Amandemen UU dan Diskriminasi Muslim India

Amandemen UU dan Diskriminasi Muslim India

Amandemen UU dan Diskriminasi Muslim India
Demonstran turun menolak UU Kewarganegaraan di India. (Foto: Republika.co.id)

Suaramuslim.net – Kerusuhan kembali pecah di India. Hal ini terkait dengan adanya UU Amandemen Kewarganegaraan atau Citizenship Amendment Act (CAA). UU ini dinilai umat Islam sebagai peraturan yang diskriminatif.

Diskriminatif karena memudahkan atau memberi jalur dari warga tiga negara (Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan) untuk memperoleh kewarganegaraan di India. Kalangan muslim menilai bahwa yang diberi peluang masuk hanya non-muslim, dan tidak berlaku bagi warga muslim.

UU ini menunjukkan bahwa diskriminasi itu hanya berlaku untuk umat Islam, tidak untuk mereka yang beragama non-muslim. Protes yang dilakukan kaum muslimin India mendorong warga Hindu untuk melakukan pembakaran masjid, dan penyerangan serta pembunuhan terhadap kaum muslimin. Bahkan tentara India melakukan tekanan dan pembunuhan ke komunitas muslim.

UU Diskriminatif dan Lahirnya Kerusuhan

“Jika ada orang yang beragama Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi atau Komunitas Kristen dari Afghanistan, Bangladesh atau Pakistan, yang masuk India pada atau sebelum tanggal 31 Desember 2014 dan yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan atau di bawah ayat (c) ayat (2) pasal 3 dari Paspor Act (Masuk ke India), 1920 atau dari penerapan ketentuan Foreigners Act, 1946 atau aturan atau perintah apa pun yang dibuat di bawahnya, tidak akan diperlakukan sebagai migran ilegal untuk keperluan Undang-undang ini.”

Pasal ini yang memicu protes dari kaum muslimin India hingga terjadi bentrokan antar agama. Bahkan warga yang mayoritas beragama Hindu membakar masjid, dan melakukan persekusi pada komunitas muslim.

Bentrokan yang terjadi di timur ibu kota New Delhi itu menewaskan 20 orang dan 189 terluka serta 60 korban luka tembak. Tentara India ikut terlibat dalam operasi untuk menghabisi umat Islam. Kebiadaban tentara ini tidak bisa dipungkiri sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah India, dan semakin memperkeruh hubungan Islam dan Hindu.

Protes terhadap UU ini sebenarnya sudah terjadi selama 2 bulan karena umat Islam menilai bahwa UU ini dianggap sangat diskriminatif, menguntungkan bagi kalangan non-muslim tetapi merugikan bagi kaum Muslim India. Dengan adanya UU ini bukan hanya merusak hubungan antar umat beragama, tetapi merusak citra India sebagai negara yang dikenal demokratis. Kasus ini merupakan fenomena gunung es tentang sikap pemerintah India terhadap minoritas muslim.

Kerusuhan besar ini tidak lepas dari sentimen Hindu yang demikian besar. Mereka sudah tidak menghargai eksistensi kaum muslimin yang memiliki 200 juta penduduk. Jumlah yang demikian banyak ini dikalahkan oleh arogansi mayoritas Hindu, sehingga membuat kaum muslimin dilanggar dan dipersempit hak-haknya.

Kebiadaban dan Diamnya Respons Dunia 

Narendra Modi, PM India berasal dari partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata. Partai ini mendorong lahirnya UU baru sehingga menciptakan kerusuhan. Narendra menyatakan pembelaannya bahwa UU itu mengakomodasi atau memberi hak orang-orang yang melarikan diri dari persekusi agama di negara asal.

UU itu tidak memasukkan muslim dan mengecualikan dengan alasan bahwa Islam bukanlah kelompok minoritas. Sehingga tidak memerlukan perlindungan India.

Tidak memasukkan Islam inilah yang dinilai memberi celah adanya agenda tersembunyi. Agenda tersembunyi itu adalah memarjinalkan kaum muslim di India. Hal ini jelas sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip sekuler di dalam konstitusi India. Demikian pula, ketika dalam UU ini menawarkan amnesti kepada imigran gelap, maka ke depan akan akan menyulitkan India sendiri. Karena akan muncul eksodus disebabkan demikian mudahnya masuk ke India.

Atau memang ada skenario lain, UU ini sebagai strategi memarjinalkan muslim di India. Dengan memasukkan warga imigran gelap dan menjadi warga negara India akan memperkecil ruang gerak Islam. Padahal UU sebelumnya melarang imigran gelap.

Imigran gelap adalah orang asing yang masuk India tanpa paspor atau dokumen perjalanan yang sah, atau tinggal melebihi batas yang diizinkan. UU lama menegaskan bahwa untuk menjadi warga India harus tinggal di India atau bekerja untuk pemerintah federal sekurangnya 11 tahun.

Dengan adanya amandemen UU ini, jelas akan muncul dua persoalan besar. Pertama, pelanggaran terhadap perolehan hak kewarganegaraan. Selama ini agama dan kepercayaan tak menjadi menjadi syarat untuk meraih kewarganegaraan. Karena konstitusi India melarang diskriminasi berdasar agama terhadap warga negara, serta menjamin semua orang di hadapan hukum.

Kedua, memarjinalkan Islam. Dengan UU ini, maka pemerintah demikian mudah memasukkan warga non-muslim ke India, sehingga jumlah mereka akan semakin besar, akibatnya akan memperkecil prosentase kaum muslimin. Kondisi kedua inilah yang dikhawatirkan oleh kaum muslimin India.

Bila UU ini diberlakukan jelas melanggar konstitusi India yang selama ini welcome terhadap warga asing. Bahkan untuk masuk menjadi warga India tanpa melihat agama dan kepercayaannya. Namun dengan amandemen UU ini, agama (Hindu) menjadi pertimbangan utama. Dan yang lebih mengkhawatirkan, bila UU ini diberlakukan, akan menjadi mimpi buruk bagi umat Islam di India.

Umat Islam akan mengalami tekanan dan marjinalisasi demikian mudah. Kuantitas umat Islam yang semakin kecil, akan memudahkan bagi rezim pemerintahan Hindu melakukan tekanan pada umat Islam.

Buktinya, penyelesaian atas protes umat Islam, bukannya mengedepankan dialog, tetapi justru mengerahkan massa dan kekuatan militer untuk melakukan tekanan dan pembunuhan terhadap umat Islam. Ini sebuah ironi yang serius.

Surabaya, 2 Maret 2020

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment