Anak Pandai Mengancam, Salah Siapa?

Anak Pandai Mengancam, Salah Siapa?

Anak Pandai Mengancam, Salah Siapa?

Suaramuslim.net – Pernahkah Ayah dan Bunda mengalami ancaman dari anak-anak? Misalnya, “pokoknya Rasya besok nggak mau berangkat sekolah kalau nggak dibelikan mobil-mobilan!” atau “Aku nggak mau makan kalau nggak sambil lihat youtube, Ma!”. Mengancam menjadi cara baru bagi anak untuk memperoleh sesuatu. Lalu, berapa sering anak mengancam? Anak belajar mengancam darimana? untuk memenuhi keinginannya, apakah selalu diikuti dengan ancaman? Sebagai orang tua tentunya merasa sedih, galau dan jengkel mendengar anak selalu mengancam. Perilaku mengancam merupakan salah satu cara yang digunakan anak untuk memenuhi keinginannya atau tujuannya.

Kira-kira anak belajar mengancam darimana , ya? Lalu apa yang harus dilakukan saat anak mulai mengancam?

Darimana anak belajar mengancam?

Anak adalah peniru yang ulung, anak memiliki kecenderungan untuk mempelajari dan meniru apa saja yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialami yang ada di sekitarnya. Maka kebiasaan seperti mengancam juga bisa dipelajari anak dari lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Misalnya, orang tua, pengasuh, kakek, nenek, saudara, guru, teman sekolah bahkan tetangga.

Mengancam adalah perilaku yang dipelajari, maka jangan heran jika anak melakukan ancaman berarti anak melakukan proses modelling atau meniru. Saat anak melihat, mendengar, merasakan bahkan mengalami diancam oleh orang tua, pengasuh, kakek, nenek, saudara, guru, teman sekolah bahkan tetangga. Saat itu juga anak berpikir bahwa mengancam itu perilaku yang dibolehkan bahkan dianggap lumrah asal keinginan dan tujuannya terpenuhi.

Perilaku suka mengancam akan berlanjut dan diteruskan si anak jika usahanya berhasil. Misalnya saat dia mengancam mogok tidak mau sekolah kalau tidak dibelikan mainan baru. Saat orang tua menuruti rengekan dan ancaman anak dengan membelikan mainan baru, saat itu lah anak belajar pola menaklukan orangtua. Pola itu kemudian menjadi senjata anak untuk menekan orangtua lagi dan lagi. Saat keinginan anak terkabul melalui perilaku mengancam kepada orang tua, saat itulah anak merasa menang dan senang karena bisa menaklukkan orang tua.

Mengapa Anak Melakukan Ancaman?

Ada 4 hal yang bisa menyebabkan anak suka mengancam, diantaranya:

  1. Merasa Dominan

Saat anak sudah terlibat dalam interaksi sosial, kadang anak merasa ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara menunjukkan dominasi terhadap teman-temanya melalui perilaku mengancam. Saat itulah anak berpikir ancaman adalah cara yang bisa digunakan untuk mendominasi.

  1. Ingin Diakui

Semua manusia ingin diakui keberadaanya tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa juga menginginkan hal itu. Jika harapan ingin diakui oleh orang lain tidak ada pengakuan, maka akan timbul kecemasan. Salah satu cara yang dilakukan anak untuk mereduksi kecemasan itu adalah melakukan ancaman.

  1. Ingin Diperhatikan

Seeking attention yaitu anak mencari perhatian terhadap orang lain, bisa kepada orangtua, guru, saudara dan teman-temanya. Tidak jarang anak mendapatkan perhatian dengan cara mengancam. Misalnya anak merasa cemburu karena ayah dan bunda terlalu memperhatikan sang adik. Anak mulai mengancam dan berulah. Hal ini tentunya akan membuat orang tua marah dan jengkel. Saat itulah anak tahu ia bisa mendapatkan perhatian dari orangtua.

  1. Merasa Tidak Berdaya

Ancaman bisa dilakukan anak saat anak merasa tidak berdaya. Contohnya saat anak diganggu oleh temanya. Anak mulai mengancam dengan “Awas ya kalau dekat-dekat, aku bilangin sama Pak Guru!”. Hal ini dilakukan karenan anak merasa tidak berdaya atau tidak memiliki kekuatan untuk melawannya.

Yang Harus Dilakukan Orang Tua

1. Tetap Tenang

Langkah awal yang harus dilakukan saat diancam anak adalah tetap tenang. Sebaiknya ayah dan bunda tidak menunjukkan ekspresi cemas, takut dan marah yang berlebihan. Karena itu bisa memicu respon si anak. Biasanya anak mulai merasa menang jika respon orang tua mulai cemas saat diancam. Ingat! bukan anak yang mengendalikan tapi orang tua lah yang harus bisa mengendalikan situasi tersebut.

  1. Giving attention

Saat tindakan ancaman dilakukan anak, sebaiknya orang tua mulai mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada anak, jangan disambi dengan melakukan aktivitas yang lain. Mengapa harus seperti itu karena saat anak mengancam, anak membutuhkan perhatian tulus secara fisik dan psikologis. Tanyakan padanya apa yang dia inginkan. Cobalah untuk mengaktifkan pendengaran kita untuk mendengarkan keluh kesah si anak dan berikan pelukan kepada anak karena itu bisa menenangkan dia.

  1. Membuat kesepakatan

Jika anak melakukan ancaman, orang tua bisa mengatasinya dengan membuat kesepakatan bersama. Caranya adalah dengan melakukan diskusi, jangan biarkan anak mengancam, ajak dia berdiskusi. Tujuannya membuat kesepakatan adalah agar pola-pola ancaman yang dilakukan bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih positif, yaitu diskusi. Hal-hal seperti inilah yang harus banyak diajarkan pada anak sejak dini.

Contoh kesepakatan yang bisa dilakukan dengan anak, misalnya saat anak minta tas baru. Orang tua bisa menanyakan,”Apakah tas yang lama sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi? Kalau memang sudah rusak, boleh beli, kalau belum, belinya kita tunggu kenaikan kelas ya, Nak?”. Diskusi dan kesepakatan seperti ini bisa menghentikan anak dari kebiasan mengancam, apalagi jika sebenarnya ia mengancam hanya untuk mendapat perhatian.

  1. Menepati Janji

Kebiasaan menjanjikan sesuatu kepada anak baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja sebaiknya ditepati. Tidak ada salahnya membelikan sepeda baru kalau sudah dijanjikan saat kenaikan kelas, misalnya. Tapi jika saat itu orang tua berhalangan membelikan sepeda baru karena suatu alasan. Misal sibuk kerja sehingga waktu yang sudah disepakati tidak terwujud. Orang tua harus jujur pada anak dan buat kesepakatan baru dan meminta maaf. Contoh, “Maaf ya, Nak, hari ini ayah belum bisa membelikan sepatu. Kita belinya hari Ahad nanti ya, hari ini ayah capek pulang kerja”. Hal itu membantu anak untuk tetap menaruh kepercayaan kepada orang tua dan tidak merasa sedih, kecewa dan marah.

Tugas orangtua adalah membersamai anak dalam kondisi apapun dan mencurahkan seluruh perhatian jika timbul perilaku mengancam.

Kontributor: Jefri firmansyah, S.Psi*
Editor: Oki Aryono

*Staf pengajar di SD Al Hikmah Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment