Suaramuslim.net – Ada orang yang bertanya, bagaimana cara agar bisa beribadah secara khusyuk? Ada yang menjawab, sulit! Perlu tahunan untuk latihan.
Ketika ada pelatihan shalat khusyuk yang sempat marak di Jakarta, seorang kawan berseloroh, khusyuk saja dikomodifikasi. Memang, pelatihnya sudah bisa selalu khusyuk?
Ketika bicara khusyuk, kita sering mendengar kisah sayyidina Ali yang bisa sangat khusyuk shalat, para wali yang dipastikan khusyuk beribadah, dan kisah-kisah lainnya. Namun, sayangnya tak satupun kisah tersebut yang memberikan tips dan trik yang mudah.
Nah, lain lagi halnya dengan cerita seorang kawan yang bisa menangis-nangis saat beribadah di Istiqlal secara berjamaah. Mereka merasa khusyuk, bisa meresapi bacaan shalat imam, meskipun ia tidak memahami bacaan tersebut. Ia merasa sangat khusyuk bisa berjamaah di istiqlal.
Seorang kawan lagi berkesan saat bersama seorang kiai besar yang salih, ia merasa adem, tenteram, nyaman sekali dan sangat bersemangat dalam beribadah; shalat, dzikir, dan ibadah lainnya. Mereka merasa ada aura positif yang luar biasa besar yang terpancar dari sang kiai tersebut. Singkatnya, ia menyatakan bahwa ia bisa sangat khusyuk beribadah.
Seorang kawan lagi berbicara kepada kami ketika kami bersama-sama melakukan shalat berjamaah di Masjid Ulil Albab UIN Malang. Saat itu, kebetulan yang menjadi imam shalat adalah Syekh Abdurrahman as-Sudais, Imam Masjidil Haram. Tidak ada yang berbeda dari cara shalatnya. Tidak ada yang unik. Bacaannya juga seperti yang biasa terdengar di kaset-kaset. Bahkan, secara bacaan, masih lebih bagus bacaannya imam Istiqlal. Namun, usai shalat kawan tersebut berkesan, “Luar biasa. Bisa khusyuk!” Singkatnya, demikian.
Pengalaman yang paling sering kami dengar adalah saat orang-orang yang pulang haji dan umroh. Kisah mereka seringkali adalah kesan nyaman dan rasa khusyuk saat shalat berjamaah di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi. Mereka selalu merasa kangen dan rindu untuk kembali ke sana lagi.
Namun, dari kisah itu jarang sekali kami dengar kenapa mereka bisa khusyuk? Lalu, coba kita amati laporan seorang kawan yang satu lagi dengan kasus dan kisah yang berbeda berikut ini.
Seorang kawan lagi berkisah kepada kami, bahwa saat salat berjamaah, khususnya saat menjadi imam, ia dapat lebih khusyuk shalat. Lebih tenang. Lebih santai. Tidak terburu-buru. Bahkan, meskipun suara dan lagu bacaannya tidak bagus pun, ia akan nyaman memilih ayat atau surah yang panjang. Namun, saat shalat sendirian, surah al-Ikhlas pun sudah terasa terlalu panjang, apalagi jika dibaca secara tartil sebagaimana saat menjadi imam. Rukuk, sujud, dan gerakan lainnya pun jauh lebih cepat dan singkat.
Dari situ, kami menjadi paham bahwa yang menjadikan khusyuk dari kesekian banyak kasus itu bukan pelatihannya. Mereka yang berkisah di atas itu semuanya tidak ada yang pernah ikut pelatihan khusyuk yang berbayar mahal dan dilaksanakan di hotel-hotel. Bukan! Bahkan, setau kami, mereka semua termasuk yang tidak suka training seperti itu. Mereka suka mengkritik pelatihan semacam itu, meskipun sebenarnya penasaran juga dengan trik-triknya.
Ternyata, yang membuat khusyuk ada dua, yaitu Berjamaah dan orang-orang saleh disekelilingnya. Alias berjamaah dengan orang saleh. Saya berprasangka baik, bahwa mayoritas yang berjamaah di Istiqlal, masjidil haram, masjid Nabawi, masjid UIN Malang, dan masjid lain manapun tentunya, adalah orang-orang yang salih. Karena itu, saat berjamaah atau bersama-sama orang salih, itu kita selalu nyaman. Aura orang salih terpancar pada diri kita.
Dalam bahasa syair populer yang biasa kita dengar misalnya ada lirik, obat hati ada lima. Tombo ati iku limo sak wernane. Salah satunya, wongkang soleh kumpulono. Bertemanlah dengan orang-orang saleh. Berjamaahlah dengan orang-orang saleh. Hanya bersama-sama mereka, hati kita akan terobati. Kalau hati sudah terobati, pasti akan tenang. Itulah khusyuk.
Lalu, kami mencoba mencari-cari tahu bagaimana para sahabat beribadah khusyuk? Ada satu hadis yang mengisahkan kekhusyukan sayyidina Hanzhalah dan diakui oleh Nabi,
يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. (رواه مسلم والترمذي)
“Rasul, ketika kami bersama Anda mempelajari tentang surga dan neraka, seolah-olah kami dapat melihatnya langsung. Setelah selesai, kami pun masih demikian sehingga kami menelantarkan istri, anak, dan pekerjaan kami. Kami seringkali lupa terhadap itu semua!” Curhat Hanzhalah dan Abu Bakar kepada Rasul.
“Demi Allah, seandainya kalian selalu bisa [merasa khusyuk] seperti saat kalian bersamaku atau saat berdzikir, pasti para malaikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan perjalanan kalian. Tapi, ada saatnya, ada saatnya, ada saatnya [berlibur bersama keluarga], Hanzhalah!” Jawab Nabi sambil mengulang-ulang hingga tiga kali.
Namun, perlu diingat bahwa kalau sudah khusyuk, jangan lupa keluarga. Jangan lupa hak kewajiban terhadap sesama manusia. Orang khusyuk itu bukanlah orang yang hanya ingat Tuhannya, namun lupa sekelilingnya. Melainkan orang yang selalu nyaman mengingat Tuhan dan menikmati anugerah-Nya dalam setiap kondisi dan keadaan, bahkan saat di luar ibadah shalat dan dzikir. Semoga kita termasuk orang yang khusyuk.
Sumber: wikihadis.id