Bonus atau Bom Demografi? Sebuah Agenda Deschooling

Bonus atau Bom Demografi? Sebuah Agenda Deschooling

Bonus atau Bom Demografi - Sebuah Agenda Deschooling

Suaramuslim.net – Tulisan Rektor IPB Prof. Arief Satrya baru-baru ini di Kompas, untuk merespon wacana Revolusi Industri 4.0 Menristekdikti, menarik untuk dicermati. Untuk konteks Indonesia yang sedang menyongsong bonus demografi, kemampuan kita sebagai bangsa menghadapi disrupsi akan ditentukan oleh budaya belajar kita.

Jika kemampuan belajar spesies, kita menjelaskan posisi kita di puncak rantai makanan, maka budaya belajar bangsa ini akan menentukan apakah bonus demografi itu akan menjadi berkah atau bom demografi.

Sayang budaya belajar manusia justru dirusak oleh dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan kita sejak revolusi Industri paling tidak 100 tahun lalu. Di Indonesia, industrialisasi dimulai sejak Orde Baru di akhir 1960an. Akibatnya yang berkembang bukan budaya belajar tapi budaya bersekolah. Masyarakat merancukan bersekolah dengan belajar. Lalu merancukan ijazah dengan kompetensi. Wajib belajar diartikan wajib sekolah. Tidak bersekolah langsung dianggap kampungan.

Begitulah sistem persekolahan dijadikan instrumen teknokratik terpenting oleh banyak pemerintah dalam menjalankan modernisasi dan pembangunan. Di tangan pemerintah yang memuja pasar dan investasi, pendidikan dirumuskan secara sengaja bukan sebagai strategi kebudayaan. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi melalui persekolahan massal pendidikan dibangun untuk menyiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri. “No more no less”.

Rancangan konsep persekolahan sejak diciptakan hingga saat ini tidak banyak berubah: lini produksi dengan obsesi standard. Warga muda yang semula beragam, lulus sekolah jadi seragam sesuai standar. Variasi dihukum. Apalagi kreativitas. Pelajaran bahasa, seni dan sejarah adalah kasta sudra sementara matematika dan fisika jadi brahmana.

Mungkin murid belajar banyak kecuali menjadi dirinya sendiri. Makin internasional standarnya, makin terasing murid dari jati dirinya sendiri. Standar yang mengundang perankingan bertahun-tahun menyuburkan perasaan kehilangan “self-respect” yang luas. Murid bingung kalau tidak diranking. Tapi jika diranking berada di papan atas, maka segera jumawa, tapi jika di papan bawah langsung “depressed”.

Setiap dosen yang jeli akan mampu mengenali bahwa budaya membaca dan menulis mahasiswa-mahasiswanya terus menurun. Sebagai bagian dari budaya belajar yang penting, pelajaran membaca dan menulis merupakan pelajaran yang terbelakang. Kemampuan simbolik yang penting untuk kreatif tidak berkembang.

Murid disibukkan oleh latihan-latihan soal pilihan berganda bertubi-tubi yang menentukan kelulusan mereka. Ketrampilan berpikir orde tinggi dan kritis secara lambat tapi pasti terlantar. Literasi tidak berkembang walaupun lebih lama bersekolah. Gejala ini terjadi di mana saja, termasuk di AS. Generasi era Obama lebih buruk literasinya daripada generasi Abraham Lincoln. Generasi Jokowi lebih buruk literasinya dibanding generasi Bung Karno.

Pada saat budaya belajar kita dirusak oleh persekolahan yang makin besar, secara perlahan kita justru makin tidak terdidik. Semakin banyak warga yang lulus pendidikan tinggi, bahkan pasca sarjana, namun semakin terbukti bahwa kehidupan bangsa ini semakin jauh dari cita-cita para pendiri bangsa ini. Oleh karena itu, mengharapkan perguruan tinggi melakukan disrupsi kreatif akan menghadapi kendala besar: kolam kreativitas yang makin kering yang dihasilkan sistem persekolahan yang makin merampas jiwa merdeka warga muda.

Sementara budaya belajar kita tertinggal, budaya itu kini diubah secara mendasar akibat teknologi informasi dan komunikasi. Belajar sejatinya adalah kemampuan memaknai pengalaman, lalu beradaptasi dengan perubahan. Internet membanjiri kita dengan informasi secara cepat sehingga menuntut kemampuan belajar lalu beradaptasi secara cepat pula.

Dengan mengatakan bahwa Wajib Belajar itu adalah Wajib Bersekolah, maka kesempatan belajar itu justru langka. Pendidikan bagi semua mustahil dicapai melalui persekolahan. Apalagi dengan anggaran yang terbatas. Ini bertentangan dengan kesempatan belajar yang luas yang dibawa oleh internet. Praktis tembok-tembok tinggi dan tebal sekolah itu kini sedang dilubangi oleh internet.

Ivan Illich di awal 1970an telah mengusulkan “deschooling” saat internet boleh dikatakan belum ada. “Deschooling” tidak saja memperluas kesempatan belajar bagi semua, dia juga membebaskan warga belajar dari rezim standar yang membunuh kreativitas. Melalui “learning webs” yang lentur dan luwes, warga muda bisa belajar sesuai bakat dan minatnya serta di manapun dia belajar, terutama di rumah atau di sanggar-sanggar, sambil bekerja atau bermasyarakat.

Dulu Ki Hadjar mewacanakan betapa penting jiwa merdeka sebagai pondasi bagi akhlak dibentuk dalam keluarga dan masyarakat. Hemat saya, sudah tiba saatnya kita menyongsong bonus demografi dengan mengagendakan disrupsi melalui “deschooling”.

*Ditulis di Sukolilo Surabaya, 20 April 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment