Suaramuslim.net – Buya Hamka, ulama dan Sastrawan besar abad 20 ini perlu saya perkenalkan kepada mahasiswa yang mayoritas berkultur NU. Apa Tujuannya? supaya mereka tahu bahwa ada elit Muhammadiyah seperti Hamka yang punya perhatian terhadap dunia Tasawuf. Jadi tidak semua orang Muhammadiyah alergi terhadap Tasawuf.
Pendapat-pendapat Hamka mengenai Tasawuf dapat diketahui melalui buku karangannya yaitu Tasawuf modern (Yayasan nurul Islam, 1978), Renungan Tasawuf (1985) dan buku Pandangan hidup Muslim terbitan Bulan bintang. Sebagian buku-buku Hamka diterbitkan ulang oleh Gema Insani Press.
Singkatnya, Tasawuf ala Hamka berorientasi pada Purifikasi (pemurnian). Boleh juga Tasawuf ala Hamka digolongkan ke dalam Mazhab Tasawuf Akhlaqi. Alasannya, banyak sekali pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku-buku tasawufnya (Skripsi Rini Setiani, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tasawuf Modern Buya Hamka, UIN Jakarta, 2011, hal 69)
Menarik untuk dicermati, ada kabar yang mengatakan bahwa pada tahun 1981, Hamka menjadi pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Kisah Hamka menjadi bagian dari Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tercantum di situs NU online 15 Juni 2009 dan buku berjudul “Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21” terbitan Noura books, hal 47.
Ditambah lagi sebuah informasi “Ketika Hamka wafat di usianya yang ke-73. Seluruh penganut TQN Indonesia, Singapura, dan Malaysia menunaikan sholat ghaib untuknya, sebagaimana dianjurkan oleh Pangersa Abah Anom dari Pondok Pesantren Suryalaya”. (“Hamka Juga Ber-TQN” tasawufsuryalaya.wordpress.com, 30 Juli 2012)
Menyikapi hal ini, langsung saya tabayyun kepada salah satu anak Buya hamka yakni Ustadz Afif hamka. “Betulkah ayah ustadz bergabung ke Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?”. Tak berselang lama, Ustadz Afif hamka memberikan klarifikasi. Begini jawaban beliau: “Please deh! Mohon jangan menga-ada. Mungkin saja, -kalaupun ada- tokoh yang bergelar kyai, ustadz, bahkan ulama sekalipun yang pernah merasa dibaiat oleh para Kyai yang dianggap jauh lebih senior sekelas Abah Anom, misalnya, hal itu sudah tidak zamannya lagi berlangsung di Tanah Minang, persisnya di Sumatera Barat.”
Masih kata Ustadz Afif, “Asal tahu saja, para tokoh yang bergelar Buya (tentu khususnya yang berlaku di Ranah Minang) udah dari sononya nggak bakalan ikutan yang kayak begitu. zaman pembersihan akidah, ibadah dan muamalah di Ranah Minang sudah berlangsung sejak sebelum Perang Padri. Bayangin tuh! Jangankan menggelar aroma Tarekat, ada saja kalimat Sholawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditambah-tambah dengan mendewa-dewakan Rasul sudah dianggap menyimpang. Jadi nggak bakalan ada di kamus, seorang Buya dibaiat Kiyai apalagi dalam nuansa Tareqat. Dan Buya Hamka, jauh dari itu.” (Dikutip utuh dari laman Facebook Afif hamka, 1 Desember 2014)
Saya pun meragukan kisah dibaiatnya Hamka oleh Abah Anom. Pasalnya kisah itu hanya berasal dari pengaggum Abah Anom dan bukti sebuah foto Buya duduk bersanding dengan Abah anom. Apakah nama besar Hamka dicatut untuk motif tertentu? Wallahu’’allam. Bila membaca berbagai buku yang mengulas perjalanan hidup Hamka, tidak saya temukan kisah atau kabar pembaiatan beliau.
Sebelum menutup tulisan ini, perlu diketahui juga Hamka memiliki pendapat bahwa dasar tasawuf adalah Tauhid. Hamka menyatakan “bila orang yang mengaku bertasawuf mengadakan haul dan bertawasul ke makam guru (mursyid), maka yang demikian belum dikatakan mengenal Tauhid dan Tasawuf yang sejati” (Hamka, Pandangan hidup Muslim, Bulan Bintang, 1992. hal 57-58). Semoga tulisan singkat saya mampu menyudahi isu-isu yang tidak benar mengenai Buya Hamka. Wallahu’allam bishowwab
Kontributor: Fadh Ahmad Arifan*
Editor: Oki Aryono
*Penulis adalah Alumnus Studi Ilmu Agama Islam di Pascasarjana UIN Malang