Mengenal Al-Attas, Sang Neo Al-Ghazali (Pendidikan, Gagasan & Prestasi)

Mengenal Al-Attas, Sang Neo Al-Ghazali (Pendidikan, Gagasan & Prestasi)

Mengenal Al-Attas, Sang Neo Al-Ghazali (Pendidikan, Gagasan, & Prestasi)
Al-Attas (Foto: info-biografi.blogspot.com)

Suaramuslim.net – Bagi penggemar topik pemikiran Islam di Indonesia, mungkin sudah tak asing dengan sosok satu ini, Naquib Al-Attas. Ia dapat dikatakan menjadi salah satu inspirasi utama bagi para aktivis atau pegiat topik-topik pemikiran Islam di Indonesia. Sehingga tak jarang, namanya seringkali mewarnai daftar pustaka berbagai buku pemikiran Islam di negeri ini.

Cendekiawan muslim berkebangsaan Malaysia ini dikenal oleh dunia melalui gagasan dan karya-karyanya yang menyajikan suatu konsep autentik yang belum banyak diwacanakan oleh ilmuwan muslim lainnya. Melalui sejumlah karya dan gagasannya, ia diakui dunia sebagai salah satu filsuf yang cukup berpengaruh. Hal itu terlihat dari pencapaiannya menjadi satu-satunya cendekiawan muslim yang namanya masuk dalam sebuah buku berjudul “Powerful Ideas: Perspective on the Good Society” (2002) yang disusun oleh “The Myer Foundation” (Australia) dalam proyek “The Cranlana Program” yang bertujuan untuk menghimpun nama-nama sejumlah filsuf dan tokoh-tokoh intelektual dunia yang dianggap memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan masyarakat dunia.

Al-Attas bersanding dengan nama-nama populer seperti: Plato, Aristotle, Confucius, Nicolo Machiavelli, John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx, Adam Smith, Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, dll. Gagasan Al-Attas yang dimasukkan dalam buku itu tertuang dalam tulisan berjudul “The Dewesternization of Knowledge.

Dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada 5 September 1931 (88 tahun) dengan nama lengkap Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas. Dibesarkan dalam keluarga Ba’alawi dengan nasab bersambung kepada cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Al-Husain ra.

Ayahnya bernama Syed Ali Al-Attas, anak dari Syed Abdullah Al-Attas, seorang ulama tersohor yang pengaruhnya mencakup Indonesia dan Jazirah Arab, bahkan salah satu muridnya menjadi penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Jordania. Hingga hari ini, makam kakek Al-Attas yang terletak di Bogor, masih ramai diziarahi oleh kaum muslimin.

Sedangkan ibunda Al-Attas, bernama Syarifah Raguan Al-‘Aydrus, merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura. Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya bernama Syed Hussein Al-Attas, seorang sosiolog & mantan Rektor Universitas Malaya. Kemudian adiknya, bernama Syed Zaid Al-Attas, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA (Malaysia).

Dari latar belakang keluarga, Al-Attas lahir bukan dari keluarga yang secara sosio-kultural tergolong biasa, tetapi berasal dari kaum ningrat. Bahkan, berasal dari keturunan yang secara hierarki memiliki wacana spiritualitas keislaman yang kuat lagi luhur. Pendidikan pertama Al-Attas diterima dari lingkungan keluarganya di Bogor hingga usia 4 tahun. Pada usia 5 tahun, pindah ke Malaysia dan mulai menempuh pendidikan dasar formal di Sekolah Dasar Ngee Heng, Johor, hingga usia 10 tahun.

Kemudian, pada era pendudukan Jepang (1941) ia kembali lagi ke Indonesia, kali ini ia berdomisili di Sukabumi untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman termasuk bahasa Arab di Pesantren al-Urwatul Wustha hingga usia 14 tahun. Lalu, pada tahun 1946 kembali lagi ke Malaysia, menjalani pendidikan lanjutannya di Sekolah Agama Bukit Zahrah Johor & kemudian ke English College Johor hingga usia 20 tahun.

Selama di Johor, ia tinggal dengan salah seorang pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz bin Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Menteri Besar Johor Modern yang keenam. Di tempat ini, ia menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami berbagai manuskrip sejarah, sastra dan agama, serta ragam buku klasik Barat berbahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya.

Guna menamatkan pendidikan sekolah menengahnya, Al-Attas mendaftar di resimen Melayu sebagai kadet (calon perwira) dengan nomor 6675. Ia dipilih oleh Jendral Sir Gerald Templer yang ketika itu menjabat sebagai British High Commisioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di  “The Royal Military Academy” Sandhurst, sebuah akademi militer tersohor di Inggris (1952-1955). Di kota ini, untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami’ yang tersedia di perpustakaan kampus.

Setelah lulus, mulai bertugas sebagai pegawai kantor di Resimen Tentara Kerajaan Malaya, Persekutuan Tanah Melayu, yang saat itu sedang menangani pesatnya infiltrasi ideologi komunis di Malaysia. Namun, hanya berselang dua tahun, panggilan jiwanya untuk berkecimpung di dunia intelektual, membawanya ke University of Malaya, yang saat itu berlokasi di Singapura, menekuni bidang Kajian Ilmu Sosial dari tahun 1957-1959.

Selama menempuh pendidikan sarjana, ia menulis dua buku yang berjudul Rangkaian Ruba’iyyat & Some Aspect of Sufism as Understood & Practised Among the Malays. Buku tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya ke seluruh negeri Malaysia untuk menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar mengetahui ajaran dan praktik tasawuf mereka.

Kecermelangan isi buku yang kedua membuat Pemerintah Kanada, melalui Canada Council Fellowship, memberikan beasiswa penuh selama 3 tahun untuk menempuh pendidikan di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Al-Attas menekuni bidang Teologi dan Metafisika, dan berhasil meraih gelar Master of Arts di tahun 1962, dengan Tesis berjudul Raniri & the Wujudiyah of 17th Century Acheh, di bawah bimbingan Prof. H. M. Rasjidi, Menteri Agama pertama R.I yang ketika itu menjadi profesor tamu di kampus tersebut.

Setahun kemudian, perjalanannya menuntut ilmu dilanjutkan kembali di Inggris, kali ini di SOAS (School of Oriental & African Studies), University of London, mengambil konsentrasi “Islamic Philosophy, Theology, & Metaphysics”, dan berhasil meraih gelar Philosophy of Doctor pada tahun 1965, dengan Disertasi berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri di bawah bimbingan A. J. Arberry & Martin Lings. Di kedua kampus ini, Al-Attas aktif mengoreksi pandangan keliru tentang Islam. Beliau juga terlibat dalam kegiatan dakwah, dan atas rahmat serta petunjuk Allah, berhasil menyadarkan beberapa orang sehingga mereka mau memeluk agama Islam.

Westernisasi ilmu

Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, ia memulai kiprahnya sebagai seorang ilmuwan dengan melahirkan sejumlah gagasan di berbagai bidang keilmuan, terutama pada bidang pendidikan. Gagasan yang kemudian membuat namanya melambung ialah “Teori Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer” yang sudah ia perkenalkan sejak era 1960-an. Teori ini muncul setelah Al-Attas melihat bahwa masalah terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini, terkhususnya umat Islam adalah masalah yang lahir dari problem of knowledge, yang disebabkan oleh dominasi peradaban barat, terutama dominasi barat dalam bidang keilmuan.

Menurutnya, tren keilmuan yang dipropagandakan Barat, pada hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar, dan lebih menimbulkan kekacauan dalam kehidupan manusia ketimbang membawa perdamaian dan keadilan. Ilmu yang dihasilkan oleh tren ini seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan kebingungan. Bahkan tren keilmuan Barat untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa pada kekacauan dalam “The Three Kingdom of Nature” (dunia fauna, dunia flora dan mineral). Ia mengistilahkan masalah tren tersebut dengan “westernization of knowledge” (westernisasi ilmu).

Al-Attas menguraikan, Westernisasi ilmu ini berakar dari tradisi keilmuan barat yang epistemologinya bercorak sekuler, liberal dan ateis. Ketiga corak tersebut lahir dari trauma masyarakat Barat (Eropa) pada zaman pertengahan yang mengalami problem pada sejarah keagamaan mereka, problem pada teks kitab suci mereka dan problem pada teori teologi yang mereka anut, serta ada pengaruh juga dari masih bercokolnya tradisi intelektual Yunani kuno dan tradisi tata negara Romawi kuno pada masyarakat Barat.

Melalui corak seperti itu, tradisi keilmuan Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ilmiah, bahkan juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Tradisi keilmuan ini juga tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis-sekuler yang hanya mengandalkan rasio manusia saja. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral yang diatur oleh rasio manusia ini, terus menerus berubah.

Dampaknya, menurut Al-Attas, dalam tradisi keilmuan Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang hanya sekadar teoretis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian pun yang mutlak, sehingga konsekuensinya ialah penegasian Tuhan dan akhirat, serta menempatkan manusia sebagai yang satu-satunya berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.

Tragisnya, standar semua kegiatan ilmiah hari ini distandarkan di bawah epistemologi ala Barat tersebut. Oleh sebab itu, Al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya diterapkan di dunia muslim. Sebab, ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam untuk menyebarluaskan cara dan pandangan hidup (worldview) suatu kebudayaan, karena ilmu tidak pernah bebas nilai, tapi senantiasa sarat nilai. Dalam kasus ini, tradisi keilmuan Barat sarat dengan nilai-nilai liberal, sekuler dan ateis.

Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer

Berdasarkan masalah Westernisasi ilmu di atas, maka Al-Attas menggagas solusi yang dinamakan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang terdiri dari dua langkah, yaitu:

1) Mengisolasi unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang terbentuk oleh budaya dan peradaban barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Namun, ilmu-ilmu alam, fisika, terapan harus diislamkan juga, khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan formulasi teori-teori.

2) Memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep dasar Islam itu di antaranya adalah konsep agama, konsep manusia, konsep ilmu, konsep keadilan, konsep amal yang benar, dan semua istilah serta konsep yang berhubungan dengan itu semua, dan tidak lupa konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan.

Jika kedua langkah tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari hal-hal magis (takhayul), mitologi, animisme dan tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam. Tidak hanya itu, Islamisasi juga akan melepaskan manusia dari kontrol sekuler atas akal dan bahasa. Oleh karena itu, Islamisasi nantinya dapat membebaskan manusia dari keraguan, dugaan dan argumentasi kosong, menuju keyakinan dan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible, dan materi.

Islamisasi juga akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler. Pada intinya, Islamisasi ilmu adalah merekonstruksi suatu ilmu pengetahuan yang ateistik (hampa wahyu, sarat dengan nilai sekuler) menjadi ilmu pengetahuan yang teistik (sarat dengan muatan wahyu).

Al-Attas juga pernah mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Islam & the Philosophy of Science” yaitu “Tanpa wahyu, sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang autentik. Tanpa wahyu, ilmu pengetahuan hanya terkait dengan fenomena, yang berakibat kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini (dunia), yang dianggap satu-satunya realitas.”

Meski menempuh pendidikan Kajian Islam (Islamic Studies) di Barat, beliau tidak serta merta menggunakan berbagai pendekatan dalam ilmu sosial budaya untuk menganalisis persoalan umat Islam dan mengembangkan pemikirannya, meski tidak pula menjauhi pendekatan itu sama sekali.

Gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer menempatkan semua pada tempatnya yang wajar. Di saat yang bersamaan, terdapat beberapa filsuf muslim lainnya yang menggunakan berbagai pendekatan tersebut, baik dengan mengambil paradigma modern seperti sosiologi, antropologi, psikologi bahkan ekonomi, maupun paradigma pascamodern seperti fenomenologi, psikoanalisis, analisis wacana dan teori sistem, secara tidak kritis dalam mengembangkan pemikirannya dan menawarkan pemikiran tersebut sebagai alat analisis keadaan kaum muslimin.

Dengan merujuk kepada bangunan pemikiran Ahlussunnah, Al-Attas menggulirkan gagasan-gagasan asasi dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Beliau mengklarifikasikan, menjabarkan dan menghubungkan gagasan tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam saat ini.

Refleksi filosofis terhadap keadaan umat tanpa merujuk kembali pada gagasan-gagasan asasi dan mapan itu, baginya, adalah tidak berguna. Sebab hal itu hanya ukuran-ukuran jangka pendek dan tidak berpandangan jauh.

Dalam buku Islam & Sekularisme, ia menyatakan, “Para pendahulu kita yang besar dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta yang memiliki tilikan yang tajam, pemikiran yang tinggi dan kedalaman spiritual, telah bekerja selama berabad-abad untuk membangun sistem pemikiran dan amalan yang cemerlang dan gemilang, dengan pertolongan dan bimbingan Allah. Maka jika kita berharap untuk bangkit pada tahapan yang sama, kita perlu dengan rendah hati meniru mereka.”

Posisi Al-Attas inilah yang mendorong beberapa sarjana seperti Wan Mohd Nor Wan Daud, Adi Setia, Ali A. Alawi, Afifi Al-Akiti dan H.A. Hellyer, menjuluki Al-Attas sebagai Neo-Ghazalian, karena usahanya yang seperti Imam Ghazali di masa lalu dalam menyusun dan menata pemikiran Islam menjadi satu kesepaduan.

Pada Imam Ghazali, usaha tersebut terwujud dalam keberhasilan menyepadukan Kalam dengan Filsafat dan Fikih dengan Tasawuf untuk kebutuhan zamannya. Sedangkan oleh Al-Attas, usaha tersebut diteruskan untuk kebutuhan zaman ini.

Prestasi dan sepak terjang AlAttas

Berikut ini akan dipaparkan deretan prestasi dan sepak terjang Professor Al-Attas, selama bergelut di dunia pendidikan dan keilmuan.

– Dekan the Faculty of Arts, University of Malaya, Kuala Lumpur (1968-1970).

– Ketua Department of Malay Language & Literature, University of Malaya.

– Ketua Division of Literature di Department of Malay Studies, University of Malaya.

– Dekan Fakultas Sastra, Universiti Kebangsaan Malaysia (1970-1973). Di kampus ini, Al-Attas menyampaikan pidato profesoratnya sebanyak 71 halaman yang berjudul “Islam dalam Sejarah & Kebudayaan Melayu.”

– Direktur pertama The Institute of  Malay Language, Literature, & Culture, yang ia dirikan tahun 1973.

– Salah seorang pendiri International Islamic University Malaysia (1983).

– Pendiri & Direktur ISTAC: Institute of Islamic Thought & Civilizations, Kuala Lumpur (1987-2002). Ia merancang sendiri desain komplek bangunannya yang bergaya Andalusia, bahkan mendesain sendiri logonya hingga mengatur pengadaan interiornya. Ia juga merancang kurikulumnya yang terdiri dari beberapa mata kuliah seperti: History of Western Philosophy, History of Western Science, History of Western Civilization, Greek Philosophy, Hermeneutics, Major Western Thinkers, Major Islamic Thinkers, Religion of Islam, Greek Language, Latin Language, Islam & The West: Conflict or Dialogue, Globalization: Challenges & Opportunities, Arabic Language, Ulumul Qur’an & Ulumul Hadits.

Ia juga membangun perpustakaan ISTAC dengan visi menjadi salah satu pusat referensi terlengkap dalam bidang Islamic Studies. Hingga kini, koleksi perpustakaan ISTAC terdiri dari 150.000 buku, 26.084 jurnal, 46.811 buku langka dan koleksi ulama, 2.554 manuskrip dalam bentuk buku, dan 17.922 dalam bentuk mikro.

Selama memimpin Istac, Al-Attas menyampaikan uraian buku-bukunya dalam kajian rutin Saturday Night Lecture. Di kemudian hari, kajian ini diteruskan dengan tajuk yang sama oleh sahabat sekaligus murid Al-Attas, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di Universiti Teknologi Malaysia dan juga diadopsi oleh murid-murid Al-Attas lainnya yang tergabung dalam Insists Jakarta menjadi Insists Saturday Forum.

– Visiting Scholar & Professor of Islamic Studies di Temple University, Philadelphia.

– Visiting Scholar & Professor of Islamic Studies di Ohio University, Athens.

– Honorary Professor on Islamic Studies di American University, Washington.

– Chairman of “The Panel on Islam in Southeast Asia at the 29th Congress International des Orientalistes” di Paris (1973).

– Principal Consultant to the “World of Islam Festival” & Speaker pada “The International Islamic Conference” di London (1976).

– Keynote Speaker pada “First World Conference on Muslim Education” di Mekkah (1977), menyampaikan makalahnya yang merupakan sebuah karya padu tentang gagasan seminar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, yakni “The Concept of Education in Islam”, yang di dalamnya juga terkandung gagasan tentang konseptualisasi universitas Islam.

– Chairman “the UNESCO Meeting of Expert on Islamic History” di Aleppo (1978).

– Membentangkan makalah berjudul “The Meaning & Experience of Happiness in Islam” di simposium The State of Happiness yang diselenggarakan oleh Institute of Advanced Studies Jepang (1993).

– Keynote speaker pada “East-West Philosophers’ Conference: Technology & Cultural Values on the Edge of the Third Millennium” di University of Hawaii, Honolulu (2000). Diikuti sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara selama 2 minggu. Professor Al-Attas menyampaikan makalah bertajuk “Islam & The Challenge of Modernity: Divergence of Worldviews.

– Pemegang perdana “The Chair of Malay Language & Literature” di  Universiti Kebangsaan Malaysia (1970-1984).

– Masuk dalam daftar orang-orang berpengaruh di dunia yang disusun oleh penerbit biografi ternama asal Amerika Serikat “Marquis” pada edisi “Who’s who in the World” (1974).

– Penghargaan dari The Imperial Iranian Academy of Philosophy atas kontribusi gemilangnya pada bidang perbandingan filosofi (1975).

– Penerima “Iqbal Medal” dari Presiden Pakistan (1979).

– Pemegang perdana “The Tun Abdur Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies” di Ohio Unversity, Athens (1981-1982).

– Pemegang “Ibnu Khaldun Chair of Islamic Studies” di American University, Washington (1986).

– Life Holder Distinguished “Al-Ghazali Chair” of Islamic Thought at ISTAC, Kuala Lumpur, in recognition of his many important and far-reaching contributions to contemporary Islamic thought (1993).

– Diangkat sebagai Anggota Royal Academy of Jordan oleh Raja Hussein dari Jordania (1994).

– Honorary Doctorate of Arts by University of Khartoum, Sudan (1995).

– IRCICA Awards for “Excellent Contributions in Various Fields of Islamic Civilization” by The Research Centre for Islamic Histrory, Art & Culture. Subsidiary body of OIC: Organization of Islamic Conference (2000).

– Menjadi satu-satunya filsuf muslim yang termasuk dalam deretan filsuf populer dunia dalam buku berjudul “Powerfull Ideas: Perspective on the Good Society” (2002) yang disusun oleh “The Myer Foundation” (Australia) dalam proyek “The Cranlana Program” yang bertujuan untuk menghimpun nama-nama sejumlah filsuf dan tokoh-tokoh intelektual dunia yang dianggap memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan masyarakat dunia. Namanya bersanding dengan nama-nama populer seperti: Plato, Aristotle, Confucius, Nicolo Machiavelli, John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx, Adam Smith, Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, dll.

– Most Outstanding Malay Personality Award (2011).

– Penerima Merdeka Award (2012).

– Al-Ghazali Lifetime Achievement Award for Reviving the Spirit of Islam oleh RIS: Reviving the Islamic Spirit (2017), dll.

Sepanjang karirnya, Prof. Al-Attas telah memberikan lebih dari 400 kuliah di berbagai belahan dunia, tidak hanya di negara-negara muslim saja, tapi juga di negara-negara minoritas muslim seperti Inggris, Perancis, USA, dan Jepang. Selain itu, ia juga telah menulis lebih dari 30 buku dan 27 artikel ilmiah. Beberapa judul bukunya antara lain:

  • Rangkaian Ruba’iyat (1959)
  • Some Aspect of Sufism as Understood & Practised Among the Malays (1963)
  • Raniri & Wujudiyah of 17th Century Acheh (1966)
  • The Origin of Malay Sha’ir (1968)
  • Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (1969)
  • Concluding Postcript to the Origin of Malay Sya’ir (1971)
  • The Mystisicm of Hamzah Fansuri (1972)
  • The Correct Date of Trengganu Inscription (1972)
  • Islam dalam Sejarah & Kebudayaan Melayu (1972)
  • Risalah untuk Kaum Muslimin (1973)
  • Comment on the re-examination of Raniri’s Hujjat al-Siddiq (1975)
  • Islam: The Concept of Religion & Foundation of Ethics & Morality (1976)
  • Islam & Secularism (1978)
  • Aims & Objective of Islamic Education: Islamic Education Series (1979)
  • The Concept of Education in Islam (1980)
  • The Positive Aspects of Tasawuf: Preliminary Thoughts on An Islamic Philosophy of Science (1981)
  • Islam, Secularism & the Philosophy of the Future (1985)
  • A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri (1986)
  • The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of al-Nasafi (1988)
  • Islam & the Philosophy of Science (1989)
  • The Nature of Man & the Psychology of the Human Soul (1990)
  • The Intuition of Existence: A Fundamental Basis of Islamic Metaphysics (1990)
  • On Quiddity and Essence: An Outline of the Basic Structure of Reality in Islamic Metaphysics (1990)
  • The Meaning & Experience of Happiness in Islam (1993)
  • The Degrees of Existence (1994)
  • Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995)
  • Tinjauan Ringkas Peri Ilmu & Pandangan Alam (2007)
  • The ICLIF Leadership Competency Model (LCM): An Islamic Alternative (2008)
  • Historical Fact & Fiction (2011)
  • On Justice & the Nature of Man: A Commentary on Surah An-Nisa: 58 & Surah Al-Mu’minun: 12-14 (2015)

Di Indonesia, beberapa bukunya dibedah oleh para pengikut Al-Attas di beberapa kota, seperti Risalah untuk Kaum Muslimin yang dibedah di Padang oleh Metsra Wirman, M.Phil yang diselenggarakan oleh WAFI (Wacana Fikir Islam), lalu di Surabaya oleh Kholili Hasib, M.Ud. yang diselenggarakan oleh InPAS (Institut Pemikiran & Peradaban Islam. Di Yogyakarta oleh Anton Ismunanto, M.Pd.I yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Baitul Hikmah Masjid UGM.

Lalu buku Prolegomena to the Metaphysics of Islam dibedah oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasy di Universitas Darussalam Gontor. Selain itu, di Yogyakarta, Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara, membedah 4 buku Al-Attas sekaligus yaitu, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu & Pandangan Alam, Risalah untuk Kaum Muslimin, The Positive Aspects of Tasawuf, & Islam and Secularism.

Pribadi dan perjalanan keilmuan Professor Al-Attas membawa keyakinan bahwa martabat keilmuan di Barat maupun di Timur dapat diraih dan disegani tanpa kita harus mengkompromikan kebenaran dan keagungan akidah Islam. Apalagi jika kompromi itu dilakukan dengan khazanah keilmuan peradaban Barat, yang merupakan campur aduk dari berbagai peradaban dan budaya yang memiliki worldview berbeda dengan worldview Islam.

Akhir kata, semoga Allah memberkahi umur Al-Attas, ilmunya dapat menjadi sedekah jariah baginya kelak, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik untuknya atas jerih payah dan jasa-jasa besarnya bagi umat muslim dunia. Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Mahardika Putera Emas (Pegiat ITJ Surabaya)

Referensi:
– Filsafat Ilmu: Perspektif Barat & Islam (Dr. Adian Husaini dkk)
– Framework Studi Islam (Harda Armayanto dkk)
– Wajah Peradaban Barat (Dr. Adian Husaini)

  • Pendidikan Holistik: Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna (Dr. Amie Primarni & Khairunnas. S.HI.)
  • Karir & Karya-Karya Al-Attas, Jurnal Islamia vol. XI (Ismail Al Alam)
  • com: Ircica Award for Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
  • Fanspage FB: Syed Muhammad Naquib Al-Attas
  • Fanspage FB: Wan Mohd Nor Wan Daud
  • Wikipedia, Syed Muhammad Naquib Al-Attas
  • iium.edu.my: SMNA Library
  • http://www.heritage-tech.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment