Suaramuslim.net – Tersebutlah dalam salah satu halaman karyanya, “Tabyinu Kidul Muftari fima Nusriba lil Imam Abi Hasan al-Asy’ari”, Ibnu Asakir (Abu al-Qasim al-Hafidz Tsiqatuddin Ali al-Dimasyqi asy-Syafi’i) bercerita:
“Semenjak dahulu ulama-ulama Hanbali selalu meminta tolong kepada ulama-ulama Asy’ari dalam menghadapi pelaku-pelaku bid’ah, karena merekalah yang ahli dalam ilmu kalam. Maka siapa pun dari Hanbali yang berbicara melawan pelaku bid’ah, pada hakikatnya ia berbicara dengan lisan Asy’ari dan sesiapa pun yang telah berhasil membahas sesuatu masalah dalam ushuluddin, pada dasarnya dari ulama-ulama Asy’arilah ia belajar.”
Dr Majid Irsan Kaylani (2009) menyampaikan cerita di atas dalam karyanya, “Hakadha Zahara Jailu Shalahu al-Din wa Hakadha ‘Adat al-Quds” (terjemah Malaysia: “Kebangkitan Generasi Salahuddin dan Kembalinya al-Aqsha ke Pangkuan Islam”). Pada buku yang sama, Dr Kaylani menuliskan pula cerita lain:
Pada tahun 521 H, salah seorang tokoh terkenal dari mazhab Asy’ari, Abu Fath al-Isfiraini, ke kota Baghdad. Dia mengambil masjid sebagai tempat memberi pelajaran dan nasihat. Banyak sekali orang berkumpul di sekelilingnya untuk mendengarkan pelajaran dan nasihat, dan banyak pula di antara mereka yang terpengaruh olehnya.
Situasi tersebut membuat para pengikut mazhab Hanbali marah, maka berkumpullah mereka lalu masuk ke dalam masjid di mana Abu Fath sedang memberi pelajaran, dan menyerbunya. Kemudian mereka keluar ke jalan-jalan sambil meneriakkan kata-kata, “Ini adalah hari kemenangan Hanbali, bukan Syafi’i dan bukan pula Asy’ari!”
Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Asy’ari tak pernah anjurkan adab memenggal kehormatan Muslim berbeda pandangan mazhab. Sayangnya, selepas mereka tiada, kegaduhan akibat persengitan sesama saudara seiman tak terelakkan. Dan hari ini, semangat kesumat dengan fondasi ashabiyyah masih kokoh. Meski bersungut marah kalau kita sematkan kepada pelakunya. Meski bernada tegas mendaku peniti jalan Salafush-Shaleh; meski berlanggam tandas sebagai pemangku Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah—selalu ada fragmen kekerasan bahasa dan pudarnya adab. Diperbuat oleh para sosok beratribut ulama anutan mazhab ataupun manhaj.
Hari ini dan di sini, saat kita masih jadi mayoritas tak disegani oleh para pemusuh risalah Ilahi, retakan ukhuwah itu seolah enggan ditambal. Memilih bersuara sengit membinatangi ataupun mencibir bid’ah saudara seiman hanya karena menempuh jalan berbeda. Saat berdiam untuk tidak memvonis, memfatwa, saudara seiman begitu sukar ketimbang panggilan merapat kepada kekuasaan yang masih hadirkan syubhat adab.
Sekadar ada Muslimin ingin bersilaturahim, berkumpul dalam tajuk reuni 212, banyak saudara seimannya belingsutan. Menuding dengan sangkaan tidak-tidak hingga keluar ragam komentar dan vonis tidak patut. Dari yang menghukumi anasir pengganggu keamanan hingga soal Khawarij. Awalnya politik, memetik nash agama, ditunjuklah penuh kesumat Muslimin yang hendak menyampaikan aspirasi. Bahasan keras hari ini, yang menyedihkan, diteladankan pula oleh para penguasa negeri dan lingkarannya. Dari soal sontoloyo, genderuwo, sampai tabok; bahasa-bahasa jauh dari adab dan pikiran jernih.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net