Suaramuslim.net – Pengobatan ruqyah di Indonesia semakin populer. Sudah banyak yang menggunakan penyembuhan ala nabi ini. Masalahnya, bagaimana cara menentukan ruqyah yang sesuai dengan syariat dan yang bukan? Untuk mengetahui jawabannya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Ruqyah dikatakan sesuai syariat jika memenuhi tiga syarat. Syekh Muhammad bin Yusuf Al-Jaurani dalam buku “al-Ruqyah al-Syar’iyyah” (89-90) menyebutkannya sebagai ijma’ ulama.
Pertama, hendaknya dengan Al Quran atau dengan asma dan sifat-Nya.
Kedua, dengan berbahasa Arab atau yang bisa dimengerti maknanya. Bukan dengan lafal-lafal yang yang tak dimengerti. Sebagaimana jampi-jampi, jimat atau mantra yang dipakai dukun.
Ketiga, berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan pada dasarnya bukan pengobatannya itu sendiri tapi karena kehendak Allah. Orang yang meruqyah hanya sebagai sebab.
Berikut ini, ada beberapa pendapat ulama yang menguatkan tiga syarat tersebut. Rabi’ rahimahullah pernah bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah mengenai pengobatan ini; lalu dijawab, “Tidak mengapa meruqyah dengan kitab Allah (Al Quran) dan dengan zikir-zikir yang makruf.” (al-Umm: VII/228)
Sedangkan al-Khattabi rahimahullah pernah berkata, “Ruqyah dengan Al Quran dan asma dan sifat Allah adalah mubah (boleh). Yang dimakruhkan adalah ketika menggunakan bahasa yang selain Arab yang bisa mengakibatkan kekafiran dan mengandung perkataan yang disisipi kesyirikan.” (A’lām al-Hadīts: II/1112)
Sedangkan Imam Al-Qurthubi rahimahullah menandaskan, “Jika ruqyah dengan dua surat perlindungan (An Nas dan Al Falaq) yang merupakan bagian dari Al Quran dibolehkan, maka ruqyah dengan seluruh Al Quran sama dengan keduanya dalam hal kebolehannya; karena semuanya Al Quran.”
Lebih jauh Ibnu Abdul Barr rahimahullah mengatakan, “Hukum mengusir setan dengan bacaan (Al Quran), dzikir dan azan (boleh) dalilnya terdapat pada banyak riwayat.” (al-Tamhīd: 19/46) Adapun Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Ruqyah dengan ayat-ayat Al Quran dan dzikir-dzikir yang makruf, tak dilarang tapi sunnah.” (Syarh Muslim: XIV/168).
Pendapat lain, “Jika ruqyah menggunakan Al Quran dan dzikir kepada Allah,” kata Imam al-Baghawi rahimahullah, “hukumnya boleh dan dianjurkan.” (Syarh al-Sunnah:XII/159) Sedangkan Syekh Islam Ibnu Taimiyah menambahkan, “Ulama Islam melarang ruqyah yang tak dipahami maknanya karena rentan maruk kategori syirik, meskipun yang meruqyah tak mengerti bahwa itu syirik.” (Īdhāh al-Dilālah: II/103)
Dalam buku “al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (Ensiklopedi Fikih Kuwait) ada juga pernyataan senada, “Jika ruqyah atau perlindungan Arab dan tak dimengerti maknanya, bisa rentan masuk kategori sihir, kufur dan lain sebagainya yang tak dimengerti maksudnya, maka saat itu hukumnya haram. Pendapat ini dikemukakan secara jelas oleh Al-Khattabi, Baihaqi, Ibnu Rusyd, Izz bin Abdussalam dan beberapa ulama Syafi’iyah dan lain-lain.”
Sebagai tambahan, dalam kitab “al-Syarh al-Shaghīr” dikatakan, “Tidak boleh meruqyah dengan nama-nama yang tak dikenal maknanya.” Imam Malik menjelaskan alasannya: “Bisa jadi kamu tidak tahu kalau ternyata itu mengandung kekafiran.” (al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah: XIII/ 24)
Dari beberapa pendapat ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengobatan ini dikatakan sesuai syariat jika menggunakan Al Quran, asma dan sifat Allah; berbahasa Arab dan yang dimengerti maknanya dan meyakini kesembuhan hanya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono