Suaramuslim.net – Awal bulan Maret yang lalu, terjadi polemik tentang penggunaan term “Kafir” di jagat media sosial. Dilansir dari harian Jawapos edisi 1 Maret 2019, Munas Alim Ulama NU di kota Banjar menghasilkan sejumlah keputusan penting. Salah satunya, kesepakatan untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada warga Indonesia non muslim. Sebagai gantinya, para Kiai memilih kata muwathinun atau warga negara. Kesepakatan itu diambil dalam Bahtsul Masail Maudluiyah yang dipimpin Dr Abdul Muqsith Ghozali.
Singkat cerita hasil Munas di Banjar itu dikritik habis-habisan. Uniknya, dikritik oleh golongannya sendiri. Misalnya Mun’im Sirry Ph.D. Dalam laman facebooknya, beliau menulis, “Jika dikatakan non Muslim bukan kafir karena mereka sama-sama warga negara, kayaknya lucu deh. Kafir itu kategori teologis, sementara warga negara politis. Jika ini benar, hasil Munas NU itu ya nggak maju-maju banget”.
Habib Taufiq Assegaf juga menanggapi hasil Munas. “Apa bedanya Islam dengan kafir? Masak kita nggak kenal. Rukun Islam ada berapa? Lima. Yang pertama menyatakan asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Yang tidak menyatakan Laa ilaha ilallah, menyembah selain Allah berarti hukumnya bukan Islam, bukan Islam bahasanya adalah kafir. Tidak mengakui Nabi Muhammad itu kafir… walaupun WNI, begitu lho…” kata Habib Taufiq dalam rekaman yang diunggah di laman Youtube (Jumat, 1/3/3019).
Dalam Al Quran, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir.“ (QS Al Maidah: 44)
Penggalan ayat ini sempat muncul dalam sesi wawancara Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) CPNS di asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur. Saya masih ingat betul diminta salah satu penguji untuk menfasirkan ayat ini. Akan tetapi saya tolak, karena saya bukan lulusan Prodi ilmu Tafsir Quran.
Lantas siapakah yang disebut kafir? dijelaskan Sa’di Abu Habieb dalam Ensiklopedi Ijmak (Pustaka Firdaus, 2006), ulama sepakat bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa apa pun yang dinukil dari beliau oleh semua orang; atau meragukan keesaan Allah, kenabian, pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, meragukan satu huruf dari apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau meragukan syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa apapun yang dinukil dari beliau oleh semua orang, maka orang yang mengingkari salah satu dari apa yang kami tuturkan, atau meragukannya dan kemudian mati dalam keadaan begitu, ia orang yang kafir, musyrik, dan abadi di neraka.
Ada berapa macamkah orang Kafir? Dalam Ahkamul Fuqoha: Solusi Problematika Aktual hukum Islam (Khalista, 2007), terdapat Keputusan Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama di Pekalongan. Bahwa orang Kafir itu ada empat macam:
- Kafir inkar, yakni orang yang tidak mengenal Allah sama sekali dan tidak mau mengakui-Nya.
- Kafir juhud, yakni yang mengenal Allah dengan hatinya, namun tidak mau mengakui/mengikrarkan dengan lidahnya, seperti kufurnya iblis dan Yahudi.
- Kafir nifaq, yang orang yang mau berikrar dengan lisan namun tidak mempercayai-Nya dalam hatinya.
- Kafir ‘Inad, yakni orang yang mengenal Allah dalam hatinya, dan mengakuinya dengan lidahnya, namun tidak mau melaksanakan ajaran-Nya, seperti Abu Thalib.
Apa Untungnya Jadi Kafir?
Tidak ada untung sama sekali jika berstatus “kafir”. Misalnya tentang amal kebaikan. Amal yang dikerjakan oleh orang-orang kafir tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri, dan mereka pun tidak mendapat balasan berupa kenikmatan hidup atau keringanan siksa, meskipun sebagian dari mereka akan disiksa lebih berat daripada yang lainnya menurut besar kecilnya kesalahan mereka. Bahkan “Memohonkan ampunan bagi orang kafir yang mati, haram hukumnya menurut ijmak.” tulis Sa’di Abu Habieb.
Beralih ke persoalan waris, orang kafir tidak dapat memberi warisan kepada muslim dan muslim tidak dapat memberikan juga. Lantas bagaimana dengan orang murtad? Masih mengutip Ensiklopedi Ijmak, Imam Syafi’i berpendapat, “Warisan orang murtad milik Baitul Mal”. Sedangkan Abu hanifah menyatakan, “Apa yang ia peroleh sebelum murtad, menjadi hak para warisnya yang muslim dan yang diperolehnya sesudah kemurtadannya, menjadi milik Baitul Mal”.
Orang kafir tidak boleh memasuki tanah haram. “Hai orang-orang beriman sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini ” (QS At-Taubah: 28). Maksud ayat ini adalah tahun ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ribuan pasukannya menaklukan kota Makkah.
Selain waris dan larangan memasuki Masjidil haram, seorang ayah yang kafir tidak bisa menjadi wali atau memiliki hak perwalian atas anak perempuannya yang beragama Islam. Kemudian, orang kafir tidak bisa dipilih menjadi anggota DPRD, Kepala daerah, Menteri Agama hingga Kepala negara (Lihat Surah Al-Maidah: 51). Masih ada lagi beberapa larangan atau pantangan bagi mereka, tak perlu diperpanjang disini.
Sebelum menutup artikel ini, pembaca laman Suaramuslim.net perlu bersyukur dilahirkan dalam keadaan muslim sedari lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang muslim. Entah apa jadinya jika dilahirkan dalam kondisi kafir. Belum tentu kita punya kepedulian dan ketertarikan menelusuri mana agama yang benar dan mencerahkan, seperti yang dilakukan Maurice Bucaille, Martin Lings dan Leopold Werner Von Ehrenfels. Wallahu ’alam.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net