Pesantren Tidak Boleh Dipisahkan dari Proses Demokrasi

Pesantren Tidak Boleh Dipisahkan dari Proses Demokrasi

Pesantren Tidak Boleh Dipisahkan Dari Proses Demokrasi
Ilustrasi: Salah satu adegan film Sang Kiai. (Foto: istimewa])

Penulis: Zubed Harfi

Suaramuslim.net – Ada yang menarik dari sikap para masyayikh, ulama, habaib, dan tokoh-tokoh agama dalam pesta demokrasi pemilihan presiden kali ini. Saya melihatnya sebagai sikap kesantunan dan akhlak mulia yang ditunjukkan oleh para ulama kita.

Seorang tokoh sentral, figur panutan yang sangat unik dari pesantren adalah “kiai”, ini yang berbeda dari lembaga pendidikan mana pun. Pesantren ada, karena ada kiainya, bukan pesantrennya dulu dibuat baru dicarikan orang yang ditunjuk sebagai kiai/pengasuh. Dalam tradisi pesantren ini kurang tepat, karena keberadaan kiai mempunyai makna dan filosofinya yang sangat dalam sekali. Saya tidak membahasnya di sini.

Kembali ke topik pilpres!
Pesantren-pesantren di Indonesia, tentu tidak boleh dilarang terlibat dalam proses demokrasi, karena pesantren bagian penting dari masyarakat, bahkan sejarah republik ini menempatkan pesantren sebagai basis dari perjuangan kemerdekaan. Dari pesantren ruh dan kecintaan kepada tanah air ini ditanamkan. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa orang pesantren lebih mengerti tentang NKRI dan bagaimana mencintai republik ini.

Berbeda dari pilpres tahun 2014, kali ini para kiai berbeda-beda dalam menunjukkan dukungannya kepada salah satu paslon capres cawapres. Ada kiai yang secara terang-terangan mendukung bahkan mengeluarkan edaran ajakan kepada para santri, alumni, simpatisan, dan masyarakat untuk memilih calon tertentu. Ini dilakukan oleh salah satu kiai “khos” dan karismatik di Sumenep yaitu KH Thoifur Ali Wafa. Berdasar istikharahnya beliau menyampaikan bahwa Prabowo-Sandi lebih maslahah (lebih banyak unsur positifnya) untuk dipilih di pilpres 2019.

Sikap yang sama dilakukan oleh KH Cholil As’ad, Sukorejo Situbondo, secara khusus beliau juga menulis maklumat untuk memilih dan memenangkan Prabowo-Sandi. Tentu sikap para kiai ini tidak bisa dinilai sebagai keterlibatannya dalam politik praktis semata, tapi lebih jauh dari itu, para kiai ini tidak secara gegabah membuat pernyataan kecuali telah melalui proses panjang, dan tentu dengan istikharah. Kiai sebagaimana posisinya yang sangat penting lebih jauh berpikir untuk kebaikan Indonesia, lebih-lebih agama, bangsa dan NKRI.

Ada juga para kiai dan masyayikh kita yang tidak secara langsung melakukan deklarasi atau membuat edaran. Beliau menempatkan dirinya sebagai sosok yang bijak dan arif sebagai tokoh pesantren. Beberapa kiai tidak mendeklarasikan dukungan khusus tapi menunjukkan tanda-tanda/kiasan-kiasan dalam tutur dawuh-nya, dan secara khusus menempatkan putera-putera mahkotanya untuk menjadi bagian dari timses pemenangan salah satu paslon. Seperti KH Maimoen Zubair, Sarang Jawa Tengah. Putera beliau, Gus Najih menjadi relawan BKSN (Barisan Kiai-Santri Nahdhiyyin) pemenangan Prabowo-Sandi di Jawa Tengah.

Mbah Moen juga menunjukkan dengan sikap-sikap khusus dan istimewanya saat menerima silaturahim Prabowo Subianto ke pesantren beliau. Sikap itu juga ditunjukkan oleh Abuya KH Mahfudz Sobari, Pesantren Riyadhul Jannah Pacet Mojokerto. Beliau tidak secara langsung memberi maklumat dukungan tapi putera mahkotanya, Gus Yusuf Misbah, menjadi Ketua Relawan SAPA (Sahabat Prabowo Sandi) Jawa Timur.

Hemat saya, ini menunjukkan ketawadhuan dan keta’ziman para kiai kepada salah satu cawapres yang juga dari kalangan kiai, yaitu KH Ma’ruf Amin, yang juga sama-sama tokoh panutan kita.

Ada juga pesantren yang tetap menunjukan sikap netral dengan prinsip “berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Sikap ini ditunjukkan oleh beberapa pesantren modern seperti PP. Al-Amien Prenduan Madura, Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Ini juga unik, tapi kalau kita telusuri lebih dalam tentu akan menemukan hal-hal menarik sebagai petunjuk kepada para santri dan alumni, bagaimana seharusnya memilih.

Tidak perlu saya masuk terlalu dalam untuk melihat fenomena dukungan pesantren dalam pesta demokrasi ini, tapi harus kita akui dan kita tegaskan bahwa pesantren harus menjadi bagian dari proses demokrasi dan perbaikan negeri ini ke depan.*

Ditulis di Surabaya, 30 Oktober 2018

*Pegiat Santripreneur
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment