Agar Mereka Menjadi Barakah bagi Zamannya

Agar Mereka Menjadi Barakah bagi Zamannya

Ilustrasi anak-anak sedang bermain. Foto: pixabay.com

“Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” Q.S Luqman 31:19.

Apa yang buruk dengan suara keledai? Suara yang keras, tidak enak didengar, serupa membentak. Tidak patut kita menggunakan suara semacam ini pada saa berbicara, meskipun kepada anak-anak kita. Bersuara keras tanpa ada maslahat yang memang mengharuskan untuk keras, terlebih tak enak didengar dan menjengkelkan. Apalagi jika itu digunakan untuk menyampaikan larangan, semakin menimbulkan penolakan.

Apa yang sebenarnya terjadi pada kita? Banyak orang tua maupun guru yang begitu buruknya melihat larangan, seolah larangan itu mematikan sel-sel otak dan bahkan jutaan sel pula, sehingga kita meninggalkan apa yang justru ada contohnya dari generasi salafush shalih. Kita menganggap larangan itu sebagai penghambat pendidikan, padahal masalahnya lebih kepada bagaimana kita seharusnya melarang serta suara yang kita gunakan saat menyampaikan larangan.

Kerap terjadi dalam forum ke ayah bundaan (parenting), mengesankan buruknya larangan dengan suara keledai yang menggelegar dan tidak enak didengar. Sementara ketika menunjukkan cara komunikasi yang berbeda menggunakan nada suara yang lebih bersahabat bagi telinga dan lebih dekat dengan sunnah. Alhasil, banyak pendidik merasa bahwa melarang merupakan seburuk-buruk cara mendidik yang ada di muka bumi.

Apakah dengan demikian kita merdeka untuk menghujani anak dengan berbagai larangan? Tidak. Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah Sunnah Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Maka kepada wahyain (dua wahyu) inilah kita mengacu, melihat contoh dan berusaha mengilmu prinsip-prinsipnya. Kita menyampaikan larangan, perintah, maupun nasihat yang berisi pertimbangan kepada anak untuk mengukuhkan kebaikan maupun meluruskan kesalahan.

Sesungguhnya setiap anak lahir dengan dorongan berbuat baik. Ia mencintai kebaikan dan secara naluriah ingin menjaga diri dari keburukan. Tetapi, pada saat lahir, mereka belum mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Orangtuanyalah yang keliru memberi tepuk tangan pada keburukannya sehingga anak justru bersemangat mengulangi, sementara saat berbuat baik kita kadang justru mengabaikannya sehingga anak enggan melakukannya lagi.

Hanya gara-gara berbuat baik pada adiknya di waktu yang tidak tepat, mata kita melotot dan tangan kita segera memberi pesan pada lengannya dengan sebuah cubitan yang membuatnya meringis kesakitan. Padahal yang seharusnya kita lakukan adalah memuji iktikadnya dan meluruskan tindakannya. Bukan menyalah-nyalahkan. Apalagi mempersalahkan. Setiap anak pada dasarnya tidak mau disalahkan dan dicela. Apalagi dipermalukan. Tetapi, mereka akan senang apabila dihargai dan ditunjukkan apa yang lebih baik bagi mereka.

Apakah ini berarti kita tidak boleh menunjukkan kesalahan anak? Bukan begitu. Jika kita tidak menunjukkan kesalahan anak, mengajari anak untuk menyadari  kesalahannya, dan selanjutnya berani mengakui kesalahannya, mereka justru dapat berkembang menjadi pribadi yang rapuh, tidak tahan kritik. Bahkan menerima teguran yang tak seberapa sekalipun, membuatnya tersinggung dan meradang. Padahal sebagai muslim, kita dituntut untuk saling menasihati, saling mengingatkan dalam kebenaran, mengoreksi yang salah, dan bahkan nahi munkar (mencegah kemungkaran).

Jika anak-anak tidak dididik untuk menerima dan mengakui kesalahannya, maka sulit sekali mereka menerima teguran dari sesama muslim, yang paling halus sekalipun. Alangkah banyak kemajuan yang justru bersumber dari kesediaan menerima dan mengakui kesalahan, lalu dengan itu memperbaikinya. Sangat berbeda menyalah-nyalahkan dengan menunjukkan kesalahan.

Adakalanya kita bahkan perlu mengingatkan anak terhadap kesalahannya, terutama untuk anak yang sudah beranjak besar. Mereka mulai mengerti; mampu membedakan benar dan salah dengan akalnya.

Ada kesalahan yang hanya patut kita sampaikan kepada anak tanpa diketahui orang lain. Ini merupakan kesalahan yang apabila disampaikan di depan anak-anak yang lain akan menjadi aib baginya, sehingga jika orang tua maupun guru melakukannya dapat membangkitkan dendam pada diri anak. Yang demikian ini merupakan salah satu penyebab kenakalan anak.

Sulit bagi anak untuk menerima kesalahan, bahwa dirinya melakukan kesalahan, jika kita menyampaikannya dengan nada cemooh. Sulit pula bagi anak mengakui kesalahan jika kita tidak membiasakannya menerima kritik. Hanya memuji tanpa memberi koreksi justru dapat menjadikan anak mudah tersinggung jika ditunjukkan kesalahannya. Begitu pula jika anak terlalu sering memperoleh kritik. Hal yang sama, sulit menerima kritik dan koreksi jika mereka sangat jarang menerima perintah dan larangan.

Jika kita ingin mengantarkan anak-anak agar dapat menundukkan hatinya di hadapan Allah Azza wa Jalla, maka ketahuilah bentuk ujian yang paling nyata dari Allah Ta’ala kepada manusia adalah perintah-perintah serta larangan-larangan. Tidak bernilai amal dan ibadah kecuali yang benar-benar dilakukan ikhlas semata mengharap ridah Allah Ta’ala.

Dikutip dari Buku Positive Parenting – Mohammad Fauzil Adhim

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment