Suaramuslim.net – Selama 13 tahun di Makkah, walaupun belum memiliki kekuatan untuk memakmurkan Masjid, peran-peran dakwah melalui masjid atau pemberdayaannya, begitu gencar dilakukan nabi bersama sahabat-sahabatnya. Kisah seperti diganggunya nabi ketika sujud, dengan isi kotoran unta oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’aith (yang diprovokasi Abu Jahal), atau dipukulnya Ibnu Mas’ud ketika membaca Al Quran, adalah wujud nyata bahwa beliau sangat dekat dengan masjid.
Abu Dzar al-Ghifari, saat pertama kali mencari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, lokasi yang dicari pertama kali adalah Masjidil Haram. Bahkan, saat memeluk Islam di hadapan nabi, sahabat asal Ghifar ini mengumumkan syahadatnya di hadapan orang kafir Quraisy di Masjidil Haram. Kesaksiannya ini, membuatnya babak belur di tangan orang Quraisy. Meski demikian, paling tidak Abu Dzar sudah meretas kebangkitan melalui masjid.
Saat Utbah bin Rabi’ah menawarkan hal yang menggiurkan kepada nabi, saat itu nabi sedang shalat di Masjidil Haram. Seusai shalat, baru beliau dirayu dengan berbagai tawaran duniawi. Semua yang disampaikan oleh ‘Utbah di masjid, didengarnya dengan baik. Setelah itu beliau berdakwah dengan bahasa yang santun kepada ‘Utbah dengan membacakan surah Fushhilat (1-14). Sebenarnya ‘Utbah tertarik dengan dakwah yang disampaikan nabi, tapi karena kegengsiannya, maka dakwah nabi ditolaknya.
Pada tahun ke-enam kenabian, Hamzah bin Abdul Muthallib menyatakan keislamannya di hadapan Abu Jahal ketika di Masjidil Haram. Sahabat yang berjuluk Asadullah (Singa Allah) ini tidak terima atas perlakuan Abu Jahal, ketika di Shafa, terhadap keponakannya (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam) yang merendahkan, menghina, bahkan memukulnya sampai bercucuran darah.
Tiga hari setelah keislaman Hamzah, Umar bin Khattab pun memeluk Islam di hadapan Rasulullah di rumah Arqam bin Abi Arqam. Setelah itu beliau meminta izin kepada nabi untuk shalat secara terang-terangan di Masjid. Bersama Hamzah ia berangkat ke Masjidil Haram dengan membawa dua shaf sahabat. Apa yang dilakukan Umar dan Hamzah tentu saja menunjukkan kebangkitan Islam saat di Makkah. Pada waktu itu kaum kafir Quraisy begitu berduka atas keislaman kedua orang tersebut. Ibnu Mas’ud, sampai memberi komentar khusus atasnya, “Kami menjadi ‘aizzah (mulia, terhormat, kuat) sejak keislaman Umar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan, “Kami baru bisa shalat dengan leluasa di Masjidil Haram sejak keislaman Umar bin Khattab.” (Ibnu Hisyam, 1375: I/342).
Sekembalinya dakwah dari Thaif yang mengalami penolakan keras, melalui suaka Muth’im bin ‘Addi yang dilakukan Rasulullah pertama kali adalah memasuki Masjidil Haram sembari tetap berdakwah. Kendati nabi dan para sahabatnya begitu dipersempit aksesnya dalam mengelola masjid, namun mereka tidak pernah menyerah. Di antara puncak peristiwa yang terjadi di Makkah adalah kejadian Isra dan Mi’raj. Kisah ini secara implisit menegaskan betapa pentingnya peran masjid.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha untuk selanjutnya ke langit ke-tujuh hingga Sidratul Muntaha, yang mendapat perintah agung berupa: shalat lima waktu. Perintah shalat ini begitu pentingnya sampai-sampai perintahnya langsung turun dari Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti yang sudah maklum, wadah untuk menunaikan shalat adalah masjid. Maka tidak mengherankan jika masjid menjadi prioritas nabi saat tiba di Madinah.
Pada saat ayat tentang diperjalankannya nabi dari Masjidil Haram dan Aqsha (QS Al-Isra [17] : 1) ini turun, mungkin kebanyakan orang belum menyangka bahwa kebangkitan Islam pasca nabi wafat benar-benar melampaui wilayah Palestina dan sekitarnya. Ternyata, pada kekhilafaan Umar bin Khattab, kebangkitan Islam sudah melampaui al-Quds, Palestina. Bahkan, setelah beliau kebangkitan Islam bertambah meluas ke seantero dunia.
Muhammad Ghazali dalam Fiqh al-Sīrah (1427: 142) memberi catatan menarik mengenai isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, “Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam tahu perjalanan ini menunjukkan bahwa risalahnya akan tersebar ke penjuru dunia, menempati lembah-lembah subur yang dikelilingi sungai Nil dan Eufort, dan mencabut kekuasaan Majusi Persia, dan Trinitas Romawi.”
Semua itu, tentunya setelah izin dan rahmat Allah, tidak lepas dari pemberdayaan masjid.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono