Suaramuslim.net – “Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan Ishak (akan lahir) putranya Ya’qub.” (QS. Huud[11]:71).
Saksikanlah bangsa-bangsa zalim menggali kubur peradabannya sendiri. Negeri yang memiliki puluhan juta pasangan sejenis, negeri yang mengaborsi bayi-bayi generasi penerus karena ayah-ibunya hanya menginginkan nikmat sesaat untuk melampiaskan libidonya. Negeri yang pemudanya tenggelam dalam laut syahwat tak bertepi. Bayi-bayi yang lahir adalah bayi-bayi yang tak diharapkan. Set psikologisnya terbangun untuk memberontak, melawan, dan menghancurkan lingkungan yang telah menolaknya.
Ajaib, indah nian skenario Allah! Di saat yang sama, para ustadz dan aktivis dakwah berusaha mengamalkan sabda Rasulullah untuk beranak banyak agar bisa dibanggakan atas umat yang lain. Bahkan kalau mampu, mungkin ada yang ingin memecahkan rekor Anas bin Malik dengan 120 anaknya yang hafizh Al-Quran semua. Jundi-jundi kecil itu hidup dalam asuhan iman, siap menggantikan tempat kosong yang ditinggalkan oleh bayi-bayi teraborsi, pasangan-pasangan sejenis tanpa keturunan, atau mungkin orang-orang yang ragu akan rizki dan kuasa Allah sehingga harus ber-KB tanpa alasan selain ekonomi.
Dan Alhamdulillah, kita tinggal menanti, bumi ini dihuni bahkan dipusakai oleh banyak hamba Allah yang saleh. Mengapa? Karena para ahli iman bersemangat beranak dan mendidik anaknya, sedang ahli kekufuran bersemangat untuk mengaborsi generasi penerusnya.
Impian menjadi Ibu
Menjadi ibu. Bagi kita adalah mimpi-mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta, dan asahan rasa. Seruak cita itu adalah fitrah paling indah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan, rasa, kemuliaan! Ibu…! Mulia cukup dengan telapak kaki perjuangan. Karena tak seorang pria pun, memliki kedudukan ini: surga di telapak kaki. Tak satu pria pun. Demi Allah, tak satu pria pun…!
Ibu…!
Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita. Selalu dan senantiasa. Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali kata tiga huruf plus tiga titik dan tanda seru itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang menyambut kehadiran.
Ibu…!
Ini kata tentang penegasan madrasah agung. Tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini dermaga pengaduan paling luas saat mereka rasa teraniyaya. Ini belai paling menentramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan. Ibu, perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tak bernyawa.
Ibu…!
Panggilan yang meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali di depan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Rasulullah menegaskan. Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah mendengar tangis sang putra pecah.
Ibu…!
Banyak wanita yang kini enggan menjadi kata itu, maka kata itu pun enggan menjadi mereka. Betapa sulit meminta wanita bersedia punya anak di Singapura, misalnya. Ketika menolak janji-janji kata itu, kata Ustadz Anis Matta dalam Ayah, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara., kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jerata kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan sinar matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga teempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan.
Ibu…!
Mungkin memang tak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan Allah pasti mengaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, dan lainnya. Ya, tapi mereka kan ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi meengandung, melahirkan, menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata Ibu…! Itu, yang juga tak dirasai oleh Aisyah sekalipun.
Dikutip dari buku Barakallahu Laka Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A Fillah