Akar Radikalisme dalam Teks Film Indonesia

Akar Radikalisme dalam Teks Film Indonesia

Muhammad Bahruddin menulis disertasi berjudul Jejak Memori Agen dalam Film Indonesia.

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Akar radikalisme di Indonesia bisa diidentifikasi dari jejak memori (memory traces) individu atau kelompok di masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad Bahruddin dalam sidang promosi doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, program pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Jumat (6/8/21) lalu.

Dalam keterangan resminya, Selasa (10/8/21), Bahruddin mengatakan bahwa jejak memori agen (pelaku) radikalisme didasarkan pada keyakinan agama-politik (religio-political).

“Keyakinan ini ditandai dengan bayang-bayang kejayaan Islam masa silam, kebencian terhadap Yahudi (antisemitisme), obsesi terhadap kemurnian dan autensitas sunnah (tradisi) Islam, hingga penerapan hukum Islam (syariahisasi),” jelas Bahruddin.

Mereka, imbuhnya, meyakini bahwa Islam bukan hanya sebagai kendaraan ibadah kepada Tuhan tapi juga sebagai sistem yang mengatur tatanan sosial (negara). Sistem agama-politik ini diyakini mampu menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat seperti kemiskinan, kesejahteraan, merosotnya moral masyarakat, serta isu-isu sosial, ekonomi, dan politik lainnya.

“Sayangnya, tindakan yang mereka lakukan kerap berbenturan dengan praktik-praktik sosial yang lama menstruktur di masyarakat sehingga berpotensi konflik dan tindakan kekerasan” ujar pria yang tinggal di Krian, Sidoarjo ini.

Bahruddin menambahkan, selain agen yang menjadi otak radikalisme, tindakan radikal seperti bom bunuh diri sebagian dilakukan oleh mereka yang kehilangan orientasi hidupnya akibat tertindas secara ekonomi maupun sosial.

Mereka ini dimanfaatkan oleh agen (pelaku) yang menjadi otak radikalisme. Dalam keadaan lemah secara psikologis, mereka mudah dipengaruhi dan dijadikan sebagai alat untuk meraih cita-cita menegakkan syariat Islam sesuai penafsirannya

“Otak radikalisme inilah yang memiliki keyakinan agama-politik dan sudah tertanam dalam jejak memorinya,” ungkap pria kelahiran 4 Januari 1977 ini.

Penelitian yang dihasilkan dari kajian film-film Indonesia bertema Islam dan antiradikalisme ini sekaligus membantah teori Strukturasi Antony Giddens yang melihat bahwa tindakan sosial seseorang diarahkan oleh jejak memori yang berasal dari praktik-praktik sosial berulang di masyarakat.

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa selain sebagai hasil kerja kreatif, film juga sebagai media propoganda. Hal ini karena dalam proses produksinya, sebuah film dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sineas, lingkungan sosial, investor, lembaga donor, hingga negara.

“Campur tangan lembaga atau organisasi-organisasi tersebut bisa menentukan tokoh-tokoh film yang dianggap berpaham radikal dan sebaliknya, dianggap moderat dan toleran,” jelasnya.

Namun, sebagai media, film adalah bagian dari pilar demokrasi yang mengkampanyekan nilai-nilai universal seperti kebebasan, kesetaraan, persamaan hak dan keadilan, dan lain sebagainya.

“Film-film yang saya kaji adalah film-film yang mengarah pada nilai-nilai universal,” ungkap penerima beasiswa unggulan dosen Indonesia LPDP ini.

“Meski tak bisa dibantah bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi sineas dalam pembuatan film seperti lembaga atau perorangan, baik secara sosial maupun finansial,” lanjut Bahruddin yang menulis disertasi berjudul Jejak Memori Agen dalam Film Indonesia ini.

Keempat film yang diteliti oleh Bahruddin adalah film 3 Doa 3 Cinta (2008), Khalifah (2011), Mata Tertutup (2011), dan Bid’ah Cinta (2017). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis. Untuk memaknai teks, Bahruddin menggunakan semiotika Saussure yang menggunakan alat bunyi dan gambar. Alat ini digabungkan dengan perangkat sinematografi Arthur Asa Berger. Teori substantifnya adalah strukturasi yang disentesiskan dengan konsep Islamisme.

“Hasil penelitian ini memperlihatkan radikalisme tidak akan hilang di Indonesia jika tidak dicabut akarnya,” tegas dosen Media dan Komunikasi Universitas Dinamika (Stikom) ini.

“Akarnya adalah keyakinan agama-politik yang sudah tertanam ke dalam jejak memori agen (pelaku),” pungkas Bahruddin yang berhasil mempertahankan disertasinya di depan sembilan penguji dengan nilai sangat memuaskan.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment