Judul Buku: The Arabic Freud
Penulis : Omnia El Shakry
Penerbit : Princeton University Press, USA
Tebal : xiii + 206 halaman
Cetakan : Pertama, 2017
Suaramuslim.net – Penjelajahan Sigmund Freud ke dalam alam bawah sadar manusia tidaklah unik. Sebab, jauh sebelum Freud, dunia Islam sudah menjelajahi alam bawah sadar tersebut. Filsuf-filsuf muslim telah mencoba menyelami pernak-pernik alam bawah sadar manusia. Utamanya, eksplorasi mengaitkannya pada dimensi spiritual Islam. Tengok saja karya-karya Abu Hamid al Ghazali, Fakhruddin ar Razi, Ibn Sina dan Al Farabi.
Pada abad ke-11 sampai abad ke-13, karya-karya pemikir muslim khusus soal satu itu sudah bertebaran di jagat pustaka. Meski pada abad-abad lebih belakangan, terjadi penurunan minat karena situasi keintelektualan mulai berubah ke arah lebih praktis. Namun minat menyelami jagat alam bawah sadar ini naik kembali seiring penerjemahan karya-karya Pierre Janet, Sigmund Freud, Carl Jung dan Alfred Adler pada awal abad 20 di Mesir.
Mesir layak disebut pintu masuk pengaruh Freudian di dunia Arab. Pada tahun 1947, pemikir muslim cum penulis kondang Sayyid Qutb membahas pendekatan psikoanalisa terhadap kritik sastra. Penulis Mesir lainnya yang juga begitu terpengaruh pada hasil-hasil kajian psikoanalisa adalah Muhammad al Nuwayhi dan Abbas Mahmud Aqqad.
Upaya menggandengkan kajian psikoanalisa pada dimensi keislaman ini tentu berseberangan dari tradisi pemikiran Eropa sejak Rene Descartes menarik urusan diri manusia pada manusia sendiri. Tidak ada intervensi Ilahi.
Kredo Descartes menghantui seluruh produk filsafat Barat sesudahnya. Termasuk dalam eksplorasi psikoanalisa. Penggalian alam bawah sadar dilakukan benar-benar lepas dari intervensi Ilahi. Walau demikian, Eric Fromm, Karen Horney dan Bruno Bettelheim justru menunjukkan bahwa teks-teks asli berbahasa Jerman dari karya Freud, malah banyak merujuk pada aspek jiwa.
Ditulis dalam empat bab dipisah oleh dua bagian, buku ini merupakan rujukan yang memadai. Diawali pembahasan tentang psikoanalisa dan psike. Dua istilah yang melandasi seluruh perbincangan tentang ketaksadaran dan berhasil menarik perhatian para sarjana Mesir di Kairo pada pertengahan ’40an sampai akhir dekade ’50an.
Tokoh utama dalam perbincangan ini adalah Yusuf Murad, sang intelektual publik sekaligus guru besar psikologi sejumlah kampus di Mesir. Bagi Murad, psikoanalisa merupakan sintesa dialektis antara introspeksi filosofis, positivisme serta fenomenologi. Ia memperkenalkan istilah ‘al la shu’ur’ dari khazanah mistik karya Al Farabi. Istilah itu disepadankan pada kata ‘ketaksadaran’ dari Freud.
Inilah upaya pertama menggabungkan konsep psikoanalisa, tradisi filsafat psikologi Prancis dan khazanah konsep Islam klasik. Para peserta muda dari klub diskusi psikologi Yusuf adalah mereka yang kelak berperan besar dalam dinamika intelektual Mesir dan dunia Arab. Diantaranya, Mahmud Amin al Alim, Yusuf al Sharuni, Murad Wahba, Mustafa Suwayf, bahkan beberapa dari mereka berikutnya sohor di Irak. Seperti Sami al Durubi, penerjemah dan diplomat, serta Salih al Samma, penerjemah sekaligus guru besar psikologi di Universitas Baghdad.
Psikoanalisis memang sangat mengakar dalam situasi pasca perang Mesir, mempengaruhi wacana intelektual Arab dalam humaniora dan ilmu sosial.
Keunggulan El Shakry dalam buku ini ditunjukkan melalui dialog antar tulisan-tulisan Arabofone (berbahasa Arab) tentang diri/jati diri, yang sebagian besar tidak dikenal oleh audiens Barat, teoretisi Freud dan tradisi keilmuan Arab klasik tentang jiwa (nafs).
El Shakry mengupas kegairahan para penulis Arab yang tercermin dalam karya-karya sastra, kemanusiaan, politik dan berbagai cabang ilmu sosial lainnya. Semuanya terpengaruh oleh wacana psikoanalisa, sembari mengangkat kembali khazanah intelektual Islam klasik.
Menariknya, kajian-kajian Freudian dalam jurnal yang diasuh Yusuf Murad merujuk pada korpus Freud, yang juga ditafsirkan oleh para pemikir Inggris, Prancis dan Hungaria. Sehingga kajian tersebut tak bisa dianggap sekadar terjemahan ke dalam bahasa Arab, melainkan harus dikatakan sebagai upaya reflektif menemukan kecocokan.
Wajar saja jika El Shakry kemudian tak ingin bukunya ini disebut hanya sejarah literer tentang kajian Freudian di Mesir. Tapi, ia ingin buku ini dipandang sebagai ulasan sejarah gagasan dan perdebatan Freudianisme berlatar belakang tradisi beragam nilai. Tak pelak, keempat bab buku ini memberi wawasan sejarah serta pandangan teoritis yang berguna untuk meminggirkan asumsi Barat tentang peran wacana psikoanalitik dan tradisi Islam dalam budaya sastra sekaligus politik Mesir modern.
El Shakry tampaknya juga hendak menunjukkan lebih banyak lagi. Baginya, psikoanalisa dan Islam secara bersamaan merupakan dua wilayah yang berjumpa pada etika. Ada poin-poin persilangan antara wacana keislaman dan pemikiran sosial modern, yakni antara agama dan etik sekular.
Ia mengupas bagaimana upaya Murad dalam mengintegrasikan psikoanalisa pada kasus-kasus pasca-kolonial. Ketika masyarakat kolonial Mesir bersiap-siap lepas dari cengkeraman kolonialisme. Langkah ini mirip dengan upaya masyarakat Prancis pada abad ke-19 ketika mengusung subyektivitas borjuis menghadapi kekuatan feodalisme. Walau beda lokasi, tapi tampak nyata bagaimana kekuatan kolonial yang telah menumbuhkan hirarki sosial pada gilirannya memasung kebebasan subyektif masyarakat.
Di seluruh dunia Islam pada awal abad 20, kasus Mesir tentu saja unik, karena persentuhannya pada kolonialisme dan bangkitnya kelas menengah Mesir melawan kolonialisme. Persoalan utama yang dihadapi Murad dan para pengikutnya saat itu, tentu saja, adalah keterbelahan masyarakat akibat kolonialisme. Tak mudah memang bagi Murad. Namun, strategi integrasi jati diri (the self) yang dilakukan Murad ternyata berdasar pada ‘nafs’, sebuah istilah yang secara primordial mengacu pada dimensi ilahiah.
Kondisi perang dunia ke-2 telah ikut memperkuat strategi Murad ini, sebab ada kontradiksi yang tampak nyata dari diskursus psikoanalisa yang lahir di Eropa tapi tak sanggup mencegah meletusnya perang dunia tersebut.
Pada bab dua, eksplorasi El Shakry lebih menukik lagi. Ia menyorot kelindan antara akar sufisme abad pertengahan dan perkembangan psikoanalisa. Bab ini mengupas pertalian antara sufisme dan psikoanalisa.
Kupasan dimulai dari penjelasan Ibn Arabi tentang ‘Nafas Rahmani’. Nafas berasal dari bahasa Arab dan mempunyai makna sebagai jiwa (psike dalam terminologi psikoanalisa).
Lantas, analisa terhadap nafas penanda kehidupan ini dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ilm al nafs’, yang berkonotasi pada ilmu psikologi di Barat. Bedanya, ‘Ilm al nafs’ tetap mengacu pada sumber-sumber kitab suci untuk penjabarannya. Ibn Arabi merupakan filsuf cum mistikus yang sangat piawai dalam disiplin ini. Dan karya-karyanya itulah yang juga menjadi rujukan Yusuf Murad.
Sedangkan tokoh lain yang mendalami kitab-kitab klasik Sufisme adalah Abu Wafa al Ghunaymi al Taftazani, guru besar tarekat Sufisme al Ghunaymiya Khalwatiya, Mesir. Abu Wafa meraih gelar master dari Universitas Kairo pada tahun 1955 dengan tesis tentang mistikus Ibn Athaillah al Sakandari, lalu ia kemudian meraih gelar doktor pada tahun 1961 dengan disertasi tentang filsuf Andalusia Ibn Sab’in.
Bagi Abu Wafa, ekslorasi terhadap wacana ‘jiwa’ dalam Islam sangat berkaitan dengan ilmu kemanusiaan. Berbicara manusia tidak mungkin dilepaskan dari perbincangan soal jiwa. Bahkan kemudian Abu Wafa secara akademis meneguhkan perluasan khazanah dalam soal ini melalui tradisi filsafat. untuk itu, Abu Wafa tak sendirian. Ia ditemani oleh intelektual Mesir lainnya, seperti Mustafa Abdul Raziq dan Muhammad Mustafa Hilmi.
Buku ini jelas menjadi penanda bagi dialog nyata antara produk pemikiran Barat dan Islam. Psikoanalisa yang selama ini dikenal bebas dari agama, pada gilirannya menunjukkan diri sebagai disiplin yang cukup marak dipelajari para intelektual Mesir. Walau harus ditegaskan, intelektual muslim yang mempelajarinya tetap tak tercerabut dari akar keislamannya.
Peresensi: Rosdiansyah, S.H., M.A.*
Editor: Muhammad Nashir
*Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP serta Pusat Kajian Islam dan Peradaban (Puskip), Surabaya.
*Resensi ini pernah naik di laman https://themetropolitanreviewofbooks.wordpress.com/2018/05/27/al-nafs-lebih-dari-sekadar-psikoanalisa/#more-192 pada tanggal 27 mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net