Suaramuslim.net – Isu dugaan korupsi dalam pembagian kuota tambahan haji 2024 membuka perdebatan baru dalam tata kelola ibadah haji. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti adanya manipulasi pembagian kuota, aliran dana, hingga indikasi tindak pidana pencucian uang.
Namun di balik pusaran kasus ini, ada satu pihak yang ikut terseret stigma, yaitu: Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Pertanyaan yang menarik untuk dijawab dan dianalisis adalah: apakah PIHK patut disalahkan dalam kasus ini?
Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kerangka hukum, posisi kelembagaan, dan peran PIHK dalam konteks penyelenggaraan haji, serta membedakan antara tanggung jawab administratif dan tindak pidana.
Kerangka hukum penyelenggaraan haji khusus
Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi dasar hukum yang mengatur seluruh mekanisme kuota haji (di tahun 2024, tahun dugaan terjadinya indikasi korupsi).
Dalam pasal 64, ditegaskan komposisi kuota pokok, yaitu: 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Sementara Pasal 9 menegaskan bahwa jika terdapat kuota tambahan dari Kerajaan Arab Saudi setelah kuota pokok ditetapkan, maka Menteri Agama berwenang untuk menetapkan alokasi kuota tambahan tersebut.
Dengan demikian, PIHK pada prinsipnya tidak memiliki kewenangan menetapkan, membagi, atau mengatur kuota. PIHK hanya menerima alokasi kuota yang ditetapkan Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama (KMA).
Dari perspektif hukum administrasi negara, PIHK adalah pihak pelaksana kebijakan, bukan pengambil kebijakan.
Posisi PIHK: Antara pelaku usaha dan mitra pemerintah
PIHK berfungsi sebagai penyedia jasa penyelenggaraan haji khusus yang sah, berdasarkan izin yang diberikan oleh Kementerian Agama. Dalam menjalankan peran ini, PIHK memiliki kewajiban:
(1). Memastikan pelayanan kepada jamaah sesuai standar yang ditentukan Kemenag.
(2). Mengelola administrasi keberangkatan, akomodasi, dan bimbingan ibadah.
(3). Memberangkatkan jamaah sesuai dengan kuota resmi yang diberikan.
Dengan kata lain, PIHK lebih tepat disebut sebagai “mitra operasional” pemerintah, bukan aktor politik kebijakan kuota. Sehingga ketika terjadi kebijakan kuota tambahan 2024 (20.000 jamaah), PIHK hanya menerima realokasi tersebut sebagai “fakta administratif” yang harus mereka jalankan dalam konteks bisnis dan pelayanan ibadah haji khusus.
Argumen mengapa PIHK tidak bisa disalahkan
Ada sejumlah alasan akademik dan normatif mengapa PIHK pada umumnya tidak bisa disalahkan secara langsung dalam kasus kuota tambahan:
Pertama; Kewenangan ada pada Menteri Agama: Pasal 9 UU No. 8/2019 menyebutkan secara eksplisit bahwa kuota tambahan adalah kewenangan Menteri Agama. PIHK tidak memiliki ruang menentukan komposisi, siapa penerima, dan bagaimana distribusi awalnya. Jika terjadi dugaan penyimpangan dalam alokasi, maka titik awal pertanggungjawaban berada di level pembuat keputusan, bukan penerima keputusan.
Kedua; PIHK bekerja berdasar asas legalitas: Sebagian besar PIHK menjalankan operasionalnya berdasarkan dokumen resmi: SK kuota, KMA, hingga surat edaran teknis dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Dengan adanya dasar hukum formal, PIHK secara objektif menjalankan amanah negara. Menyalahkan PIHK sama saja dengan menuntut mereka melawan dokumen resmi yang dikeluarkan Kemenag.
Ketiga; Tidak otomatis menimbulkan kerugian negara: PIHK adalah badan usaha yang memperoleh keuntungan dari jasa layanan. Dana yang mereka terima bukan dari APBN, tapi dari pembayaran langsung jamaah. Maka, keterlibatan PIHK dalam menerima jamaah kuota tambahan tidak serta-merta menimbulkan kerugian negara. Kecuali ada bukti aliran dana ilegal dari PIHK ke pejabat Kemenag. Dengan demikian maka tuduhan pidana tidak bisa serta merta diarahkan kepada PIHK.
Keempat; Asas kepatutan dalam pelayanan: Dalam logika bisnis jasa, PIHK justru menjalankan kewajiban mereka, yaitu melayani jamaah yang telah terdaftar sesuai kuota tambahan yang disahkan pemerintah.
Situasi yang menimbulkan kerancuan
Meski demikian, bukan berarti PIHK steril sepenuhnya dari risiko hukum. Ada dua situasi yang bisa menyeret PIHK, yaitu: Pertama; Jika ada PIHK yang secara aktif “membeli” kuota tambahan lewat jalur informal dengan memberikan fee kepada oknum. Kedua; Jika PIHK mengetahui adanya pelanggaran hukum dalam distribusi kuota, namun tetap berpartisipasi secara sadar untuk memperoleh keuntungan.
Analisis hukum: Tanggung jawab administratif vs pidana
Dalam kerangka hukum administrasi negara, PIHK dapat dimintai pertanggungjawaban bila melanggar standar pelayanan, misalnya: gagal menyediakan akomodasi yang dijanjikan, memberangkatkan jamaah di luar kuota resmi, atau tidak memenuhi ketentuan perlindungan jamaah. Namun dalam kerangka hukum pidana korupsi, keterlibatan PIHK harus diuji dengan ketat, yaitu:
(1). Apakah PIHK melakukan perbuatan melawan hukum?
(2). Apakah ada niat memperkaya diri secara ilegal?
(3). Apakah tindakannya menimbulkan kerugian negara?
Jika ketiga unsur ini tidak terpenuhi, maka PIHK tidak dapat serta-merta diposisikan sebagai pelaku tindak pidana.
Pentingnya edukasi dan perlindungan PIHK
Kasus kuota tambahan haji 2024 mengandung pelajaran penting bagi PIHK:
Pertama; Edukasi Hukum: PIHK perlu memahami detail regulasi, termasuk Pasal 9 UU 8/2019 dan implikasinya.
Kedua; Kepatuhan Administratif: Semua transaksi, kontrak, dan dokumen harus terdokumentasi rapi untuk menghindari tuduhan aliran dana ilegal.
Ketiga; Asosiasi PIHK sebagai tameng: Asosiasi harus tampil sebagai pihak yang melindungi anggotanya dari stigma publik, sekaligus memberi arahan agar tidak ada praktik di luar aturan.
Keempat; Kemitraan Transparan: Hubungan dengan Pemerintah (Kemenag, sekarang Kemenhaj) perlu dibangun berbasis transparansi agar PIHK tidak terjebak sebagai “kambing hitam” kebijakan.
Kasus kuota tambahan haji 2024 memang menimbulkan kegaduhan publik. Namun penting ditegaskan bahwa: PIHK pada umumnya hanyalah pelaksana teknis dari keputusan pemerintah, bukan pengambil keputusan politik kuota. Menyalahkan PIHK secara menyeluruh sama saja dengan mengaburkan locus persoalan yang sebenarnya.
Pertanggungjawaban pidana harus diletakkan di tempat yang tepat: pejabat publik yang menetapkan kebijakan dan pihak-pihak yang terbukti menerima aliran dana ilegal.
Sementara PIHK yang patuh pada prosedur dan hanya menjalankan tugas pelayanan seharusnya diberi perlindungan hukum dan kepastian regulasi. Dengan pemahaman ini, kita bisa membangun perspektif yang adil: menegakkan hukum tanpa mengorbankan pihak yang sejatinya hanya melaksanakan amanah regulasi.
Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Ketua Litbang DPP Amphuri
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.