Suaramuslim.net – Orang kaya tidak hanya dituntut mengeluarkan zakat dan sedekah. Tuntutan yang lain yang tidak kalah penting adalah mereka menjadi orang kaya punya adab. Jika sudah mengedepankan beberapa adab ini maka kekayaannya tidak akan menjauhkan dari manusia yang lain. Yang tak kalah penting dia tidak jauh dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Sehinga ada beberapa adab perlu dimiliki orang kaya.
Pertama
Orang kaya mesti sadar, harta yang dimiliki merupakan nikmat dan rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib untuk disyukuri. Harta ini tidak semata-mata dihasilkan dari usaha dan kepandaiannya semata, tetapi semua itu merupakan nikmat dari Allah.
Lawan dari syukur adalah kufur, alias mengingkari kekayaan sebagai karunia yang sangat berharga. Kufur dipicu oleh sifat tamak, tak pernah puas dengan apa yang dimiliki.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,”Sungguh jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, jika kamu ingkar maka sungguh adzabku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)
Rasa syukur menjauhkan dari benih-benih kesombongan. Mulai dari kesombongan atas kepemilikan maupun kesombongan dipermudah mendapatkan kekayaan.
Kedua
Selalu bersikap tawadhu (Luzumut tawadhu) dan menghindari sikap sombong (nafyut takabbur). Menghormati orang miskin yaitu undangan tidak untuk si kaya saja. Memberi penghargaan kepada si miskin yaitu memberi makanan jangan sisa atau yang dirinya sudah tidak suka dengan makanan itu. Menunjukkan air muka yang berseri-seri kepada si miskin.
Tawadhu tidak datang dari orang yang rakus. Tidak pula dari hati yang merasa tidak pernah cukup dengan pemberian Allah. Kaya tidak membuat lebih tinggi dari yang miskin.
Ketiga
Terus bekerja untuk kebajikan. Orang kaya tidak tiba-tiba jadi kaya. Kecuali mereka mendapat warisan. Ada proses kerja yang terus-menerus. Yang sudah kaya tetap bergerak untuk mempertahankan kekayaannya. Di dalam bekerja untuk kebajikan ini ada dua nilai yang di dapat langsung:
Satu, ada nilai jihad. Ketika disebut jihad, maka bukan nilai yang rendah di mata Allah dan Rasul-Nya. Seandainya mati dalam bekerja maka mendapat pahala sebagai syahid.
Allah SWT berfirman,”Katakanlah: Wahai kaumku, bekerjalah sekuat kemampuannmu, sesungguhnya akupun berbuat demikian. Kelak kamu akan mengetahui, siapakah yang memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keuntungan.” (QS. Al An’am: 135)
Lebih jelas dipaparkan dalam sebuah hadits tentang pemuda yang begitu semangat membelah kayu. Dan dinilai minus oleh salah satu sahabat.
Di pagi yang cerah Rasulullah berjalan bersama para sahabat. Mereka menyaksikan seorang pemuda membelah kayu dengan semangat. Kemudian seorang sahabat berkata,”Seandainya semangat itu digunakan untuk berjihad di jalan Allah.”
Rasulullah yang mendengar perkataan itu lantas bersabda,”Apabila keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk anaknya yang masih kecil, itu juga termasuk jihad fi sabilillah. Jika keluarnya dalam rangka mencari nafkah untuk orang tuanya yang tua, maka itu juga jihad fi sabilillah. Kalaupun keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk diri sendiri demi menjaga harga diri, maka itu termasuk jihad fi sabilillah. Tetapi bila keluarnya untuk bermewah-mewahan maka itu jalan taghut.” (HR. Thabrani)
Dua, marwah orang hidup. Bekerja tanda seorang masih hidup. Pengangguran dianggap mati. Hadirnya seperti tidak ada atau tidak ada gunanya. Orang yang menganggur pada asalnya dianggap orang yang meminta-minta.
Rasulullah bersabda,“Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak.” (HR. Bukhari).
Alangkah baik jika seorang muslim bisa mengambil teladan dari para nabi dan pewarisnya. Mereka tetap berdakwah dan mengurusi umatnya namun tetap tidak melupakan bekerja. Mengingat mereka juga sebagai kepala keluarga.
Nabi Zakaria ‘alaihi salam untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan menjadi seorang tukang kayu. Hasil kayu dijual di pasar kemudian dibelikan bahan makanan. Tercukupi keluarga dengan itu.
Nabi Daud seorang raja, yang tidak makan kecuali dari hasil tangannya. Tidak mengandalkan dari upeti yang diperoleh karena pengaruh kekuasaan. Apalagi sampai menekan rakyat untuk sebuah kemewahan.
Nabi Muhammad saat muda menjadi seorang penggembala kambing. Ikut dengan paman. Menjaga kambing yang diamanahkan sekaligus makan dari penghasilan tersebut. Menginjak dewasa menjadi pedagang. Ikut dengan pengusaha kaya bernama Khadijah.
Salman al farisi berasal dari Persia. Masuk Islam dengan segala kekurangan. Datang ke Madinah tidak membawa harta. Untuk bertahan hidup menjadi penjual daun kurma. Daun kurma diperoleh dari petani dan dijual kepada yang butuh untuk dijadikan atap rumah.
Imam Abu Hanifah pedagang kain. Mulai dari kain sutera hingga kain wol. Dari perniagaan itu dia bisa mendapatkan untung. Dan digunakan untuk keperluan diri, keluarga dan murid-muridnya yang tinggal bersamanya.
Syaikh Al Albani seorang teknisi jam tangan. Pindah dari Albania ke Damaskus, Al Albani muda, rajin membaca di perpustakaan. Untuk menyambung hidup, ia menjadi teknisi jam. Keahlian yang diperoleh dari ayahnya ini, membuat beliau juga terkenal dengan profesi tersebut,
A.R. Fakhrudin, Ketua PP Muhammadiyah terlama sejak 1968-1990, masih berjualan bensin sebelum mengisi muktamar. Organisasi dengan pengaruh dan amal usaha yang besar ini dipimpin oleh orang yang sederhana. Kesehariannya berjualan bensin di sekitaran UGM.
Keempat
Menampakkan diri sebagai orang yang berkecukupan artinya orang kaya tak sepatutnya bersikap memelas atau menunjukkan tanda-tanda orang yang butuh bantuan.
Ada hal yang menarik dalam kisah indah Ibnu Hajar Al Asqalani. Ibnu hajar adalah orang besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari, beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi adalah seorang penjual minyak. Pakaiannya kotor. Si yahudi berkata,”Sungguh nabi kalian berkata,”Dunia itu penjara orang beriman dan surga orang kafir.”
Namun kenapa engkau wahai Ibnu Hajar, hakim besar Mesir, arak-arakan mewah sedang aku dalam penderitaan.
Ibnu Hajar menjawab,”Aku dengan keadaanku yang penuh kemewahan dan kenikmatan dunia bila dibanding surga seperti sebuah penjara, sedang penderitaan yang kau alami di banding adzab neraka seperti sebuah surga.” Maka si Yahudi langsung bersyahadat.
Dari kisah di atas, membuktikan kaya nan sederhana tidak harus menampakkan seperti “gembel”. Lusuh dan bau. Jika melihat kepada Nabi Muhammad, maka beliau menyukai pakaian dengan warna tertentu dan wewangian. Beliau mencontohkan bagaimana berpenampilan yang nyaman dan enak dipandang namun tetap jauh dari glamor.
Selanjutnya, sebagai muslim tetap semangat untuk memperoleh kekayaan. Baik kaya dengan jalur perdagangan maupun kaya lewat birokrasi. Sesungguhnya kaya itu jika esok hari tidak khawatir bisa makan atau tidak, itu sudah kekayaan.
Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono
*) Guru di SD Inovatif Aisyiyah Kedungwaru, Tulungagung.