Blangko E-KTP Kosong Dijual Bebas, Kriminalitas atau Politis

Blangko E-KTP Kosong Dijual Bebas, Kriminalitas atau Politis

Blangko E-KTP Kosong Dijual Bebas, Kriminalitas atau Politis
Dr Hufron dalam talkshow Ranah Publik di Suara Muslim Surabaya93.8 FM, Senin (10/12/2018)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Blangko e-KTP asli dengan spesifikasi resmi milik pemerintah bisa beredar di pasaran. Padahal, blangko e-KTP tidak boleh bocor karena merupakan dokumen negara yang memuat data identitas WNI yang sudah memiliki hak pilih di pemilu. Adanya blangko kosong e-KTP yang dijual bebas di pasaran menyiratkan bahwa pemerintah gagal memahami KTP yang merupakan nyawa bagi rakyat. Bagaimana persoalan ini jika ditilik dari sisi hukum dan proses politik yang sebentar lagi memasuki tahun pileg dan pilpres?

Perlunya Audit E-KTP

Dosen Pasca Sarjana Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Dr. Hufron, S.H., M.H dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (11/12) mengatakan, persoalan penjualan blangko e-KTP tentu persoalan pidana yang akan berimbas ke ranah politik. Dari blangko yang dijual di pasaran maka dapat membuat e-KTP palsu yang digunakan berbagai kepentingan dalam pemilu, di antaranya verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Maka banyak potensi kerugian yang akan muncul akibat pemalsuan e-KTP. Imbasnya tak hanya terkait isu politik, hukum, dan demokrasi semata, melainkan terkait erat dengan isu ekonomi dan bisnis.

“Persoalan e-KTP ini bukan hanya persoalan tercecer, blangko yang dijual kosong, tetapi persoalan sejak awal proyeknya saja sudah bermasalah, dari hulu ke hilir, sehingga perlu audit untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah,” ungkapnya.

Hufron menyebut, e-KTP palsu dapat digunakan pemilih tambahan untuk seseorang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan, di satu jam terakhir pemberian suara, atau mulai pukul 12 siang. Jika jumlahnya massif dan terstruktur, tambahan suara dapat luar biasa.

“Saya ingin mengatakan, sepertinya sistem pemilu saat ini dapat menjadikan masyarakat bisa dengan mudah mengikuti pemilu, namun di sisi lain menghalalkan segala cara untuk menang termasuk barangkali memanfaatkan e-KTP menjadi syarat mutlak dalam daftar memilih,” jelasnya.

Menurut pandangan hukum, Hufron menjelaskan, kasus penjual blangko e-KTP di online harus dilihat motif penjualannya. Jika penjual sebatas ingin mempermudah akses dikarenakan di tempat lain kekurangan e-KTP, proses yang lama, sehingga penjualan ini dianggap sebuah alternative, masuk hukum pidana. Akan tetapi jika ada motif lain, misal dukung mendukung atas nama partai politik, hal itu dipastikan melanggar undang-undang pemilu.

“Ada kasus bahwasanya seseorang sudah mendapat e-KTP, tiba-tiba ada sekelompok lain mengantarkan e-KTP kedua dengan tujuan diarahkan untuk mendukung pasangan calon tertentu, terjadi di daerah lain seperti ini,” tutur Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Jawa Timur ini.

“Jika dari daftar pemilih berdasar e-KTP palsu, maka orang akan mempertanyakan bagaimana suatu pemilihan bisa dipercaya sebab berdasarkan daftar yang tidak sah, data yang tidak otentik,” ucapnya.

E-KTP untuk Kecurangan Pemilu?

Menanggapi Hufron, pendengar radio Suara Muslim dari Sidoarjo, Ferry menyebut pihaknya merasa miris soal jual blangko e-KTP dan ujung-ujungnya adalah kecurangan. Buktinya, menurut Ferry, DPT ganda merupakan indikasi KTP yang digunakan ganda, sehingga wajar bila ada protes dari tim pemenangan salah capres oposisi.

“Jika tujuannya sekadar mencari duit harusnya penjual tidak perlu disebarluaskan begitu, karena ini kriminal. Saya kira ini sengaja,” ucapnya melalui sambungan telpon.

Ferry menjelaskan, kasus e-KTP ini bukan hanya saat ini tetapi kesengajaan itu pernah ia alami langsung dengan nama yang sama namun NIK berbeda.

“Saat saya konfirmasi kepada KPU Sidoarjo ternyata berbeda, pasalnya KTP saya yang lama sudah atas nama berbeda. Akhirnya saya membuat KTP baru. Saya tidak mempermasalahkan karena sudah mendapat e-KTP baru, tetapi yang jelas menurut saya ini untuk kecurangan pemilu. Lebih baik Mendagri mundur saja jika tidak bisa mengurus hal seperti ini,” tegasnya.

Mengomentari pernyataan Ferry yang meminta Mendagri mundur, Hufron menyebut seorang pejabat tinggi pemerintahan dianggap gagal apabila kebijakannya tidak sesuai dengan kepentingan umum etika politik yang ada di masyarakat. Namun kebiasaan yang berkembang di tempat kita, jika sudah menjadi masalah hukum baru seseorang pejabat akan mundur, berbeda dengan masalah politik.

“Tetapi ini persoalan etika seorang pemimpin, ada sebuah pesawat jatuh di Jepang, Menteri Perhubungannya mengundurkan diri, namun Jepang berbeda dengan Indonesia,” kisahnya beranalogi.

Hufron mengimbau, untuk mengantisipasi kecurangan pemilu maka masyarakat khususnya petugas di tempat pemungutan suara (TPS) harus turut mengenali warga di sekitar lingkungan, jika ada orang lain yang tidak tinggal di situ datang dan memilih maka harus diwaspadai.

“Karena kita masih belum memiliki alat yang bisa digunakan untuk medeteksi apakah e-KTP yang dibawa asli atau palsu, untuk itu dibutuhkan kepedulian masyarakat agar terus mengawal pemilu,” pungkasnya.

Kontributor: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment