Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah

Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah

Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah
Ilustrasi perlindungan jiwa.

Suaramuslim.net – Wakalah bil Ujrah untuk asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee). Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menetapkan fatwa tentang hukum praktik ini agar masyarakat tenang dalam bertransaksi dan mendapatkan kepastian hukum dalam asuransi syariah sebagai berikut.

Mengingat

  1. Firman Allah SWT

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. an-Nisa: 9). 

“Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18). 

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60). 

“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?’ Mereka menjawab: ‘Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahf: 19). 

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (QS. Yusuf: 55). 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisa: 58). 

“Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi.” (QS. an-Nisa: 35). 

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2). 

“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah: 1). 

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. an-Nisa: 29).

  1. Hadis-hadis Nabi

“Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syabib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya mendengar penduduk bercerita tentang ‘Urwah, bahwa Nabi s.a.w. memberikan uang satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang membawa satu dinar dan satu eor kambing. Nabi s.a.w. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanah pun, ia pasti beruntung.” (Al-Bukhari). 

“Rasulullah s.a.w. mengangkat seorang laki-laki dari suku Asd bernama Ibn Lutbiyah sebagai amil (petugas) untuk menarik zakat dari Bani Sulaim; ketika pulang (dari tugas tersebut), Rasulullah memeriksanya.” (Al-Bukhari). 

“Diriwayatkan dari Busr bin Sa’id bahwa Ibn Sa’diy al-Maliki berkata: Umar mempekerjakan saya untuk mengambil sedekah (zakat). Setelah selesai dan sesudah saya menyerahkan zakat kepadanya, Umar memerintahkan agar saya diberi imbalan (fee). Saya berkata: saya bekerja hanya karena Allah. Umar menjawab: Ambillah apa yang kamu beri; saya pernah bekerja (seperti kamu) pada masa Rasul, lalu beliau memberiku imbalan; saya pun berkata seperti apa yang kamu katakan. Kemudian Rasul bersabda kepada saya: Apabila kamu diberi sesuatu tanpa kamu minta, makanlah (terimalah) dan bersedekahlah.” (Muttafaq ‘alaih. Al-Syaukani, Nail al-Authar, [Kairo: Dar al-Hadits, 2000], j. 4, h. 527). 

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (Muslim dari Abu Hurairah). 

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” ( At-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

  1. Kaidah fikih

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Memperhatikan

  1. Pendapat para ulama

“Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk membeli kambing, dan kepada Abu Rafi’ untuk melakukan qabul nikah, (semuanya) tanpa memberikan imbalan. Nabi pernah juga mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka.” (Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 468). 

“Umat sepakat bahwa wakalah boleh dilakukan karena diperlukan. Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 89). 

“Wakalah sah dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hal itu karena Nabi pernah mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan imbalan kepada mereka. Apabila wakalah dilakukan dengan memberikan imbalan maka hukumnya sama dengan hukum ijarah.” (Fath al-Qadir, juz 6, h. 2; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], juz 5, h. 4058). 

“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain).” (Ibn Qudamah, al-Mughni, [Kairo: Dar al-Hadis, 2004], juz 6, h. 470).

  1. Hasil Lokakarya Asuransi Syariah DSN-MUI dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H/14-15 Juni 2005 M.
  1. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada 23 Shafar 1427/23Maret 2006. 

Menetapkan: Fatwa tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

  1. Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan asuransi syariah.
  2. Peserta adalah peserta asuransi (pemegang) atau perusahaan asuransi dalam asuransi syariah. 

Kedua: Ketentuan Hukum

  1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
  2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dan/atau melakukan kegiatan lain sebagaimana disebutkan pada bagian ketiga angka dua fatwa ini dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
  3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan. 

Ketiga: Ketentuan Akad

  1. Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.
  2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
  3. kegiatan administrasi
  4. pengelolaan dana
  5. pembayaran klaim
  6. underwriting
  7. pengelolaan portofolio risiko
  8. pemasaran
  9. investasi
  10. Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
  11. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi
  12. Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
  13. Besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi; 

Keempat: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah

  1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk melakukan kegiatan sebagaimana disebutkan pada bagian ketiga angka dua di atas.
  2. Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa).
  3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa).
  4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (peserta).
  5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
  6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.

Kelima: Investasi 

  1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
  2. Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah, atau akad Mudharabah Musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.

Keenam: Ketentuan Penutup 

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment