Suaramuslim.net – Tempo hari berkesempatan berkunjung di salah satu toko buku di pinggiran kota Yogyakarta yang menyediakan buku-buku lawas. Banyak buku yang diterbitkan periode tahun 50-an.
Di salah satu mejanya, tergeletak berbundel-bundel majalah Hikmah yang dipimpin oleh M. Natsir. Majalah ini terbit sekali tiap pekan. Kucoba membaca beragam tulisan di sana, banyak ditulis oleh tokoh-tokoh Masyumi, salah satunya Buya HAMKA. Artikel di bawah ini ditulis Buya untuk mengenang Allahuyarham Ki Bagus Hadikusumo yang belum lama wafat.
Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh penting Muhammadiyah, beliau diangkat menjadi ketua umum Muhammadiyah setelah KH. Mas Mansur, pada tahun 1944. Beliau tercatat pula sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Bersama Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta, beliau pernah melawat ke Jepang guna beraudiensi dengan Kaisar Tenno Heika terkait pemberian janji kemerdekaan.
Pada tanggal 5 November 2015 beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu sifat beliau adalah sangat berhati-hati dalam hal yang dapat menyangkut masalah tauhid, sekalipun hanya tentang ucapan. Tauhidnya tajam, mutlak dan tanpa kompromi. Hal-hal- yang menyangkut i’tiqad dan hukum agama sangat dipegang teguh serta dipertahankan sejadi-jadinya.
Ki Bagus Hadikusumo termasuk ulama yang menentang “saikirei” yaitu kebaktian untuk mendewakan kaisar Jepang dengan cara membungkuk dan menghadapkan ke arah matahari terbit, karena tak ubahnya seperti rukuk dalam shalat. Ki Bagus berpendapat bahwa penghormatan seperti itu sudah menyerupai penghormatan kepada Tuhan, maka hukumnya terlarang dan dapat menjurus kepada syirik.
Saya menulis ulang tulisan Buya Hamka yang tercantum di majalah pekanan Hikmah edisi 20 Muharram 1374 / 18 September 1954 tahun VII / 38 dengan penyesuaian seperlunya terutama bagian ejaan. Semoga banyak pelajaran yang bisa diambil dan hikmah yang terenggut. Dimohon untuk membaca pelan-pelan, tak usah tergesa-gesa.
Biografi Ki Bagus Hadikusumo
Pada petang Kamis malam Jumat 4 jalan 5 Muharram 1374, bersetuju dengan 2 jalan 3 September 1954, telah meninggal dunia Ki Bagus Hadikusumo, bekas Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Beliau dilahirkan dalam tahun 1890 di Yogyakarta. Dia bersaudara 4 orang laik-laki dan seorang perempuan, kelimanya terkenal sebagai orang-orang yang terkemuka dalam pergerakan Muhammadiyah. Yaitu Haji Syuja’, Haji Fachrudin, Haji Ki Bagus Hadikusumo, H. Zaini dan Siti Munjiyah. Dengan ini telah empat orang yang meninggal dari kelima bersaudara itu, dan tinggallah yang paling tua, yaitu H. Syuja’.
Pembina Muhammadiyah
Sebagai seorang kyai yang berkedudukan baik, termasuk Abdi dalem istana Yogyakarta dan mampu pula karena kemajuan perniagaan batik, Kyai Ahmad Dahlan telah membangkitkan pergerakan Muhammadiyah dan diresmikan pada tahun 1912. Maka kelima bersaudara itu sejak saat itu pula telah menjadi pengikut yang setia daripada Kyai Dahlan. dan telah turut membina pergerakan Muhammadiyah dengan segenap tenaga mereka.
Syuja’ terkenal karena dialah yang mula-mula menggerakkan bagian Muhammadiyah yang bernama “Penolong Kesengsaraan Umum” (PKU), H. Fachrudin terkenal sebagai orang yang kedua sesudah KH. Dahlan. H. Zaini terkenal pula karena kemahirannya tentang agama Kristen, Siti Munjiyah sebgai muballighat ‘Aisiyah yang telah menjalani seluruh Indonesia. Dan Ki Bagus adalah seorang tenaga pemikir, mendalami soal-soal agama, sehingga di waktu mudanya banyaklah murid-murid yang datang berguru kepadanya, terutama dalam hal tafsir.
Maka terdapatlah di Jogja ulama atau Kyai-Kyai yang berpengetahuan luas. Di samping bergerak dalam Muhammadiyah, tidak pula mereka lengahkan soal-soal politik. Ki Bagus sendiri pernah masuk Budi Utomo dan kemudian masuk Syarikat Islam dibawah pimpinan almarhum H.O.S. Tjokroaminoto.
Namun beliau tetap menjadi tenaga “dalam”. Namanya keluar pergerakan pada waktu itu tidaklah begitu terkenal. Yang terkenal ialah H. Muchtar, H. Hisyam, H. Fachrudin, KH. Ibrahim, KH. Mas Mansur, AR. St. Mansur. Tetapi dalam Muhammadiyah sendiri dirasakan bahwa banyak soal yang belum dapat diputuskan sebelum di dengar pertimbangan-pertimbangan daripada Ki Bagus Hadikusumo.
Pribadinya adalah menyerupai sahabat Nabi Abu Dzar. Suka akan kesederhanaan. Dan jemu akan hidup bermewah-mewah.
Saya mulai bertemu dan mengenal beliau ialah di tahun 1924, ketika dibawa ke rumahnya mempelajari Tafsir Qur’an oleh paman saya Ja’far Amrullah. Agaknya karena masih amat muda, belumlah saya kenal benar pribadi beliau. Tetapi dari tahun ke tahun, penghormatan saya kepada beliau bertambah besar. Sebab boleh dikatakan setiap waktu kakak saya AR. St. Mansur memuji namanya.
Kemudian setelah saya menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo (1929) saya lihat sendiri bagaimana kesayangan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah kepada dirinya. Terutama K.H. Mas Mansur. Yang saya (lihat) pada waktu itu hanya kelucuannya, kegembiraannya dan kesederhanaannya. Tetapi setelah saya kian lama kian masuk ke dalam masyarakat Pergerakan Muhammadiyah, kian tahulah saya siapa beliau.
Hidup dan Falsafahnya
Lautan ilmu yang keras memegang agama dan memegang strategi perjuangan Umat Islam. Tetapi tidak mau terkemuka. Ketika kursi-kursi untuk Pengurus Besar di Kongres dideretkan sebelah muka, dan anggota-anggota PB. (Pengurus Besar) duduk dengan safnya yang teratur dia sendiri sengaja duduk kebelakang-kebelakang bersama dengan utusan banyak.
Berbicara sambil lucu, mendengar keluh-kesah dari daerah karena halangan kaum adat dan pemerintah penjajahan. Dan pakaian yang dipakainya kadang-kadang tidak teratur, sebab dia mempunyai filsafat sendiri tentang memakai pakaian. Dia tidak keberatan datang ke Kongres Bukittinggi dengan memakai pakaian H.W. (Hizbul Wathan,-ed.), sebab dengan pakaian pandu dapat potongan (reduksi) pada K.P.M. Tetapi bila dia menegakkan hujjahnya di dalam Majelis Tarjih atau Tanwir, jarang yang dapat membantah.
Filsafatnya tentang memimpin pergerakan ialah: “Kemukakan mana yang mau kemuka. Dia akan tetap duduk di belakang-belakang”. Sebab rupanya dia tahu bahwa yang di muka itu tidak akan dapat berbuat apa-apa kalau tidak bertanya kepadanya.
Seketika didirikan Partai Islam Indonesia, dan Wiwoho dipilih menjadi formatur, Ki Bagus telah turut dipilihnya menjadi anggota Dewan Pimpinan (1939).
Berturut-turut pemuka-pemuka Muhammadiyah telah meninggal. K.H.A. Dahlan digantikan oleh K.H. Ibrahim dan disokong oleh H. Fachrudin. Semuanya meninggal. Lalu ketua P.B. diganti dengan H. Hisyam. Meninggal H. Hisyam diganti dengan K.H. Mas Mansur. Dan seketika Jepang memasuki tanah air kita, tampillah pemimpin “Empat serangkai (Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur). Sebab itu K.H. Mas Mansur terpaksa meninggalkan Jogja. Dan ketua P.B. (Pengurus Besar, -ed.) harus diganti. Siapa akan gantinya? Tidak ada suara lain, melainkan kepadanyalah harus jatuh giliran menjadi ketua P.B. Walaupun yang sama tuanya, sama murid langsung dengan K.H. Ahmad Dahlan, yaitu abangnya H. Syuja’ dan H. Muchtar masih hidup, keduanyapun menyerahkan kepadanya. Apatah lagi pemimpin yang muda-muda. Hal yang tidak diingininya terpaksa diterimanya.
Sebagai ketua dari Pergerakan agama yang besar itu, tentu saja dia dihormati dan dibesarkan. Kadang-kadang harus dinampakkan benar penghormatan itu, karena hendak menunjukkannya kepada pihak kekuasaan Jepang. Padahal beliau bosan dan jemu dengan cara yang demikian. Ini kerap menimbulkan jengkal (jengkel) pada yang muda-muda, seumpama Prof. A. Kahar Muzakkir, Farid Ma’ruf dan H.M. Yunus Anis. Dia tidak mengenal dan tidak mau kenal protokol-protokolan. Kadang-kadang meskipun dikenalnya, dilanggarnya. Sengaja dilanggarnya! Baginya pemimpin rakyat ialah hidup secara kerakyatan. Karena dia bukan “Abdidalem” atau Keluarga Sultan. Pendirian demikian tetap dipegangnya sampai matinya.
Lanjutan Artikel “Kehidupan Ki Bagus Hadikusumo dalam Berbagai Zaman“
Oleh: Muhammad Fisabilillah
Editor: Oki Aryono