Ambiguitas Dalam Menyikapi Teror

Ambiguitas Dalam Menyikapi Teror

Suaramuslim.net – Ngeri dan perih merasakan rentetan ledakan bom yang mengakibatkan korban luka dan meninggal dunia. Bagaimana perasaan keluarga korban ketika berangkat dengan kondisi sehat lalu mendapatkan kabar, korban berada di rumah sakit atau meninggal dunia. Betapa perih perasaan keluarga, istri, anak atau bahkan keluarga yang lainnya.

Membayangkan pedihnya perasaan mereka, tentu akan membangkitkan emosi dan amarah, tapi akan selesaikah teror itu ketika kita hadapi dengan rasa marah? Belum tentu, karena memang marah itulah keinginan mereka.

Keterukuran respon atas sebuah peristiwa nampaknya menjadi penting, karena ini akan menentukan ketepatan cara dalam mengungkapkan kegelisahan yang ingin kita sampaikan. Sudah cukuplah sumpah serapah dan ungkapan nista kita sematkan, meski kadang kata yang kita semburatkan seringkali menampakkan kekonyolan dan kebodohan.

Diskusi dan media sosial yang seharusnya mencerahkan justru kebanyakan semakin memperlihatkan kedunguan kita. Kecenderungan menghakimi terhadap sebuah pilihan yang berbeda, menjadi hiasan dan asupan tak bergizi. Semakin jelas memperlihatkan siapa kita sebenarnya. Kita menjadi orang yang tidak tahu kalau diri kita tidak tahu, atau menjadi orang yang tahu bahwa diri kita tidak tahu. Terlalu banyak persepsi tak berilmu yang digunakan mengukur sebuah pilihan yang dilakukan oleh orang lain.

Nalar kita barangkali tak akan sampai ketika melihat pilihan satu keluarga yang diduga melakukan pemboman. Bagi keluarga tersebut itulah pilihan rasional kebenaran yang dilakukan atas sebuah doktrin. Bagi kita mungkin salah, tapi belum tentu bagi orang lain. Dalam pilihan keyakinan selalu ada perbedaan, karena alasan nalar yang digunakan juga berbeda satu sama lain.

Bukankah memilih keyakinan itu tidak hanya berdasar atas nalar, tapi juga ada variabel lain yang mendukungnya. Sebagaimana pertanyaan mengapa kita memilih Pancasila sebagai ideologi, tak hanya alasan nalar tapi ada alasan lain yang mendukungnya. Begitu juga mengapa pilihan kita dalam sistem bernegara adalah demokrasi dan kapitalisme menjadi ruhnya, padahal jelas-jelas Pancasila kita tidak selalu mengarah kesana. Pancasila kita mengarahkan arah bernegara pada ketuhanan dan keadilan sosial. Apakah demokrasi mengajarkan keadilan sosial? Lalu mengapa kita memilih arah demokrasi dan kapitalisme sebagi ruh? Salahkah kita? Tentu tidak, ada alasan-alasan rasional dan tentu kepentingan kita yang terakomodir oleh sistem membuat kita menambatkan pilihan.

Melawan Radikalisme Dengan Kasih Sayang

Sudah menjadi sebuah ketentuan bahwa kekerasan yang dilawan dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Tentu juga merupakan pilihan yang harus dihormati melawan kekerasan dengan kekerasan.

Nah, penyikapan genit terhadap radikalisme justru akan memantik radikalisme baru. Sehingga aksi radikalisme tak akan pernah selesai. Kutub kanan dan kiri akan sama-sama melakukan aksi radikalnya. Bukankah Nabi sudah mengingatkan dalam sebuah pernyataan indahnya “kalau engkau marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Kalau duduk engkau masih marah, maka tidurlah dan berwudulah”. Pesan indah sejatinya menyiratkan perintah jernih ketika kita sedang menilai orang.

Bukankah dalam sejarah tindak kekerasan selalu dimulai oleh kekerasan, sehingga diperlukan upaya baru melawan kekerasan. Setiap manusia tentu diajarkan bagaimana memperlakukan manusia yang lainnya. Namun sayangnya kadang rasa kemanusiaan itu seringkali sirna ketika kebencian dibuncahkan.

Sikap keras dan kasar kita kepada pelaku kekerasan, kadangkala memang diperlukan tetapi tetap harus pada koridor penyelesaian. Sikap kasar dan keras yang hanya dipenuhi kebencian yang sama, menyiratkan bahwa kita tak ada bedanya dengan mereka.

Meredefinisi Terorisme dan Menyikapinya

Teror merupakan sebuah aktifitas yang menimbulkan ketakutan, kecemasan dan kegelisahan. Secara makna, maka apapun kegiatan yang menyebabkan kegelisahan, kecemasan dan ketakutan bisa dikategorikan sebagai kegiatan teror.

Sejauh mana kita peka terhadap aktifitas itu teror atau tidak, bergantung sejauh mana kepentingan kita bisa diakomodasi. Nah, seringkali ketika kepentingan kita bisa diakomodir oleh aktifitas, maka kepekaan kita terhadap teror juga menjadi lemah bahkan mungkin kita menjadi bagiannya.

Betapa banyak kita saksikan masuknya minimarket-minimarket baru ke kampong-kampung telah mematikan para pedagang kecil, adakah kita marah dan protes?

Betapa banyak kita saksikan layanan rumah sakit yang tidak peduli kepada rakyat miskin, sehingga mereka rela memilih jalan kematian karena tak mampu membayar biaya rumah sakit, adakah kita marah dan protes? Saat itu dimanakah kita?

Terlalu banyak perilaku teror yang justru banyak dihadapi rakyat kecil, tapi kita juga tak pernah peduli, mengapa? Karena menikmati perilaku itu dan menjadi bagiannya.

Nah kawan… Hidup berpancasila adalah hidup yang berketuhanan dan berkeadilan sosial. Sehingga penyikapan terhadap situasi apapun harus berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung. Tidak ada Tuhan mengajarkan kepada umatnya kebencian dan kekerasan, Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga bisa dipastikan siapapun yang menyuburkan budaya kekerasan pastilah tidak beragama dan tidak bertuhan. Kalau mereka mengatakan memeluk agama bisa dipastikan mereka beragama tanpa tuhan.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qasas: 77)

 

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment