Suaramuslim.net – Sholat jama’ah ternyata juga mengajarkan bagaimana aturan keluar dari organisasi. Dalam sholat jama’ah, dikenal istilah mufaraqoh. Secara bahasa, kata mufaraqah berarti menceraikan, meninggalkan. Dengan demikian, pengertian mufaraqah dalam sholat adalah perbuatan makmum yang keluar dari sholat jama’ah dan berniat berpisah, baik karena udzur maupun tidak.
Beberapa Kasus yang berkaitan dengan mufaraqah terjadi di zaman Kanjeng Nabi saw. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut ini.
Muadz bin Jabal biasa sholat isya’ bersama Rasulullah saw. kemudian pulang ke kaumnya, Bani Salamah, dan sholat (lagi) mengimami mereka. Suatu ketika Rasulullah saw. mengakhirkan sholat isya’ dan Muadz ikut sholat berjama’ah, kemudian dia pulang untuk mengimami kaumnya. Muadz mulai membaca surat Al Baqarah, sehingga seseorang yang berada di belakang mengundurkan diri lalu sholat sendirian. Usai sholat, orang-orang menuduhnya, ‘Kamu telah berbuat nifak’. Orang itu menjawab, ‘Saya bukan munafik, tetapi saya mendatangi Rasulullah saw. dan melaporkan kepada beliau’.Orang itu mendatangi Rasulullah saw untuk mengadu, ‘Ya Rasulullah saw, Anda telah mengakhirkan sholat isya’ tadi malam. Dan Muadz ikut sholat bersama Anda. Kemudian dia kembali dan mengimami kami. Tetapi dia membaca surat Al Baqarah, sehingga Aku mengundurkan diri dan sholat sendirian. Hal itu karena kami kaum pekerja yang menggunakan kedua tangan kami.Maka Rasulullah saw. pun menoleh kepada Muadz sambil bertanya, ‘Apakah kamu bikin fitnah wahai Muadz? Apakah kamu bikin fitnah? Cukup baca sabbihisma rabbikal a’la, wassama’i wath-thariq, wassama’i dzatil buruj, wasy-syamsi wadhuhaha, wallaili idza yaghsya dan sepadannya’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas selain mendiskusikan perlunya Imam memahami kondisi makmum, juga menunjukkan bolehnya keluar dari jama’ah karena sesuatu hal. Dari pendapat para ulama fiqh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka sepakat membolehkan adanya mufaraqah dengan syarat adanya udzur. Udzur mufaraqah yang dimaksud adalah:
- Imam mengalami sesuatu yang membatalkan sholatnya, dan makmum mengetahuinya; atau
- Makmum jatuh sakit saat sholat; atau
- Imam terlalu lama dalam bacaannya, takut dan khawatir akan terjadinya bahaya dan kehancuran pada jiwa dan harta benda
Namun ada kondisi lain dimana hukum keluar dari jama’ah menjadi beda. Dari kitab Kasyfun Niqob disimpulkan beberapa hal bahwa terdapat lima hukum dalam memutus sholat jama’ah dengan imam, di antaranya:
- Wajib, contoh misalnya makmum melihat imamnya melakukan hal yang membatalkan sholat.
- Sunah, sebab imam meninggalkan sunah maqsudah.
- Mubah, misalnya imam memanjangkan sholat
- Makruh, dengan tanpa adanya udzur, dapat menghilangkan keutamaan jama’ah.
- Haram, jika syi’ar Islam terhenti karenanya, atau karena sifat jama’ahnya wajib seperti sholat jum’at.
Bila dikaitkan dengan ajaran berorganisasi, maka bawahan boleh keluar dari organisasi bila:
- Terjadi ‘permasalahan’ dengan pemimpin, seperti pemimpin tidak kompeten, ataupun terjadi perbedaan pendapat yang mendalam, dan lain-lain. Dalam hal ini, telah banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh mazhab Syafi’i seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Asnal Mathalibdan lain-lain.
Dalam Asnal Mathalib disebutkan, “Dan tidak (sah) bermakmum dengan orang yang tidak dapat membaca surat Al Fatihah sesuai dengan makhraj atau tasydidnya karena mengendornya lidahnya, meskipun dalam sholat imam tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara, karena sesungguhnya imam menjadi penanggung jawab Fatihah makmum. Oleh karena itu, orang ini (yang tidak mampu membaca Fatihah dengan baik) tidak layak untuk hal tersebut.”
Cara mufaraqah yang baik dan tidak membuat gejolak dalam sholat jama’ah menurut beberapa ulama adalah dengan tetap menjaga dan mengatur ritme sholat seperti ritme imamnya, agar nantinya gerak gerik dan bacaan tetap bersamaan dengan imam sampai selesai sholat. Hal ini mengajarkan pentingnya menjaga keutuhan organisasi, walaupun sudah tidak sejalan dengan pemimpin.
- Bawahan memiliki halangan seperti sakit atau permasalahan keluarga yang mendesak, dan lain-lain.
Bagian ini juga sejalan dengan konsep organisasi yang disampaikan oleh Jenderal George Patton, yakni “Lead, follow, or get out of the way” (Robbins, 2001). SJbM memberikan sinyal diperbolehkannya keluar dari suatu organisasi, terutama bila pimpinan bukanlah pimpinan yang kompeten, namun diharapkan aktivitas yang bersangkutan tidak mengganggu dan mengajak/menghasut jama’ah lain dan tidak anarkis.
Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya