Suaramuslim.net – Dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan, selain menunaikan kewajiban, tentunya juga berharap pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, jika ada suami istri yang berjima’ saat puasa, bagaimanakah hukumnya? berikut penjelasannya.
Tanya
Assalamualaikum
Ustadz Junaidi Sahal, orang yang batal puasanya karena berhubungan suami istri, apa kewajiban yang harus dia lakukan untuk mengganti puasanya?
Teknis/cara pelaksanaannya bagaimana ustadz?
Jawab
Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
بِسْـــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــمِ
Memang benar suami istri yang “berhubungan” di siang hari di bulan Ramadhan, mendapat kafarat sebagaimana hadis;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka!” Beliau menjawab, “Ada apa denganmu?” Dia berkata, “Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi: aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Beliau bertanya lagi: “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi? “Dia menjawab, “Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian berkata: “Berilah makan keluargamu!” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadis di atas, dipahami kafaratnya ada 3 pilihan;
1. Memerdekakan budak
2. Puasa dua bulan berturut turut
3. Atau memberi makan 60 orang miskin
Siapa yg membayar kafarat?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Dalam Fikih Sunnah Dr. Sayid Sabiq menyatakan,
ومذهب الجمهور: أن المرأة، والرجل سواء، في وجوب الكفارة عليهما ما داما قد تعمدا الجماع، مختارين، في نهار رمضان (٢) ناويين الصيام
“Mazhab jumhur, berpendapat istri dan suami keduanya membayar kafarat, selama mereka berdua melakukan suka sama suka. Ditambahkan oleh beliau, jika suami yang memaksa, maka hanya suami yang bayar kafarat” (Sudah tentu tidak sebaliknya).
فإن أكرهت المرأة من الرجل، أو كانت مفطرة لعذر وجبت الكفارة عليه دونها
ومذهب الشافعي: أنه لا كفارة على المرأة مطلقا، لافي حالة الاختيار، ولافي حالة الاكراه
وإنما يلزمها القضاء فقط
قال النووي: والاصح – على الجملة – وجوب كفارة واحدة عليه خاصة، عن نفسه فقط، وأنه لاشئ على المرأة، ولا يلاقيها الوجوب، لافه حتى مال مختص بالجماع، فاختص به الرجل، دون المرأة، كالمهر
Menurut Imam Asy Syafii; tidak wajib kafarat bagi istri secara mutlak.
Imam Nawawi berkata: “Yang lebih kuat menurut kesimpulannya adalah hanya diwajibkan membayar satu kafarat yaitu khusus atas pihak diri suami, sedangkan wanita tidak perlu mengeluarkan apa pun dan tidak dibebani kewajiban, karena kewajiban itu merupakan kewajiban mengenai harta yang khusus dibebankan kepada pihak laki-laki semata, tidak wanita seperti halnya mahar”. (Lihat Fikih Sunnah Dr. Sayid Sabiq)
So.. Apa yang diungkap Imam Syafii adalah yang terpilih, kenapa?
1. Makna lahir/teks hadis di atas perintahnya kepada suami
2. Bukankah yang memberi nafkah adalah suami
Wallahu A’lam