Suaramuslim.net – Seringkali kita dipusingkan dengan pendidikan anak. Pusing kenakalannya, pusing tidak shalatnya, pusing tidak patuhnya, pusing ketika akan sekolah, pusing menyangkut keuangannya, pusing ketika sakitnya dan banyak pusing yang lainnya.
Namun coba gali spirit dan motivasi ayat ini untuk meringankan pusing-pusing di atas yaitu Q.S. Thaha 132;
وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ لَا نَسَۡٔلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Kalau ayat itu dipahami secara umum, maka ‘ahlaka’ itu bisa diartikan keluargamu. Artinya kita disuruh memperhatikan shalat keluarga kita, dan termasuk keluarga adalah anak.
Shalat di ayat itu sebagai simbol ibadah, artinya kepala keluarga harus benar-benar memperhatikan ibadahnya anaknya. Hal itu harus dilaksanakan dengan kesabaran yang sungguh-sungguh. Konteks ini bisa dilihat dari perintah Allah yang menggunakan kata washthobir, yang berasal dari ishbir dan ada ketambahan huruf ط untuk menunjukkan kesungguhan dan kesinambungan.
So… Untuk mendidik anak, kita tidak hanya membutuhkan kesabaran namun lebih dari itu yaitu super kesabaran.
Sabar itu ada tiga level. Level standart yaitu ngempet atau nahan diri, level ridha atau nrimo atau menerima akan takdir Allah di saat itu, dan level sabar dengan mensyukuri keadaan (prinsipnya filsafat untung).
Supaya bisa super sabar atau level kedua atau ketiga, coba pahami konsep anak dalam bincang Al-Qur’an, di antaranya ada 3 macam anak dalam bincang Al Qur’an.
- Anak sebagai ujian bagi orang tuanya
Seperti anak yang sakit-sakitan atau anak yang bandel dan kenakalan yang luar biasa dan lainnya. Bahkan ujian itu bisa berupa yang sangat menyenangkan, misalnya anaknya yang cakep, suara merdu, pintar, nggak pernah sakit dan lainnya. Hati-hati itu juga sebagai ujian bagi orang tuanya.
Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al Anfal 28.
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Dan juga firman Allah yang lain dalam surat At-Taghabun ayat 15.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Dari ayat-ayat di atas, nampak bahwa kategori pertama anak itu adalah sebagai ujian bagi orang tuanya yang harus dihadapi.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Sesungguhnya anak itu membuat bakhil, pengecut, bodoh dan menyusahkan (orang tua).”
Ada beberapa komentar ulama tentang makna hadis di atas.
Az-Zamakhsyari berkata, ”Anak menjatuhkan orang tua kepada sifat bakhil dalam masalah harta benda dengan alasan masa depan anak. Orang tua menjadi bodoh karena sibuk mengurus anak hingga lalai mencari ilmu. Orang tua menjadi pengecut hingga takut terbunuh, khawatir nanti anaknya terlantar. Dan orang tua dibuat sedih karena berbagai masalah dan problem yang timbul dari anak. Adapun sabda Nabi “Kalian laksana bunga raihan karunia dari Allah”, karena orang tua mencium dan memeluk anak, bagaikan mencium bunga raihan yang ditumbuhkan Allah.”
Dalam menghadapi anak dengan kategori ini diperlukan kesabaran dan ketawakkalan kepada Allah.
Abu Dawud meriwayatkan hadis Nabi, “Sesungguhnya, apabila seorang hamba ingin mendapatkan kedudukan tinggi dari sisi Allah sementara tidak sampai, maka Allah akan menimpakan musibah pada jasadnya atau harta bendanya atau anaknya.”
Ujian juga bisa yang menyenangkan, biasanya Al-Qur’an menyebut anak sebagai zinah (perhiasan), karena menyenangkan dan kalau gagal ujiannya bisa melalaikannya.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imron: 14).
Dalam menghadapi anak sebagai perhiasan itu, yang harus dilakukan adalah jangan lahwun!
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al Munafiqun: 9).
Kalau diuji dengan anak yang tidak menyenangkan adalah sabar dan tawakkal, serta syukuri aja apa yang ada dan jangan melihat anak orang lain apalagi membanding-bandingkannya.
Kalau diuji dengan anak yang menyenangkan, sebagai ziinah (perhiasan), maka di samping sabar, tawakkal ditambah dengan jangan lahwun (lalai).
Jangan sampai karena anak kita berbakat akhirnya menabrak syariat untuk mengorbitkan anak-anak kita, inilah lahwun!
- Anak bisa jadi musuh bagi orang tuanya
Yaitu, ketika orang tua mengalami kegagalan dalam menghadapi anaknya sebagai ujiannya. Orang tua yang tidak sabar, tidak bertakwa kepada Allah bahkan lahwun biasanya anak itu bisa durhaka dan menjadi musuh, bahkan kepada Allah dan RasulNya, wal ‘iyadzu billah.
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At Taghabun: 14).
- Anak sebagai qurrotu a’yun bagi orang tuanya
Yaitu anak-anak yang saleh yang dapat menyejukkan jiwa batin orang tuanya.
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqon: 74).
Bagaimana membentuk anak shaleh yang qurrah bagi jiwa orang tuanya? Lihat kembali kepada ayat di atas Q.S. Thaha 132 dan juga Q.S. At Tahrim: 6.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kita, tentu harus dipahami terlebih dahulu terkait batasan usia anak itu.
Anak kecil itu ada 3 kategori;
- Anak kecil yang belum mumayyiz
- Anak kecil yang sudah mumayyiz
- Anak kecil yang sudah baligh
Nah dari 3 kategori di atas terjadi perbedaan sikap atau cara mendidik mereka.
Anak kecil yang belum mumayyiz usianya sekitar 0-7 tahun
Terhadap anak ini orang tuanya harus banyak memberikan pendidikan islami dengan sering mendengarkan kalimah thaibah. Itulah kenapa dianjurkan untuk adzan ke telinga anak.
Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, usia sekitar 7 tahun sampai balig
Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai usia seorang anak sudah mulai bisa membedakan mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang membahayakan dirinya.
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada usia ini seorang anak memiliki kemampuan dalam otaknya untuk bisa menggali arti dari suatu hal. Pada masa ini seorang anak sudah mampu untuk melakukan beberapa hal secara mandiri, seperti makan sendiri, minum sendiri, dll.
Pada kategori anak ini, mereka agak terikat dengan hukum syara’, meski tidak wajib. Bukannya Nabi bersabda;
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).”
Pada usia ini semestinya lebih banyak mendidik dengan teladan, memberikan sentuhan dengan pelukan.
Abu Hurairah berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati.” (Al-Bukhari dan Muslim).
Anak yang sudah balig sekitar 10 tahun ke atas
Kalau laki-laki sudah bermimpi dan perempuan sudah menstruasi. Maka anak-anak ini dalam Islam sudah masuk awal dewasa, dan mukallaf (terbebani hukum syara’). Wajib hukumnya mengikuti syariat sesuai cabang-cabang hukumnya.
So… Anak-anak kita itu sebagai penyambung amalan kita yang kelak terputus ketika kita wafat. Anak kita itu investasi yang panjang bagi kita nanti di akhirat. Karena itu teruslah bersabar dalam mendidik mereka dan teruslah berdoa kepada Allah, karena hanya DIA yang tahu masa depan anak kita.
Wallohu A’lam