Aksi 212 dan Gerakan Perlawanan Simbolik

Aksi 212 dan Gerakan Perlawanan Simbolik

Aksi 212 dan Gerakan Perlawanan Simbolik
Orasi para dai setelah salat malam jelang reuni 212. Monas 2/12/18. (Foto: Ina News Agency)

Suaramuslim.net – Reuni 212 yang terselenggara di Tugu Monas telah berlangsung dengan tertib dan damai. Tidak ada aksi kerusuhan atau kekacauan sebagaimana dikhawatirkan berbagai pihak. Bahkan pemandangan simpatik dan menggetarkan jiwa justru muncul dalam aksi itu. Aksi simpatik seperti pembagian makanan dan minuman gratis, menjadi pemandangan yang merata di berbagai sudut jalan. Bahkan tindakan menggetarkan jiwa terlihat ketika aksi bagi-bagi makanan gratis itu dilakukan oleh masyarakat biasa, atau kelompok yang hidup pas-pasan.

Pemerintah sedemikian mendalam kekhawatirannya terhadap dampak aksi reuni 212 ini, sehingga melakukan penjagaan yang sangat ketat dengan menyiapkan tank-tank dan tentara bersenjata lengkap. Aksi reuni 212 dengan jutaan manusia itu benar-benar menenggelamkan tentara dan persenjataannya. Tidak terlihatnya tentara dan persenjataannya karena begitu banyaknya massa yang hadir. Kecemasan pemerintah itu benar-benar tidak terbukti, dan bahkan aksi itu benar-benar meluluhkan hati para tentara yang berjaga pada saat acara. Hal ini disebabkan oleh aksi peserta reuni 212 yang santun dan ramah ketika memberikan senyuman dan bahkan mengalungkan surban kepada para penjaga keamanan dan ketertiban itu.

Simbol Perlawanan Atas Pembakaran Bendera Tauhid

Kalau aksi 212 tahun lalu dipicu oleh pernyataan Ahok yang menista dengan berkata agar umat Islam jangan dibodohi oleh Al Quran Surat Al-Maidah 51. Umat Islam merasa tersentuh hatinya sehingga bergerak dan bersatu di Monas dengan jumlah yang fantastis. Mereka menuntut pemerintah agar sang penista agama dihukum. Sementara aksi reuni 212 tahun ini dipicu adanya pembakaran bendera Tauhid oleh salah satu ormas Islam. Bukannya sadar dan meminta maaf atas tindakannya, ormas Islam itu justru merasa benar. Bahkan banyak pihak, termasuk pemerintah justru membiarkan dan tidak memproses pelaku pembakaran bendera tauhid itu, kecuali setelah ada desakan banyak pihak.

Dengan kata lain, aksi 2 Desember 2018, yang dihadiri oleh lebih dari 8 juta manusia itu, sebagai simbol gerakan perlawanan umat Islam atas berbagai tindakan marginalisasi politik umat Islam serta mengingatkan adanya gerakan untuk merusak Islam dengan melakukan politik adu domba. Berkumpulnya umat Islam itu menunjukkan adanya persatuan umat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim yang telah membiarkan pembakar bendera tauhid.

Dengan kata lain, aksi reuni 212 tidak lain sebagai respons ada pembiaran rezim terhadap pihak-pihak yang merendahkan simbol-simbol yang diagungkan umat Islam. Betapa tidak, aksi pembakaran bendera tauhid bukannya ditindak tetapi justru dibenarkan dengan alasan yang dicari-cari.

Aksi di Tugu Monas kali ini benar-benar menyatukan umat Islam dan menghilangkan sekat-sekat sosial, ekonomi, dan politik. Seluruh peserta aksi bersatu dengan membawa atribut yang bertuliskan kalimat “Laa ilaha illallah.” Tulisan itu bertengger di kopiah, topi, kaos, hingga bendera kecil dan besar. Massa umat Islam seolah ingin menunjukkan kekuatannya ketika simbol kalimat tauhid dilecehkan.

Aksi Reuni 212 dan Tiarapnya Tugas Jurnalistik

Aksi reuni 212 ini seolah-olah meniarapkan media mainstream. Media sepertinya bersepakat untuk mensenyapkan aksi politik umat Islam ini. Tidak ada satu media pun yang memberitakan peristiwa bersejarah, kecuali TV One. TV One benar-benar melakukan tugas jurnalistik dengan menyajikan peristiwa atau realitas yang ada di masyarakat. Terlepas membela atau kritis terhadap realitas itu, media massa seharusnya secara jujur menyampaikan bahwa ada berita atau peristiwa besar berupa aksi umat Islam.

Tetapi media mainstream seperti Kompas, Sindo, atau Media Indonesia, serta Metro TV tidak memuat peristiwa besar itu di headline mereka. Mereka seolah sepakat bahwa aksi reuni 212 itu tak layak diberitakan. Hal ini semakin menunjukkan adanya keberpihakan yang terang-terangan dari media pada pihak-pihak yang alergi dan anti pati terhadap aksi umat Islam.

Adanya aksi boikot untuk tidak memberitakan aksi reuni 212 dari media mainstream ini bukan hanya menunjukkan telah terbelinya tugas jurnalistik ini, tetapi juga menunjukkan sedemikian rendahnya reputasi mereka sehingga berujung pada hilangnya kepercayaan, khususnya umat Islam atas profesionalitas yang selama ini mereka gembar-gemborkan. Cepat atau lambat, reputasi yang jelek ini akan menghancurkan eksistensi mereka sendiri.

Fenomena reuni 212 telah diliput oleh berbagai media internasional dengan memberitakan adanya realitas aksi umat Islam di tugu Monas. Media asing itu telah melaksanakan tugas jurnalistiknya dengan menyampaikan fakta adanya aksi reuni 212. Sementara media mainstream yang ada di negeri sendiri telah menutup-nutupi kejadian bersejarah, dan seolah-olah peristiwa itu kurang begitu penting untuk disajikan.

Fakta ini semakin menguatkan adanya kooptasi atau kerjasama antara penguasa dan media untuk bersama-sama menutupi realitas. Penguasa berupaya untuk menghalangi agar acara ini tidak terjadi, sehingga berbagai kebijakan dikeluarkan dengan berbagai argumentasi. Sementara tugas media mainstream dengan menenggelamkan acara reuni 212 ini dengan tidak memberitakannya di halaman utama (headline) mereka.

Aksi umat Islam dengan reuni 212 bisa dikatakan sebagai gerakan perlawanan simbolik terhadap penguasa. Dikatakan simbolik, karena tidak ada senjata yang digunakan atau senjata tajam. Mereka hanya mengusung kalimat tauhid dan berdoa bersama dengan memohon kepada Allah. Umat Islam memohon agar Allah menolong untuk menyingkirkan kekuatan yang telah menzalimi umat Islam dengan berbagai kebijakannya.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment