Suaramuslim.net – Bom yang mengguncang tiga gereja di Surabaya bukan saja menciptakan shock bagi warga Surabaya, tetapi telah mengguncang umat Islam. Dikatakan mengguncang umat Islam, karena penampilan pelaku diidentikkan dan diarahkan kepada umat Islam.
Bom Dan Konflik Antar Umat Beragama
Penampilan umat islam khususnya pria yang berjenggot dan wanita yang bercadar diblow up, sehingga umat Islam langsung sebagai tertuduh. Implikasinya umat Islam merasa tertekan dan merasa ketakutan, karena menjadi sasaran kecurigaan dimanapun berada.
Munculnya operasi dari pihak kepolisian di berbagai sudut kota, pasca terjadinya bom bunuh diri itu, semakin membuat masyarakat semakin takut. Pemeriksaan yang berlebihan terhadap pria berjenggot, celana cingkrang, atau wanita yang bercadar, seolah menguatkan bahwa pelaku bom adalah kaum muslimin.
Di sisi lain, tidak sedikit dari umat Kristen yang langsung menuduh umat Islam sebagai pelaku teror itu. Di media sosial juga muncul hujatan dan kebencian terhadap umat Islam yang mengatasnamakan umat Kristiani bahwa umat Islam adalah agama teror. Secara tidak langsung, disini muncul permusuhan pemeluk agama Kristen terhadap umat Islam, yang dalam skala besar akan muncul gap yang sulit disatukan antara dua kelompok pemeluk agama ini.
Dengan kata lain, dampak buruk dari bom bunuh diri itu akan menciptakan situasi panas dan mereproduksi konflik di masyarakat. Implikasinya, umat Islam terkena dampak langsung dari situasi yang memanas dari bom bunuh diri itu. Kalau umat Islam yang berjenggot dan bercadar beberapa waktu lalu, sebelum terjadinya bom bunuh diri itu, merasa aman dalam beraktivitas, maka saat ini mengalami kegelisahan yang amat mendalam.
Situasi kurang aman diperkuat dengan adanya perintah untuk meliburkan aktivitas sekolah yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan. Dinas pendidikan meminta sekolah untuk meliburkan aktivitas sekolah selama satu minggu. Spirit meliburkan adalah untuk menciptakan rasa aman murid. Tetapi masyarakat menganggap bahwa bahaya terorisme benar-benar mengkhawatirkan, dan stigma kepada umat Islam sebagai pelaku teror bom semakin kuat.
Bom dan Peralihan Topik Pembicaraan
Namun sebagian masyarakat yang terdidik dan melek politik menganggap bahwa bom itu sengaja direkayasa untuk dan target kepentingan tertentu. Salah satunya adalah untuk mengalihkan isu yang saat ini lagi menjadi perhatian dan fokus masyarakat secara luas. Monopoli dan penguasaan aset ekonomi oleh China, banjirnya tenaga asing yang bebas masuk, hingga turunnya nilai tukar rupiah atas dolar menjadi konsumsi besar di masyarakat.
Gema untuk menggulirkan pergantian presiden di tahun 2019 sedemikian luas dan hampir semua komponen dan level masyarakat beropini dan menyuarakannya. Di berbagai media masyarakat membicarakan kegagalan beragam rezim ini karena dianggap gagal dalam kepemimpinannya. Hal ini ditunjukkan adanya daya beli masyarakat yang semakin lemah. Sedemikian parahnya, masyarakat begitu bebas melakukan kritik secara terbuka terhadap kepemimpinan presiden kali ini.
Pandangan masyarakat yang demikian fokus itu dianggap membahayakan bagi kepentingan rezim yang masih ingin terpilih kembali pada pemilihan presiden tahun 2019. Dengan adanya bom di gereja ini, masyarakat terbelah dan berganti haluan untuk tidak membicarakan kepemimpinan di negeri ini. Yang tadinya fokus untuk mengganti presiden, dengan berbagai ide kreatifnya, maka hal itu terhenti.
Masyarakat untuk sementara tidak membicarakan gagasan pergantian presiden. Tidak sedikit anggota masyarakat yang tadinya antusias membicarakan politik kenegaraan, tiba-tiba terhenti dan tidak lagi mendiskusikannya di media-media sosial. Masyarakat mengalami trauma yang mendalam pasca terjadi bom bunuh diri ini.
Phobia Islam dan Konspirasi Global
Dengan adanya bom yang mengancam masyarakat ini, dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengembangkan phobianya terhadap Islam. Sekolah diliburkan menyusul terjadinya bom susulan di beberapa tempat.
Bahkan masyarakat mengalami ketakutan pergi ke luar rumah. Jalanan terasa lengang dan lebih sepi dari biasanya. Untuk memasuki mall atau plaza, kantor pelayanan umum, atau perumahan tidak sebagaimana biasanya. Masyarakat harus mengalami pemeriksaan yang ketat.
Kondisi masyarakat yang terancam ini memberi justifikasi kepada pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Terorisme atau Perpu guna menjaga kondisi negara dalam keadaan aman dan tentram. Kalau selama ini pemerintah berupaya keras untuk segera mengesahkan UU Terorisme guna melegalkan kebijakannya untuk menangkap orang-orang yang diduga membahayakan negara. Dengan UU Terorisme itu negara memiliki wewenang langsung untuk menangkap seseorang atau kelompok masyarakat yang dianggap menciptakan distabilitas negara, tanpa melalui pengadilan yang normal terlebih dahulu.
Yang berani bersuara kritis terhadap rezim kali ini adalah umat Islam, sehingga untuk meredam daya kritis umat Islam ini adalah dengan menciptakan kegaduhan. Format kerusuhan yang diciptakan adalah yang memberi efek jerah bagi umat Islam.
Bom di tiga gereja dan kantor polisi merupakan pilihan untuk menciptakan ketakutan bagi umat Islam. Dengan adanya bom gereja itu, dan disupport oleh media mainstream, maka publik langsung menangkap adanya bahaya terorisme dan radikalisme, dimana pelakunya tertuju pada umat Islam.
Umat Islam yang sudah menjadi tertuduh rasanya sulit untuk membantah tudingan itu. Padahal dalam ajaran Islam tidak membenarkan tindakan terorisme. Menarik untuk mengutip pandangan Edward Snowden, teknisi komputer di Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) menyatakan tidak mungkin Islam berada di balik peristiwa terorisme. Kemajuan bisnis yang dilakukan oleh kapitalis besar itulah yang berada di balik terjadi aksi terorisme itu.
Ajaran Islam bertolak belakang dengan kemajuan bisnis organisasi kapitalisme itu. Contohnya, ajaran Islam melarang meminum khamar, berjudi dan riba. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Masih banyak lagi ajaran-ajaran dalam Islam yang dinilai mengganggu perkembangan bisnis organisasi tersebut. Mereka membuat berbagai macam cara agar umat Islam tergila-gila oleh dunia, namun hal itu gagal. Diciptakannya ISIS merupakan salah satu konspirasi global untuk membenarkan bahwa Islam adalah pemilik sah pemikiran terorisme dan radikalisme.
Islam dipaksakan dan diopinikan sebagai agama yang melahirkan perilaku terorisme dan radikalisme, namun dunia maya bisa membantu untuk membuka konspirasi jahat dunia yang terus menerus menstigma Islam sebagai agama yang menciptakan ketidaknyamanan dan kerusuhan dunia. Pendulum dari pencitraan Islam sebagai sumber terorisme adalah untuk menghancurkan Islam dan memadamkan cahaya Islam.
Penulis: Dr. Slamet Muliono*
Editor: Oki Aryono
*Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan peneliti di Pusat Kajian Islam dan Peradaban (Puskip) Surabaya
*Ditulis di Surabaya, 21 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net