinetnya adalah bagaimana memberikan keadilan pada seluruh rakyat Indonesia. Sebagai presiden ia memimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi para pendukungnya. Hal yang sama tentu berlaku pula bagi Gubernur dan Bupati Wali Kota seluruh Indonesia.
Bagian yang paling dirasakan masyarakat secara langsung setidaknya pada sektor ekonomi dan penegakan hukum. Pada sektor ekonomi betapa ketimpangan itu makin hari makin menganga. Jurang antara kaum kaya dengan ekonomi lemah terasa makin curam. Angka statistik pertumbuhan ekonomi dengan segala variabelnya terasa tidak berimplikasi apa-apa bagi kebanyakan rakyat. Bagi mereka bukan angka-angka itu yang penting, tetapi bagaimana kesejahteraan itu benar-benar dirasakan. Mereka tak ingin merasakan kesejahteraan melalui pidato dan ceramah para pejabat. Mereka ingin yang konkrit.
Apalagi capaian tahun 2017 pada sektor ekonomi tidak begitu menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi 2017 rata-rata di angka 5,17 persen, tidak mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) sebesar 5,2 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi masih bergerak 5,0 persen per tahun, jauh dari target RPJMN 2015-2019 sebesar 7,0 persen per tahun. Kebijakan pembangunan yang difokuskan pada pembangunan infrastruktur belum dirasakan manfaatnya yang signifikan oleh rakyat. Sebaliknya justru memperbesar hutang negara yang tentu saja akan jadi beban rakyat juga.
Di sisi lain pemerintah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Seperti kenaikan harga BBM, listrik, pajak dan biaya-biaya administrasi seperti pengurusan STNK, dan sebagainya.
Pada aspek hukum sepertinya harapan masyarakat merasakan keadilan masih sangat jauh. Pada kasus tertentu gerak aparat terlihat begitu sigap. Terutama kasus yang tidak merugikan penguasa atau yang melibatkan opisisi dan pengkritik pemerintah. Bahkan aroma kriminalisasi begitu terasa. Tapi pada kondisi sebaliknya, gerak aparat begitu lambat. Banyak alasan yang terkesan dicari-cari. Terlihat ada kesan pilih-pilih kasus.
Sebagai contoh pada penanganan kasus penyiraman Novel Baswedan. Sampai hari ini masih jalan di tempat. Begitu rumit mencari pelakunya, seolah lebih rumit dari mengungkap teroris. Pada kasus tuduhan makar bagi sebagian aktifis pada masa-masa Aksi Bela Islam proses pentersangkaan begitu cepat, tapi sekarang kasusnya malah seperti diam saja. Demikian juga kasus wartawan Ranu Muda dan aktifis Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), mereka ditahan lebih empat bulan, kemerdekaan mereka dirampas atas nama hukum. Tapi nyatanya majelis hakim menyatakan mereka bebas. Padahal sebelumnya berkali-kali diajukan penangguhan penahanan tidak digubris oleh aparat.
Dalam kasus dugaan ancaman pembunuhan kepada Fahira Idris, Fadli Zon, Buni Yani serta Rizieq Sihab hingga detik ini tidak jelas prosesnya di kepolisian. Pengancam bernama Nathan P Suwanto yang ingin membunuh keempat orang ini hingga saat ini tidak diproses padahal laporan sudah masuk sejak Mei 2017. Bahkan kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Wapres Jusuf Kalla oleh Silvester tidak mendapat respon cepat dari aparat, kasusnya seperti mengendap.
Banyak lagi fakta lainnya yang kemudian memunculkan kesan di masyarakat seakan hukum tidak bekerja untuk keadilan. Seolah tunduk pada kekuasaan atau kekuatan lainnya. Rakyat berharap ada kesamaan di depan hukum bagi seluruh warga negara, equality before the law.
Memasuki 2018 tentu publik berharap keadilan itu ada dalam dunia nyata. Bukan dalam retorika. Inilah salah satu catatan penting bagi pemerintah dan termasuk penegak hukum. Hadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan bagi sebagiannya saja. Semoga!