إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّـهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّـهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا(٣)
Artinya: Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1), Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (2), Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat (3).
Surat pendek dengan hanya 3 ayat ini, nilai dan fadhilahnya menyamai seperempat Al-Qur’an (lihat HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Dan menurut sebagian riwayat lain, ia merupakan surat yang diturunkan terakhir kali, yakni pada pertengahan hari-hari tasyriq di Mina pada haji wada’ (HR. An-Nasaa-i dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan HR. Al-Bazzar dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma), sebagai pertanda telah sempurnanya ajaran Islam dan telah berakhirnya tugas suci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban amanah besar dari Allah Ta’ala, untuk menyeru dan membimbing ummat manusia ke jalan lurus, jalan Allah satu-satunya (QS. Al-Fatihah [1]: 6-7; QS. Al-An’am [6]: 153; QS. Yaasiin [36]: 61), yakni jalan tauhid, iman, ibadah dan penghambaan diri kepada Allah semata dalam bingkai dinul Islam yang murni. Oleh karena itu, turunnya surah ini dipahami sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa, di hari-hari terakhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mengucapkan dzikir dan doa: “Subhanallah wabihamdih, astaghfirullah, wa atubu ilaih”, dan beliau bersabda (yang artinya): “Sungguh Rabb-ku (Tuhan-ku) telah memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan suatu tanda pada ummatku, dan Dia memerintahkan jika telah mendapatkannya agar aku bertasbih memuji-Nya dan beristighfar kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Penerima taubat, dan aku telah mendapatkannya, …lalu beliaupun membaca surah An-Nashr” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa, setelah surah An-Nashr turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ruku’ dan sujud beliau banyak membaca dzikir: Subhanaka Allahumma [Rabbana] wa bihamdika, Allahumma-ghfirli, dalam rangka melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nashr ayat 3 (lihat HR. Muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
Hanya untuk Satu Misi Suci
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma – dikuatkan oleh Amirul mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu – memahami surah An-Nashr sebagai tanda dari Allah akan dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (lihat HR. Al-Bukhari). Dan tafsir beliau ini –yang selaras dengan hadits Muslim di atas– menegaskan bahwa, satu-satunya misi suci, tugas mulia dan jalan lurus beliau dalam hidup ini hanyalah menyampaikan dakwah Islam (QS. Yusuf [12]: 108), dan tidak ada yang lain.
Maka ketika dinul Islam telah sempurna (QS. Al-Maidah [5]: 3), pertolongan Allah telah datang dan kemenangan terbesar telah diraih, yang ditandai dengan penaklukan kota Mekkah dan masuknya ummat manusia secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam, jika itu semua telah terjadi, berarti telah tibalah saat beliau dipanggil kembali kepada Allah. Karena memang hanya untuk misi dan tujuan mulia itu sajalah beliau dicipta di dunia ini dan diutus di tengah-tengah ummat manusia.
Nah, di sinilah kita semua sebagai ummat pengikut dan pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, wajib merenung dan menanyakan pada diri masing-masing: sudahkah selama ini kita menjadikan dakwah membela dan memperjuangkan Islam sebagai tugas dan misi utama kita dalam hidup ini? Ataukah urusan dakwah baru kebagian yang serba sisa saja dari kepedulian kita, perhatian kita, waktu kita, tenaga kita, harta kita, dan semua yang kita miliki? Atau bahkan masih lebih buruk lagi dari itu?
Adapun keterkaitan antara penaklukan kota Mekkah dan masuknya ummat manusia ke dalam Islam secara berbondong-bondong, sehingga keduanya disebutkan secara bergandengan dalam surah ini, adalah karena memang selama bertahun-tahun dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, suku-suku masyarakat Jazirah Arab di luar Makkah memilih menunggu sikap akhir suku Quraisy terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan risalah Islam yang dibawa oleh beliau. Sehingga begitu mengetahui kota Makkah ditaklukkan dan masyarakatnya telah menjadi pengikut beliau, merekapun serta merta masuk Islam secara berbondong-bondong (lihat HR. Al-Bukhari dar ‘Amru bin Salamah radhiyallahu ‘anhu).
Standar Kesuksesan dan Fiqih Kemenangan
Dan karena tugas dan misi utama itu adalah berdakwah memenangkan Islam di bumi Allah ini, maka standar kesuksesan dan parameter kemenangan dalam hidup setiap mukmin dan mukminah pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam haruslah diukur dengan ukuran kesuksesan dakwah dan kemenangan Islam, dan bukan ukuran kesuksesan-kesuksesan lain yang bersifat materi dan duniawi yang semu belaka.
Meskipun keberhasilan dan kesuksesan dakwah tidak selalu harus berwujud kemenangan Islam yang terlihat di alam kehidupan nyata. Namun tetap saja kita harus menjadikan pasal kemenangan ini sebagai tujuan utama dan cita-cita besar perjuangan dakwah kita. Dan untuk itu kita mesti memahami kaidah-kaidah fiqhun nashr (fikih kemenangan) yang merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Dan di antara kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, kemenangan itu hanyalah dari Allah saja(QS. Ali ‘Imraan [3]: 126, dan Al-Anfaal [8]: 10). Oleh karenanya kemenangan yang diraih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam surah ini dinisbatkan langsung kepada Allah: nashrullah (pertolongan/kemenangan dari Allah).
Kedua, kemenangan hakiki dari Allah hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berhak, yakni yang benar-benar beriman (QS. Ar-Ruum [30]: 47; Ghaafir [40]: 51).
Ketiga, untuk berhak atas pertolongan dan kemenangan dari Allah, orang beriman wajib beramal, berusaha dan berjuang secara benar, optimal dan maksimal, yang karenanya membutuhkan waktu yang panjang dan melalui tahapan-tahapan yang telah digariskan (lihat QS. Al-Hajj [22]: 40; Al-‘Ankabut [29]: 69; Muhammad [47]: 7).
Jadi tidak serta merta begitu saja secara bim salabim, yang sering dipakai secara salah untuk menafsirkan kata-kata kun fayakun, dan juga tidak sekedar berpangku tangan saja. Oleh karenanya kemenangan puncak dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti disebutkan dalam surah An-Nashr-pun baru diperoleh setelah liku-liku dan tahapan-tahapan perjuangan yang panjang selama 21 tahun. Padahal amat sangatlah mudah andai Allah ingin memberikan pertolongan dan kemenangan-Nya langsung pada hari pertama kenabian, kerasulan dan seruan dakwah kekasih-Nya itu. Tapi Allah tidak berkehendak demikian, karena memang itu tidak sesuai dengan ketentuan sunnah-Nya Sendiri.
Keempat, Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang beriman yang beramal dan sekaligus telah teruji tegar dalam melewati berbagai cobaan dan ujian berat yang memang merupakan bagian dari sunnatullah yang baku di jalan dakwah dan jihad ini (QS. Al-Baqarah [2]: 214, dan Al-‘Ankabuut [29]: 2-3).
Menang = Syukur dan Istighfar
Islam adalah agama yang indah dalam berbagai aspeknya, karena memang berasal dari Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Indah. Dan salah satu sisi serta bentuk keindahan itu terlihat pada arahan, petunjuk dan bahkan perintahnya pada momen kesuksesan sempurna dan kemenangan puncak.Dimana dalam situasi dan kondisi seperti itu biasanya orang akan berbangga diri, berlaku sombong karena merasa paling hebat, bersuka ria dalam melampiaskan kegembiraan dengan penuh kelalaian dan sikap lupa diri, dan semacamnya. Karena telah terninabobokan oleh kemenangan.
Namun Islam justru memerintahkan kebalikan dari itu semua. Ya, melalui firman-Nya dalam surah An-Nashr ini, Allah memerintahkan kekasih-Nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapat kemenangan puncak itu untuk justru merunduk dan merendah dalam rangka menyadari kelemahan diri dan sekaligus mengekspresikan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah. Yakni dengan banyak-banyak bertasbih dan bertahmid mengagungkan dan memuji Asmaa’-Nya. Semuanya wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah Pemilik dan Pemberi semuanya.
Tapi perintah Allah tidak hanya berhenti pada kewajiban bersyukur, bertasbih dan bertahmid saja. Melainkan masih diteruskan dengan arahan dan perintah yang lebih indah lagi, yakni perintah untuk beristighfar dan memohon ampun pada momen kemenangan puncak dan puncak kemenangan. Ini benar-benar tidak biasa, dan bahkan mungkin dianggap “aneh” serta nyleneh: pemenang mutlak justru disuruh mengakui kesalahan, beristighfar, dan mohon ampun. Sungguh sesuatu yang sangat tidak mudah dijalankan kecuali oleh orang-orang agung yang telah tersucikan jiwanya.
Adapun mengapa mesti istighfar, adalah karena momen kemenangan biasanya memunculkan dalam diri seseorang kondisi-kondisi negatif baik secara lahiriah maupun khususnya batiniah yang sulit diantisipasi dan dikontrol, seperti munculnya sikap pelampiasan kegembiraan yang berlebihan, rasa bangga yang juga berlebih, sampai pada sikap sombong, dan semacamnya. Juga karena selama perjuangan panjang berliku-liku yang penuh onak dan duri, sangat boleh jadi sempat muncul hal-hal negatif, seperti kesalahan-kesalahan langkah, perselisihan-perselisihan hati antar para pejuang, ketidaksabaran-ketidaksabaran, bahkan termasuk suudzan-suudzan terhadap Allah, dan lain-lain.
Ditambah lagi kita perlu beristighfar saat mendapat kesuksesan dan kemenangan, karena tingkat dan wujud syukur kita yang hampir pasti selalu penuh dengan kekurangan-kekurangan. Lalu istighfarnya pemenang itu, disamping syukurnya, juga diharapkan akan menjadi faktor pengontrol baginya dalam menyikapi dan memperlakukan pihak yang kalah, sehingga tidak terjadi perlakuan yang melampaui batas terhadap mereka. Jadi karena dan untuk hal-hal itulah, dan juga masih banyak yang lainnya lagi, kita patut dan harus beristighfar saat keberhasilan dan kemenangan teraih.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun memberikan contoh dan teladan terbaik kepada kita dengan langsung melaksanakan perintah Allah tersebut, sebagaimana kita dapati dalam riwayat-riwayat di atas. Lalu bagaimana dengan kita para pelanjut dan pewaris beliau? Sudah siapkah kita meneladani beliau dan melaksanakan perintah itu jika diberi kemenangan sewaktu-waktu? Ataukah jangan-jangan Allah menahan memberikan pertolongan dan kemenangan-Nya karena Dia Maha Tahu bahwa, kita masih belum mencapai derajat keagungan jiwa dan kesucian hati yang dengannya telah sanggup membuktikan kehebatan dan keindahan Islam tersebut? Wallahu a’lam.