Suaramuslim.net – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memberikan soal sebelum debat Capres-Cawapres bukan hanya lemahnya integritas KPU tetapi merupakan sebuah kemunduran demokrasi. Betapa tidak, debat terbuka seharusnya secara alami dan itulah yang diharapkan publik, sehingga bisa diketahui kualitas pemimpin. Debat terbuka sebagaimana yang diharapkan itu akan mengetahui sejauh mana keluasan wawasan dan penguasaan Capres-Cawapres terhadap persoalan-persoalan bangsa. Namun harapan masyarakat Indonesia tinggal mimpi, di mana dengan adanya bocoran soal itu akan mengerdilkan sang calon pemimpin, dan akan menghilangkan esensi dari debat Capres-Cawapres itu sendiri, yakni lahirnya pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas.
KPU dan Bocoran Soal
Sebagaimana dimuat di berbagai media bahwa KPU akan memberikan soal kepada Capres-Cawapres. KPU berargumentasi bahwa dengan adanya soal itu akan diperoleh jawaban yang matang dan mendalam ketika Capres-Cawapres mendapatkan pertanyaan. Dengan adanya soal itu diharapkan para Capres-Cawapres bisa mempersiapkan diri dan bisa mendiskusikan secara mendalam dari satu persatu soal yang diajukan oleh lawan debatnya. Menurut KPU bahwa jumlah soal yang diberikan kepada Capres-Cawapres cukup banyak, namun hanya tiga pertanyaan saja yang boleh diajukan oleh Capres-Cawapres di setiap sesi.
Bahkan KPU menegaskan bahwa kisi-kisi soal itu untuk menghindari tebak-tebakan yang justru akan mengeluarkan dari substansi debat. Sementara soal yang diberikan tidak bersifat terbuka, di mana semua publik bisa mengetahuinya. Oleh karena itu, KPU menggunakan kombinasi antara soal yang terbuka dan tertutup. KPU juga berargumentasi bahwa dalam debat itu untuk menghindari mempermalukan salah satu calon.
Gagasan pemberian soal ini mengundang kritik karena dengan adanya bocoran soal ini terdapat sejumlah kelemahan mendasar. Di antaranya :
Pertama, memberi kisi-kisi soal otomatis memberi bocoran. Dalam pandangan masyarakat secara umum bahwa memberikan soal sebelum ujian sama saja memberi bocoran. Hal ini bukan hanya memberikan contoh yang buruk tetapi membenarkan tindakan aib yang selama ini dianggap tabu di masyarakat. Siswa setingkat Sekolah Dasar (SD) saja, ketika lagi ujian tidak boleh, bahkan dilarang untuk memperoleh soal sebelum ujian.
Dalam ujian sekolah maupun ujian Nasional pun soal harus tertutup rapi dan steril. Bahkan sebelum ujian, pengawas ujian memperagakan bahwa soal yang terbungkus dalam kertas tertutup, merupakan rahasia negara, terjamin dan tidak pernah dibuka oleh siapapun. Bahkan ketika terjadi soal yang bocor, maka ujian bisa diulang. Kalau pada tingkat perguruan tinggi bukan saja bocoran soal yang diantisipasi, bahkan urusan joki juga diantisipasi sedemikian ketat. Hal ini dalam rangka untuk memperoleh in put seleksi yang bagus, sehingga calon mahasiswa yang masuk benar-benar memenuhi kualifikasi yang baik.
Kedua, hilangnya kecerdasan yang spontan dan alami. Harapan munculnya pemimpin yang benar-benar kapabel dan cerdas secara alami, dengan adanya debat Capres-Cawapres, merupakan keinginan publik. Dengan adanya debat secara terbuka dan alami itu maka akan terlihat mana pemimpin yang benar-benar menguasai masalah dan mampu memberikan jawaban yang logis. Bahkan dengan debat Capres-Cawapres ini maka akan terlihat sosok pemimpin yang benar-benar memberikan harapan positif-visioner atau negatif-palsu. Namun dengan adanya bocoran soal maka Capres-Cawapres hanya mempersiapkan saja yang ada dalam lingkup pertanyaan yang telah dibocorkan itu.
Ketiga, menyederhanakan persoalan. Dengan memberikan soal bocoran sebelum debat Capres-Cawapres maka telah terjadi pembatasan persoalan. Apa yang dilakukan oleh calon pemimpin seharusnya menunjukkan langkah-langkah empirik tentang persoalan bangsa yang sangat komplek ini. Dan lawan debatnya akan menanyakan persoalan yang lebih penting dan mendesak, sehingga debat itu akan lebih menarik dan seru. Namun dengan adanya bocoran soal itu, maka Capres-Cawapres yang ingin mengajukan pertanyaan kritis bukan hanya dibatasi, tetapi juga dianggap melanggar
Kemunduran Demokrasi
Apa yag dilakukan oleh KPU dengan memberikan kisi-kisi soal dalam debat Capres-Cawapres menunjukkan integritas KPU yang lemah. KPU tidak lagi berada di posisi yang netral untuk mewadahi publik untuk mendapatkan calon pemimpin yang cerdas, kapabel, dan memiliki integritas yang baik.
Dalam konteks demokrasi, memberikan kisi-kisi soal merupakan langkah mundur. Betapa tidak, seharusnya dengan adanya debat Capres-Cawapres akan terlihat mana pemimpin yang benar-benar memiliki visi yang jelas dan kerangka berpikir dan konsep yang konkret. Apa yang dilakukan KPU justru mengerdilkan arti demokrasi. Bahkan apa yang dilakukan oleh KPU dicurigai sebagai keberpihakan kepada salah satu calon. Argumentasi KPU bahwa debat itu tidak ingin mempermalukan salah satu calon, merupakan cara berpikir yang salah. Hal ini justru menutup pintu atau menyembunyikan watak asli Capres-Cawapres tertentu.
Betapa tidak, dengan memberikan kisi-kisi soal, maka pertanyaan dan jawabannya lebih banyak normatif daripada yang berdasarkan realitas. Pertanyaan yang otentik, tanpa kisi-kisi soal, menunjukkan bagaimana kualitas sang Capres-Cawapres, dan hal ini akan terlihat bagaimana respon kualitas dan kapabilitas lawan debatnya.
Pertanyaan dan jawaban yang spontan dan otentik, yang tidak didasarkan pada kisi-kisi soal, akan terlihat dengan jelas mana calon pemimpin yang benar-benar cerdas dan mana yang seolah-olah cerdas. Debat Capres-Cawapres esensinya adalah untuk menunjukkan kepada publik bahwa calon pemimpin yang tampil bukanlah pemimpin yang artifisial dan bombastis, tetapi justru terlihat sosok pemimpin yang otentik, visioner, dan problem solver. Di sinilah integritas KPU telah terjual dan ini pertanda kemunduran demokrasi.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net