Asal Mula Madinah dan Perkembangannya

Asal Mula Madinah dan Perkembangannya

mengulik tentang kisah jabal uhud
Jabal Uhud di Madinah (Foto: backpackerumrah.com).

Suaramuslim.net – Yasrib, demikian yang kita kenal sebagai nama pertama kota Madinah. Menurut sejarawan kota Madinah, menyebutkan bahwasanya yang pertama kali mendirikan kota tersebut adalah seorang lelaki yang bernama Yasrib. Dia merupakan salah seorang dari keturunan Nabi Nuh ‘alaihis salam, dari generasi keenam atau generasi kedelapan yang memimpin sebuah kabilah, bernama ‘Abiil.

Selanjutnya kawasan tersebut diberi nama dengan nama pendirinya yaitu Yasrib. Hal ini untuk mengapresiasi dan menghargai upaya beliau (Yasrib) sebagai pihak pertama yang memprakarsai berdirinya kota tersebut.

Seiring perjalanan waktu, banyak orang dari berbagai penjuru Jazirah Arab, baik secara individu maupun kelompok mendatangi kota Yasrib.

Satu di antaranya adalah kaum Amalik. Mereka berdatangan, karena wilayah kota Yasrib tanahnya subur, sehingga mereka menetap untuk bermukim di sana dan membangun komunitas (masyarakat) pertanian. Alhamdulillah apa yang dilakukan oleh kaum Amalik yaitu bergerak di bidang pertanian berhasil dengan baik dan sukses.

Dalam perkembangan berikutnya, tepatnya sebelum Masehi, kota Yasrib berada di bawah kekuasaan beberapa kerajaan. Di antaranya kerajaan Mu’in, Saba dan Kildan.

Selama dalam kekuasaan kerajaan tersebut, tidak banyak perubahan dan dinamika serta perkembangan yang dialami oleh penduduk kota Yasrib. Akan tetapi secara ekonomi penduduk kota Yasrib mengalami peningkatan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Di samping itu kota Yasrib menjadi lalu lintas bagi para kafilah yang melintas, sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap pemasukan masyarakat.

Tahun 586 sebelum masehi, sekelompok kaum Yahudi yang diusir oleh Nebukadnezar, tiba di kota Yasrib. Dan setelah itu juga diikuti oleh beberapa kaum lain yang hijrah ke Yasrib. Dan pada tahun 132 Masehi, tiga kabilah dari kaum Yahudi juga masuk ke Yasrib. Ketiga kabilah tersebut adalah Quraidzah, Nadzir dan Qainuqa’. Setelah sampai di Yasrib, mereka menekuni bidang pertanian dan juga bergerak di bidang industri yang mereka kuasai.

Berita kesuburan tanah Yasrib sampai juga ke negeri Yaman. Sehingga pada abad ke-4 Masehi, kabilah Aus dan Khazraj dari Yaman hijrah juga ke Yasrib.

Agar tidak menjadi persoalan bagi penduduk lain yang sudah lebih dulu datang, maka mereka (kabilah Aus dan Khazraj) memilih tinggal di daerah yang belum berpenghuni.

Kebetulan saat itu kaum Yahudi membutuhkan banyak pekerja. Sehingga mereka (kabilah Aus dan Khazraj) direkrut menjadi pekerja untuk dikerjakan di pertanian milik kaum Yahudi.

Dalam beberapa tahun kemudian, kondisi kabilah Aus dan Khazraj semakin membaik terutama secara ekonomi. Kondisi tersebut, membuat gusar kaum Yahudi. Mereka takut tersaingi. Sejak saat itulah muncul benih-benih perselisihan di antara mereka.

Melihat gejala yang tidak baik, maka para petinggi dari kedua belah pihak sepakat mengajak bertemu untuk mengadakan perjanjian yang pada intinya isinya adalah “hidup berdampingan secara damai dan bersama-sama mempertahankan kota Yasrib dari para penjajah.”

Selang beberapa waktu, kaum Yahudi mengkhianati perjanjian yang telah disepakati dan bahkan berusaha melecehkan penduduk Yasrib lainnya serta membunuh beberapa dari mereka.

Melihat kaum Yahudi ingkar janji, maka kabilah Aus dan Khazraj meminta pertolongan kepada kerabat dan sepupu mereka yang berada di negeri Syam dari kabilah Ghasasinah. Maka dikirimlah pasukan oleh kabilah Ghasasinah untuk menumpas kaum Yahudi di Yasrib, dan kekuatan kaum Yahudi dapat dipatahkan oleh kabilah Ghasasinah. Setelah itu mereka kembali membuat kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai.

Lagi-lagi kaum Yahudi membuat ulah mengkhianati kesepakatan yang telah mereka buat bersama. Langkah yang dilakukan oleh kaum Yahudi adalah menyebar fitnah dan permusuhan di antara kabilah Aus dan Khazraj. Kedua kabilah yang masih bersaudara itu terprovokasi dan akhirnya saling serang, maka terjadilah peperangan sengit di antara keduanya dan berlangsung sampai beberapa dekade.

Puncaknya terjadinya perang Bu’ats yang terjadi lima tahun sebelum hijrah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dari peperangan tersebut, kedua belah pihak banyak jatuh korban jiwa.

Setelah mereka lelah terhadap peperangan yang diakibatkan oleh fitnah kaum Yahudi dan musibah yang disebabkan oleh peperangan tersebut, mereka mulai sadar untuk mencari pemimpin yang dapat mewujudkan perdamaian dan keharmonisan di antara kedua belah pihak untuk dijadikan raja.

Aus dan Khazraj hampir saja menobatkan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai raja mereka, namun atas izin Allah, diadakanlah pertemuan dua kabilah yang sedang berseteru itu dengan Rasulullah pada musim haji.

Dalam pertemuan tersebut, hidayah dari Allh datang pada kedua kabilah dan mereka mengikrarkan diri memeluk agama Islam. Dan jumlah mereka terus bertambah pada tahun berikutnya.

Kemudian mereka membai’at Rasulullah pada perjanjian Aqobah pertama, dan pada tahun berikutnya dilanjutkan dengan perjanjian Aqobah kedua yang diikuti oleh beberapa orang dari kedua kabilah yang berseteru tersebut.

Akhirnya mereka mengajak Rasulullah dan kaum muslimin di Makkah untuk berhijrah ke kota Madinah. Melalui perjanjian Aqobah tersebut, awal mula terjadinya persaudaraan dan persatuan antara dua kabilah, yaitu Aus dan Khazraj.

Dari ulasan tentang asal mula kota Madinah dan perkembangannya, banyak hikmah penting yang dapat kita ambil untuk kehidupan sekarang dan akan datang.

Di antara pelajaran penting tersebut adalah:

– Penduduk kota Madinah berasal dari beberapa kabilah yang masing-masing mempunyai karakter dan perwatakan berbeda satu sama lainnya. Sehingga diperlukan sikap toleransi dan tenggang rasa.

– Secara umum kaum yang lebih dahulu mendiami suatu daerah (termasuk Madinah) biasanya ingin menguasasi dan mengatur penduduk yang datang kemudian.

– Biasanya awal mula terjadinya konflik atau perselisihan suatu bangsa, salah satunya dipicu oleh faktor ketidakadilan, utamanya sektor ekonomi.

– Bangsa Yahudi ternyata memang dari zaman dahulu menjadi bangsa yang menjadi sumber dari lahirnya konflik, karena kelicikannya dan sering ingkar janji terhadap kesepakatan yang telah dibuat.

– Kita harus waspada dan peka terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh pihak lain (contohnya kaum Yahudi), karena bisa jadi informasi tersebut sengaja dihembuskan untuk mengadu domba satu sama lain, agar berkonflik. Dan setelah itu terjadi, maka mereka yang mengambil manfaat.

– Kita harus sadar untuk menyelesaikan konflik atau apapun persoalan, maka kita harus mencari akar permasalahan terlebih dahulu. Dan di samping itu yang terpenting mereka yang berkonflik harus mempunyai keinginan untuk mengakhiri konflik itu sendiri dengan tidak saling menyalahkan.

– Rasulullah mampu menjadi perekat dari pihak-pihak yang berkonflik, bukan karena kekerasan. Akan tetapi karena tutur kata dan sikap yang baik (akhlak mulia).

Semoga kita mampu mengambil pelajaran dari ulasan di atas.

Akhirnya kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas bimbingannya agar kita menjadi manusia yang bijak dalam menyelesaikan persoalan umat.

Washil Bahalwan
Ketua Lazis Yamas Surabaya dan pemerhati sosial

Sumber tulisan: Al–Madinah Al–Munawwarah Research & Studies Center, 2013, King Fahd National Library Cataloging In Publication Data.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment